Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!
Pernahkah Anda mendapati hoaks yang disebarkan oleh kerabat atau kolega yang berpendidikan tinggi? Anda tentu heran, mengapa orang-orang yang pintar kok melakukannya.
Ternyata, sejak tahun 2021, sebuah penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa kita bisa saja pandai dan sigap mengenali judul-judul informasi di media sosial yang tidak akurat. Tetapi jika kabar tersebut sejalan dengan politik kita, kita bisa tetap membagikannya tanpa berpikir panjang.
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo
Prebunking Series (36)
Alasan di Balik Dorongan Sharing tanpa Saring
Dilansir Psychology Today, para peneliti studi pada Jurnal Nature ini menemukan bahwa sebagian besar orang sebenarnya menghargai akurasi dan ingin membagikan informasi yang benar. Tetapi di tengah panasnya pertarungan kecepatan media sosial, mereka mempertimbangkan faktor-faktor selain akurasi.
Orang-orang lebih tertarik untuk mendapatkan “like” dari para pengikut mereka dan memperjelas kesetiaan politik mereka, dibandingkan berbagi informasi yang akurat. Ditambah lagi, para partisipan penelitian ini menunjukkan potensi dua kali lebih besar untuk membagikan artikel palsu yang mewakili sudut pandang politik mereka dibandingkan dengan artikel yang memang akurat.
Lalu, mengapa sih kita dan sebagian orang di sekitar kita masih saja terperdaya oleh kabar kibul? Untuk memahaminya, dosen Technological University of the Shannon di Irlandia, Christopher Dwyer, Ph.D., membagikan setidaknya 6 alasan mengapa banyak orang berulang kali terjerumus oleh mis/disinformasi:
- Bias konfirmasi
Bias konfirmasi mengacu pada kecenderungan kita untuk memilih informasi yang mengkonfirmasi dan memperteguh keyakinan yang sudah ada. Jika kita tidak memperhitungkan bias ini, kita akan memiliki kecenderungan mengamini kabar bohong yang sejalan dengan pendapat kita saja. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Memang, bias konfirmasi memang bagus karena dalam beberapa konteks, bias konfirmasi dapat membantu kita menangkal berita palsu karena memunculkan sikap skeptis. Namun, pada akhirnya, bias ini bisa mengurangi pemikiran kritis.
- Kurang jeli mengevaluasi kredibilitas
Setiap kita mendapatkan suatu informasi, tentu kita tidak bisa begitu saja percaya begitu saja. Kita harus mengevaluasinya terlebih dahulu. Evaluasi tersebut melibatkan penggalian lebih dalam terhadap artikel dan menilai sumber-sumber klaim, mencari bukti (bukan opini, anekdot, atau pernyataan kepercayaan umum), mencari replikasi di outlet berita lain, serta menilai kredensial penulis, penerbit, dan/atau situs web. Maka, setiap orang harus menerapkan pemikiran kritis hanya untuk isu-isu yang mereka pedulikan atau yang penting bagi mereka. Jika tidak, ini akan membuat kita lebih rentan terhadap berita palsu yang relevan dengan topik-topik yang lekat dengan minat mereka sendiri.
- Terlalu banyak informasi
Anggap kita sudah membekali diri dengan kemampuan untuk mengevaluasi kredibilitas. Tapi tunggu dulu, kita masih rentan terhadap tren serba cepat dalam pemrosesan informasi saat ini. Di dunia saat ini, dapat dikatakan bahwa kita memiliki kelebihan informasi (Dwyer, 2017). Begitu kelebihannya, kita tidak membaca semua yang ada di newsfeed media sosial. Jempol kita menggulir begitu banyak artikel yang tidak penting atau tidak menarik bagi kita, tapi kita tidak memperhatikannya. Mengapa itu bisa terjadi? Karena kita menginginkan informasi yang cepat dan secara teknologi, telah dipersiapkan untuk mendapatkan segala sesuatunya dengan cepat di gawai kita.
