Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!
Apakah Anda pernah memperhatikan, beberapa postingan yang paling disukai dan berinteraksi dengan feed media sosial kita, ternyata juga berisi hoaks? Informasi palsu ini benar-benar menjadi masalah serius di hampir semua jenis media sosial.
Hoax alias informasi palsu ini menyebar lebih cepat dan lebih jauh dibandingkan dengan berita yang benar. Terutama jika berita tersebut berkaitan dengan topik-topik yang bersifat emosional dan politis.
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo
CekFakta #259
Memahami Konten-konten Viral Reduksi Penyebar Hoaks
Sebuah riset NewsGuard menemukan bahwa 1 dari 5 unggahan berita di TikTok mengandung informasi yang salah alias hoaks. Kabar palsu ini lebih parah lagi ketika terkait vaksin COVID-19 dan ancaman terhadap demokrasi. Ini semakin menegaskan bukti-bukti sebelumnya yang menunjukkan bahwa penyebaran konten palsu memang dapat menimbulkan konsekuensi negatif bagi demokrasi dan kesehatan masyarakat.
Para pakar dan penyedia platform sendiri sudah berupaya mengembangkan berbagai intervensi untuk melawan misinformasi di media sosial. Akan tetapi intervensi ini seringkali kurang efektif untuk melawan misinformasi yang mempolarisasi secara politis. Untuk menemukan solusi yang lebih baik, Profesor Jay van Bavel dkk dari New York University (NYU) baru-baru ini mencoba mengembangkan intervensi yang mungkin bekerja lebih baik untuk melawan konten terpolarisasi.
Dalam makalah terbaru yang dipimpin oleh alumni laboratorium Clara Pretus, bersama dengan Ali Javeed, Diána Huges, Kobi Hackenburg, Manos Tsakiris, Oscar Villaroya, dan Jay Van Bavel, mereka mengembangkan dan menguji sebuah intervensi berbasis identitas untuk melawan misinformasi di media sosial.
Sekelompok peneliti NYU Social Identity & Morality Lab ini lalu mencoba merancang solusi yang akan memberi insentif pada konten yang lebih akurat dengan memberi sinyal norma-norma sosial yang lebih sehat seputar pelaporan berita palsu.
Para peserta di seluruh spektrum politik ditanyai seberapa besar kemungkinan mereka akan membagikan postingan media sosial yang disimulasikan oleh para pemimpin politik yang berbeda dari partai politik mereka. Unggahan-unggahan tersebut berisi informasi yang salah tentang isu-isu yang mempolarisasi politik (misalnya, imigrasi, tunawisma, dan lain-lain).
Satu kelompok partisipan diberitahu bahwa penghitungan yang menyesatkan tersebut menunjukkan penilaian dari sesama partisan, dan kelompok lainnya diberitahu bahwa penghitungan tersebut mencerminkan penilaian dari pengguna umum. Para penulis kemudian membandingkan hasil dari intervensi ini dengan intervensi misinformasi online populer lainnya, seperti dorongan akurasi dan tag resmi Twitter yang mencegah Tweet dibagikan, disukai, atau dikirim ulang.
Jumlah orang yang melaporkan bahwa mereka cenderung membagikan postingan media sosial yang menyesatkan, turun sebesar 25% sebagai respons terhadap penghitungan menyesatkan. Ini karena mereka ditunjukkan penilaian dalam kelompok sesama mereka. Angka ini lebih tinggi dibandingkan mereka yang merespons karena didorong sinyal-sinyal akurasi, yakni hanya turun sebesar 5%.
Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab
Cek Fakta Pilihan
Benarkah Kasus Demam Berdarah di Indonesia Meningkat karena Efek Vaksin Covid-19 atau Wolbachia?
Sebuah konten beredar di media sosial dengan klaim bahwa peningkatan kasus demam berdarah di Indonesia disebabkan karena efek vaksin Covid-19 dan diterapkannya metode Wolbachia. Di Facebook, narasi serupa diunggah akun ini [arsip] pada 3 Mei 2024. "DBD meningkat bahkan ada yang sampai meninggal, efek vaksin covid atau nyamuk wolbachia yang gagal?" tulis akun tersebut.
| Hasil Pemeriksaan fakta
Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Erni Juwita Nelwan, mengatakan faktor lingkungan berperan penting dalam lonjakan kasus DBD karena nyamuk Aedes aegypti biasanya bertelur saat musim panas. Telur-telur itu bisa bertahan hingga delapan bulan, dan akan menetas saat tergenang air. Maka, musim panas berkepanjangan karena El Niño membuat stok telur Aedes aegypti meningkat, dan sekalinya hujan, jumlah nyamuk yang lahir jauh lebih banyak dari biasanya.
Waktunya Trivia!
Benarkah WhatsApp Bocorkan Data pada IDF untuk Bantai Warga Gaza?
Sebuah video beredar di WhatsApp, serta akun Facebook ini dan ini, yang disertai narasi Whatsapp telah membocorkan data pengguna di Gaza pada Tentara Pertahanan Israel (IDF) untuk melakukan pembantaian. Dikatakan bahwa data pengguna WhatsApp itu digunakan IDF untuk menentukan sasaran serangan mereka yang sedang berada di rumah masing-masing. Mereka kemudian menyerang sasaran-sasaran itu menggunakan bom.
Ada Apa Pekan Ini?
Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Gelombang Panas di Indonesia Awal adalah Heatwave?
- Benarkah COVID-19 Merupakan Hasil Konspirasi Rockefeller Foundation?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.
Ikuti kami di media sosial: