Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #243 Potensi Disinformasi dalam Konten Clickbait Media

image-gnews
Ilustrasi media online. Kaboompics / Pexels
Ilustrasi media online. Kaboompics / Pexels
Iklan

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Industri media di Indonesia menghadapi tantangan serius dengan munculnya model bisnis baru yang memicu disinformasi. Hal itu dikenal sebagai ‘model inkubator’. Skema tersebut memungkinkan situs berita kecil menghasilkan artikel dalam jumlah besar tanpa ada yang memastikan kebenarannya.

Jika ratusan artikel yang diproduksi tidak melalui proses verifikasi, apa yang membedakannya dengan kabar palsu?

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo

Potensi Disinformasi dalam Konten Clickbait Media

Penelitian oleh Profesor Ika Idris dari the Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia mengungkap bahwa model inkubator ini memberikan imbalan finansial berdasarkan tampilan halaman dan pendapatan dari Google AdSense. 

Pikiran Rakyat Media Network—bersama dengan pemain lain seperti Kompas Gramedia Group—adalah salah satu pelopor model ini. Pembuat konten seringkali tidak mendapatkan gaji tetap, hanya dibayar berdasarkan traffic dan iklan yang dihasilkan. Model ‘bayar per klik’ ini mendorong produksi konten yang cepat tanpa memberi perhatian pada validitas informasi. 

Meskipun kedua grup media itu punya reputasi menghasilkan berita berkualitas tinggi, praktik model inkubator ini menciptakan ekosistem disinformasi. Pikiran Rakyat Media Network misalnya, menetapkan target agar setiap redaksi mempublikasikan minimal 100 artikel per hari dan mengikuti resep yang ditetapkan untuk memainkan algoritma—mengikuti rekomendasi pencarian Google, Google Analytics, dan Google Trends.

Dalam wawancara Profesor Ika dengan pembuat konten dan mitra Pikiran Rakyat Media Network, terungkap adanya praktik yang lebih mirip dengan bentuk perbudakan modern. Beberapa informan menceritakan praktik predator dan eksploitatif dalam model tersebut karena mereka tidak menerima gaji, tunjangan, atau asuransi kesehatan apa pun dari Jaringan Media Pikiran Rakyat. “Honornya hanya berdasarkan pada share traffic dan Google AdSense yang dihasilkan dari artikel mereka.”

Model pendapatan ‘bayar per klik’ ini mendorong para penulis untuk mendaur ulang artikel dengan cara menyalin, menempel, dan memelintir, sehingga efisien dan cepat. Mengecek fakta dianggap hanya memperlambat kerja. 

Contohnya ketika terjadi polarisasi mengenai Islam versus Pancasila pada tahun 2021. Saat itu, halaman Facebook Pikiran Rakyat Media Network mem-posting sekitar 197 kali per hari. Sebagian besar posting-an adalah artikel yang mengandalkan pernyataan politisi dan influencer media sosial, yang diunggah tanpa verifikasi. Banyak yang berisi opini, asumsi, spekulasi, ujaran kebencian, dan tuduhan terkait Pancasila dan Islam, Palestina dan Israel, bahkan KPK.

Pentingnya verifikasi sumber terbukti sulit dijalankan dalam model bisnis inkubator ini. Penelitian oleh Remotivi dengan Narasi dan Center for Information Resilience (CIR), Tribun Timur sebagai bagian dari Tribun Network turut terlibat dalam menyebarkan informasi palsu terkait perang Rusia-Ukraina. Dengan kekuatan jejaringnya, Tribun mengglorifikasi invasi yang menciptakan tragedi kemanusiaan dan akan menormalisasi kekerasan.

Melihat tantangan model bisnis seperti ini, kita perlu memantapkan diri untuk menjadi audiens yang cerdas. Jangan sampai hanya menjadi korban informasi palsu oleh pembuat konten di media yang hanya mencari keuntungan finansial tapi mengesampingkan cek fakta. 

Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab

Cek Fakta Pilihan

Benarkah Gelombang Kedatangan Pengungsi Rohingya untuk Menangkan Calon Tertentu dalam Pemilu 2024?

Sebuah narasi beredar di Instagram dan Facebook akun ini dan ini, berisi klaim bahwa gelombang kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia merupakan bagian dari permainan untuk memenangkan salah satu paslon capres-cawapres dalam Pemilu 2024. Narasi itu mengaitkan kasus seorang pengungsi Rohingya di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, yang pernah masuk daftar pemilih tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kemungkinan ikut mencoblos pada pemilu tahun 2018.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

| Hasil Pemeriksaan fakta

Sesungguhnya tujuan pengungsi Rohingya yang melakukan perjalanan dari Bangladesh ke Indonesia dalam beberapa kelompok itu, adalah untuk menyelamatkan diri dari ancaman bahaya di Myanmar negerinya, dan Bangladesh, tempat mereka mengungsi sebelumnya. Kasus satu pengungsi Rohingya yang membuat KTP, KK, dan masuk DPT tidak bisa digeneralisasi terjadi pada seluruh pengungsi yang saat ini mencari keselamatan di Indonesia.

Baca selengkapnya

Waktunya Trivia!

Benarkah 70 Juta Pengungsi akan Tinggal di Indonesia?

Sebuah video berlogo Tempo.co beredar di TikTok dan Facebook ini dan ini disertai narasi terdapat 70 juta pengungsi yang akan tinggal di Indonesia. Dikatakan juga bahwa Indonesia akan hancur bila tidak memulangkan pengungsi Rohingya ke negara asalnya. Isi video memperlihatkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Ketua Komisioner Pengungsi PBB (UNHCR) untuk Indonesia, Thomas Vargas.

| Bagaimana hasil pemeriksaan faktanya?

Mari kita cek faktanya!

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki isu yang sangat beragam, mulai dari isu politik, sosial, dan kesehatan. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Telegram

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


CekFakta #276 Saling Jaga agar Tak Jadi Korban Perdagangan Orang

2 hari lalu

Ilustrasi judi online. Pixlr Ai
CekFakta #276 Saling Jaga agar Tak Jadi Korban Perdagangan Orang

Sampai sekarang, masih ada 44 WNI yang terjebak di wilayah konflik perbatasan Myanmar dan Thailand.


CekFakta #275 Hindari Panik, Bekali Diri untuk Tangkal Hoaks Seputar Cacar Monyet

9 hari lalu

Ilustrasi MPOX. Shutterstock
CekFakta #275 Hindari Panik, Bekali Diri untuk Tangkal Hoaks Seputar Cacar Monyet

Agustus lalu Kementerian Kesehatan mengumumkan sebanyak 88 kasus cacar monyet (Mpox) di Indonesia.


CekFakta #274 Operasi Gelap Menenggelamkan Narasi #KawalPutusanMK di Twitter

16 hari lalu

Logo baru media sosial X, dahulu Twitter. REUTERS/Dado Ruvic
CekFakta #274 Operasi Gelap Menenggelamkan Narasi #KawalPutusanMK di Twitter

Operasi Gelap Menenggelamkan Narasi #KawalPutusanMK di Twitter


CekFakta #273 Hati-hati Penipuan Berkedok "Menyelesaikan Misi"

23 hari lalu

Ilustrasi hoax atau hoaks. shutterstock.com
CekFakta #273 Hati-hati Penipuan Berkedok "Menyelesaikan Misi"

beragam siasat dilakukan para pelaku online scam alias penipuan daring dalam mencari mangsa. Ada yang bernama "investasi", "kemitraan", "undian".


CekFakta #272 Bagaimana Disinformasi Memecah Belah Masyarakat

30 hari lalu

Ilustrasi hoaks atau fake news. Shutterstock
CekFakta #272 Bagaimana Disinformasi Memecah Belah Masyarakat

Disinformasi punya kemampuan yang berbahaya: menebar kebencian dan memecah belah masyarakat.


CekFakta #271 Membaca Penyebab Kecenderungan Percaya Hoaks dan Deepfake saat Pemilu

37 hari lalu

Gambar tangkapan layar video yang memperlihatkan perbedaan antara rekaman asli dengan deepfake. Credit: Kanal YouTube WatchMojo
CekFakta #271 Membaca Penyebab Kecenderungan Percaya Hoaks dan Deepfake saat Pemilu

Membaca Penyebab Kecenderungan Percaya Hoaks dan Deepfake saat Pemilu


CekFakta #270: Membekali Diri Menghadapi FraudGPT dan Berbagai AI Jahat

44 hari lalu

Rekomendasi AI Selain ChatGPT. Foto: Canva
CekFakta #270: Membekali Diri Menghadapi FraudGPT dan Berbagai AI Jahat

CekFakta #270: Membekali Diri Menghadapi FraudGPT dan Berbagai AI Jahat


CekFakta #270 Membekali Diri Menghadapi FraudGPT dan Berbagai AI Jahat

44 hari lalu

Rekomendasi AI Selain ChatGPT. Foto: Canva
CekFakta #270 Membekali Diri Menghadapi FraudGPT dan Berbagai AI Jahat

CekFakta #270 Membekali Diri Menghadapi FraudGPT dan Berbagai AI Jahat


CekFakta #269 Di Balik Sikap Tidak Percaya Orang Indonesia Terhadap Perubahan Iklim

51 hari lalu

CekFakta #269 Di Balik Sikap Tidak Percaya Orang Indonesia Terhadap Perubahan Iklim

masih banyak orang yang belum sadar urgensi perubahan iklim


CekFakta #268 Ketika Akun Palsu dan Hoaks Sengaja Dibudidayakan

58 hari lalu

Ilustrasi hoaks atau fake news. Shutterstock
CekFakta #268 Ketika Akun Palsu dan Hoaks Sengaja Dibudidayakan

Ketika Akun Palsu dan Hoaks Sengaja Dibudidayakan