- Malas (secara kognitif)
Menurut sains, manusia itu secara kognitif malas (Kahneman, 2011). Otak kita telah berevolusi untuk menghemat energi untuk tugas-tugas yang “lebih penting”. Oleh karena itu, otak kita tidak terlalu suka mengeluarkan energi ketika keputusan intuitif dapat dibuat yang cukup baik (misalnya, memuaskan [Simon, 1957]). Ini membuat kita gagal melakukan evaluasi dan penilaian reflektif. Alhasil, kita sering terlalu menyederhanakan informasi dan malah menghasilkan kesimpulan yang belum tentu akurat yang berujung menjadi hoaks.
- Terlanjur emosi
Salah satu penghalang terbesar dalam berpikir kritis adalah emosi, karena emosi membuat pemikiran menjadi tidak rasional. Ketika kita berpikir dengan emosi mereka, kita berpikir berdasarkan penalaran intuitif tingkat dasar, didorong oleh perasaan dan oleh pengalaman masa lalu yang terkait dengan perasaan tersebut. Berita palsu, seperti propaganda, dapat membangkitkan dan menumbuhkan emosi seperti rasa takut dan marah pada pembaca atau pendengarnya. Jika kita emosional, kita tidak berpikir rasional dan lebih rentan untuk terjebak dalam berita palsu.
- Pengulangan: efek kebenaran ilusi
Efek kebenaran ilusi mengacu pada fenomena di mana semakin sering kita terpapar dengan informasi tertentu, semakin besar kemungkinan kita mempercayai informasi tersebut. Semakin sering kita membaca tentang suatu hoaks, semakin kuat pula mencengkram di kepala kita.
Lalu, bagaimana mendidik jempol kita agar tak asal membagikan informasi? Pertama, biasakan untuk bertanya pada diri sendiri seberapa akurat setiap judul yang tertera sebelum membagikannya.
Oleh karena itu, kedua, kita perlu menyadari bahwa orang-orang yang membagikan informasi–entah di media sosial atau WhatsApp–mungkin sebenarnya tidak percaya-percaya amat. Mereka tidak akan membagikannya jika meluangkan waktu sejenak untuk memikirkannya.
Jadi, ada baiknya kita mengurangi penghakiman kepada si penyebar, sembari menunjukkan penolakan secara sopan ketika sebuah informasi tampaknya hoaks.
Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab
Cek Fakta Pilihan
Benarkah Kemendikbudristek Akan Hapus Pelajaran Agama di Sekolah?
Sebuah video beredar di Facebook yang berisi narasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), hendak menghapus mata pelajaran agama untuk siswa di sekolah. Video tersebut berformat berita yang membahas kekagetan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah tak menemukan frasa pelajaran agama di dokumen draft Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang disusun Kemendikbudristek dan ditempeli tulisan bahwa kondisi itu parah, dan akan menyebabkan Indonesia hancur.
| Hasil Pemeriksaan fakta
Tempo mengkonfirmasi klaim itu menggunakan mesin pencari dan membandingkannya dengan informasi dari sumber-sumber terpercaya yang relevan. Informasi seperti ini telah muncul sejak 2017.
Waktunya Trivia!
Benarkah Orang di Seluruh Dunia Dibohongi Covid-19?
Sebuah akun Facebook mengunggah video dengan klaim bahwa selama ini orang di seluruh dunia dibohongi oleh Covid-19. Video tersebut diberi keterangan: “Selamat Bagi Yang Tidak Divaksin! Simak Pengakuan Ibu Fadilah Mantan Menteri Kesehatan”.
| Bagaimana hasil pemeriksaan faktanya?
Ada Apa Pekan Ini?
Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki isu yang sangat beragam, mulai dari isu politik, sosial dan kesehatan. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah merkuri merah adalah cairan aneh yang menghindari bawang putih?
- Benarkah tes kesehatan paru-paru bisa dengan tahan napas berlevel?
- Benarkah ponpes Al Zaytun dibakar massa?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.
Ikuti kami di media sosial: