Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #220 Alasan di Balik Dorongan Sharing tanpa Saring

image-gnews
Ilustrasi remaja perempuan sedang melihat gawai. (Unsplash/Luke Porter)
Ilustrasi remaja perempuan sedang melihat gawai. (Unsplash/Luke Porter)
Iklan

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Pernahkah Anda mendapati hoaks yang disebarkan oleh kerabat atau kolega yang berpendidikan tinggi? Anda tentu heran, mengapa orang-orang yang pintar kok melakukannya. 

Ternyata, sejak tahun 2021, sebuah penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa kita bisa saja pandai dan sigap mengenali judul-judul informasi di media sosial yang tidak akurat. Tetapi jika kabar tersebut sejalan dengan politik kita, kita bisa tetap membagikannya tanpa berpikir panjang.

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo

Prebunking Series (36)

Alasan di Balik Dorongan Sharing tanpa Saring

Dilansir Psychology Today, para peneliti studi pada Jurnal Nature ini menemukan bahwa sebagian besar orang sebenarnya menghargai akurasi dan ingin membagikan informasi yang benar. Tetapi di tengah panasnya pertarungan kecepatan media sosial, mereka mempertimbangkan faktor-faktor selain akurasi. 

Orang-orang lebih tertarik untuk mendapatkan “like” dari para pengikut mereka dan memperjelas kesetiaan politik mereka, dibandingkan berbagi informasi yang akurat. Ditambah lagi, para partisipan penelitian ini menunjukkan potensi dua kali lebih besar untuk membagikan artikel palsu yang mewakili sudut pandang politik mereka dibandingkan dengan artikel yang memang akurat. 

Lalu, mengapa sih kita dan sebagian orang di sekitar kita masih saja terperdaya oleh kabar kibul? Untuk memahaminya, dosen Technological University of the Shannon di Irlandia, Christopher Dwyer, Ph.D., membagikan setidaknya 6 alasan mengapa banyak orang berulang kali terjerumus oleh mis/disinformasi:

  1. Bias konfirmasi

Bias konfirmasi mengacu pada kecenderungan kita untuk memilih informasi yang mengkonfirmasi dan memperteguh keyakinan yang sudah ada. Jika kita tidak memperhitungkan bias ini, kita akan memiliki kecenderungan mengamini kabar bohong yang sejalan dengan pendapat kita saja. Hal ini juga berlaku sebaliknya. Memang, bias konfirmasi memang bagus karena dalam beberapa konteks, bias konfirmasi dapat membantu kita menangkal berita palsu karena memunculkan sikap skeptis. Namun, pada akhirnya, bias ini bisa mengurangi pemikiran kritis.

  1. Kurang jeli mengevaluasi kredibilitas

Setiap kita mendapatkan suatu informasi, tentu kita tidak bisa begitu saja percaya begitu saja. Kita harus mengevaluasinya terlebih dahulu. Evaluasi tersebut melibatkan penggalian lebih dalam terhadap artikel dan menilai sumber-sumber klaim, mencari bukti (bukan opini, anekdot, atau pernyataan kepercayaan umum), mencari replikasi di outlet berita lain, serta menilai kredensial penulis, penerbit, dan/atau situs web. Maka, setiap orang harus menerapkan pemikiran kritis hanya untuk isu-isu yang mereka pedulikan atau yang penting bagi mereka. Jika tidak, ini akan membuat kita lebih rentan terhadap berita palsu yang relevan dengan topik-topik yang lekat dengan minat mereka sendiri.

  1. Terlalu banyak informasi

Anggap kita sudah membekali diri dengan kemampuan untuk mengevaluasi kredibilitas. Tapi tunggu dulu, kita masih rentan terhadap tren serba cepat dalam pemrosesan informasi saat ini. Di dunia saat ini, dapat dikatakan bahwa kita memiliki kelebihan informasi (Dwyer, 2017). Begitu kelebihannya, kita tidak membaca semua yang ada di newsfeed media sosial. Jempol kita menggulir begitu banyak artikel yang tidak penting atau tidak menarik bagi kita, tapi kita tidak memperhatikannya. Mengapa itu bisa terjadi? Karena kita menginginkan informasi yang cepat dan secara teknologi, telah dipersiapkan untuk mendapatkan segala sesuatunya dengan cepat di gawai kita. 

  1. Malas (secara kognitif)

Menurut sains, manusia itu secara kognitif malas (Kahneman, 2011). Otak kita telah berevolusi untuk menghemat energi untuk tugas-tugas yang “lebih penting”. Oleh karena itu, otak kita tidak terlalu suka mengeluarkan energi ketika keputusan intuitif dapat dibuat yang cukup baik (misalnya, memuaskan [Simon, 1957]). Ini membuat kita gagal melakukan evaluasi dan penilaian reflektif. Alhasil, kita sering terlalu menyederhanakan informasi dan malah menghasilkan kesimpulan yang belum tentu akurat yang berujung menjadi hoaks.

  1. Terlanjur emosi 

Salah satu penghalang terbesar dalam berpikir kritis adalah emosi, karena emosi membuat pemikiran menjadi tidak rasional. Ketika kita berpikir dengan emosi mereka, kita berpikir berdasarkan penalaran intuitif tingkat dasar, didorong oleh perasaan dan oleh pengalaman masa lalu yang terkait dengan perasaan tersebut. Berita palsu, seperti propaganda, dapat membangkitkan dan menumbuhkan emosi seperti rasa takut dan marah pada pembaca atau pendengarnya. Jika kita emosional, kita tidak berpikir rasional dan lebih rentan untuk terjebak dalam berita palsu.

  1. Pengulangan: efek kebenaran ilusi

Efek kebenaran ilusi mengacu pada fenomena di mana semakin sering kita terpapar dengan informasi tertentu, semakin besar kemungkinan kita mempercayai informasi tersebut. Semakin sering kita membaca tentang suatu hoaks, semakin kuat pula mencengkram di kepala kita. 

Lalu, bagaimana mendidik jempol kita agar tak asal membagikan informasi? Pertama, biasakan untuk bertanya pada diri sendiri seberapa akurat setiap judul yang tertera sebelum membagikannya.

Oleh karena itu, kedua, kita perlu menyadari bahwa orang-orang yang membagikan informasi–entah di media sosial atau WhatsApp–mungkin sebenarnya tidak percaya-percaya amat. Mereka tidak akan membagikannya jika meluangkan waktu sejenak untuk memikirkannya. 

Jadi, ada baiknya kita mengurangi penghakiman kepada si penyebar, sembari menunjukkan penolakan secara sopan ketika sebuah informasi tampaknya hoaks.

Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab

Cek Fakta Pilihan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Benarkah Kemendikbudristek Akan Hapus Pelajaran Agama di Sekolah?

Sebuah video beredar di Facebook yang berisi narasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), hendak menghapus mata pelajaran agama untuk siswa di sekolah. Video tersebut berformat berita yang membahas kekagetan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah tak menemukan frasa pelajaran agama di dokumen draft Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang disusun Kemendikbudristek dan ditempeli tulisan bahwa kondisi itu parah, dan akan menyebabkan Indonesia hancur. 

| Hasil Pemeriksaan fakta

Tempo mengkonfirmasi klaim itu menggunakan mesin pencari dan membandingkannya dengan informasi dari sumber-sumber terpercaya yang relevan. Informasi seperti ini telah muncul sejak 2017.

Baca selengkapnya

Waktunya Trivia!

Benarkah Orang di Seluruh Dunia Dibohongi Covid-19?

Sebuah akun Facebook mengunggah video dengan klaim bahwa selama ini orang di seluruh dunia dibohongi oleh Covid-19. Video tersebut diberi keterangan: “Selamat Bagi Yang Tidak Divaksin! Simak Pengakuan Ibu Fadilah Mantan Menteri Kesehatan”.

| Bagaimana hasil pemeriksaan faktanya?

Mari kita cek faktanya!

Ada Apa Pekan Ini?

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki isu yang sangat beragam, mulai dari isu politik, sosial dan kesehatan. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Telegram

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


CekFakta #257 Hoaks Deepfake Menipu Konsumen dan Mengancam Bisnis

1 hari lalu

CekFakta #257 Hoaks Deepfake Menipu Konsumen dan Mengancam Bisnis

Deepfake, kini semakin mudah dibuat dan semakin sulit dikenali. Dampak yang ditimbulkan oleh penipuan deepfake pun, tidak main-main.


CekFakta #256 Langkah Mengecek Transparansi Halaman Media Sosial

8 hari lalu

Logo twitter, facebook dan whatsapp. Istimewa
CekFakta #256 Langkah Mengecek Transparansi Halaman Media Sosial

Menelisik Motivasi di Balik Akun Medsos Penyebar Hoaks Melalui Transparansi Halaman


CekFakta #255 5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima

14 hari lalu

Ilustrasi internet. (abc.net.au)
CekFakta #255 5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima

5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima


Beredar Ada Gas di Wilayah IKN, Jubir Otorita Ingatkan Masyarakat Waspadai Hoaks

21 hari lalu

Juru Bicara Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Troy Pantouw di Hotel Shangri-La Jakarta pada Senin, 26 Februari 2024. TEMPO/Annisa Febiola
Beredar Ada Gas di Wilayah IKN, Jubir Otorita Ingatkan Masyarakat Waspadai Hoaks

Jubir OIKN sebut video viral soal kandungan gas di wilayah IKN adalah hoaks.


CekFakta #254 Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google

21 hari lalu

Logo Google. REUTERS
CekFakta #254 Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google

Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google


CekFakta #253 CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup

28 hari lalu

Ilustrasi hoaks atau fake news. Shutterstock
CekFakta #253 CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup

CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup


Sumardji Pastikan Isu Hotel Timnas Indonesia Diserang Kembang Api Hoaks

33 hari lalu

Manager Timnas Indonesia, Kombes Sumardji. (foto: istimewa)
Sumardji Pastikan Isu Hotel Timnas Indonesia Diserang Kembang Api Hoaks

Ketua BTN Sumardji menduga kembang api yang muncul di dekat lokasi Timnas Indonesia latihan berasal dari pesta rakyat setempat.


CekFakta #252 Menyelami Kontroversi Hasil Pencarian TikTok dalam Menyebarkan Hoaks

35 hari lalu

Logo TikTok terlihat di smartphone di depan logo ByteDance yang ditampilkan dalam ilustrasi yang diambil pada 27 November 2019. [REUTERS / Dado Ruvic / Illustration / File Photo]
CekFakta #252 Menyelami Kontroversi Hasil Pencarian TikTok dalam Menyebarkan Hoaks

TikTok disorot sebagai sarang penyebaran misinformasi maupun disinformasi.


Apresiasi MK Hapus Pidana Berita Bohong, ICJR: Jaminan Hak Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

36 hari lalu

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat memimpin Sidang Pengucapan Putusan Uji Materi Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 21 Maret 2024. Permohonan uji materi diajukan oleh Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait pasal-pasal pencemaran nama baik dan berita bohong. Pasal-pasal yang diuji materi antara lain, Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946; Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU ITE; serta Pasal 310 KUHP. Pasal-pasal tersebut dianggap melanggar prinsip nilai negara hukum yang demokratis serta hak asasi manusia, dan seringkali disalahgunakan untuk menjerat warga sipil yang melakukan kritik terhadap kebijakan pejabat publik. TEMPO/Subekti.
Apresiasi MK Hapus Pidana Berita Bohong, ICJR: Jaminan Hak Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus pidana berita bohong.


MK Hapus Pasal Keonaran dan Berita Bohong, Fatia Maulidiyanti: Pasal Ini Hukumannya Berat

37 hari lalu

Terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti usai menjalani sidang putusan perkara dugaan pencemaran nama baik terhadap Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin 8 Januari 2024. Sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana dengan hakim anggota Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin memutuskan Haris Azhar dan Fatia bebas tidak bersalah. TEMPO/Subekti.
MK Hapus Pasal Keonaran dan Berita Bohong, Fatia Maulidiyanti: Pasal Ini Hukumannya Berat

Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan putusan MK yang menghapus pasal 14 dan 15 UU 1 Tahun 1946 merupakan angin segar bagi jurnalis.