Demokrasi Indonesia makin terancam. Kali ini lewat revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. DPR dan pemerintah bahu-membahu mencegah independensi hakim dengan membuat klausul hakim konstitusi tunduk pada lembaga pengusul. Revisi UU MK akan memberikan kewenangan lembaga pengusul mengevaluasi para hakim konstitusi.
Intervensi ini jelas mencederai independensi hakim yang menjadi syarat utama tegaknya hukum. DPR dan pemerintah tak cukup puas mengajukan dan memilih para hakim konstitusi yang berwenang menganulir produk undang-undang yang tak sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi. Mereka hendak mengendalikan hakim melalui alibi evaluasi.
Demokrasi mensyaratkan ada check and balances. Kekuasaan eksekutif tidak boleh berlebihan karena itu harus dikontrol oleh lembaga legislatif, yang kemudian dikontrol lagi oleh lembaga hukum. Jika eksekutif dan legislatif bergabung melumpuhkan yudikatif, demokrasi akan cacat atau Indonesia hanya berpura-pura saja menjalankan demokrasi karena sejatinya melakukan otoritarianisme.
Dalam sistem politik Indonesia sekarang, DPR dan pemerintah bisa bersatu atas nama koalisi politik. Pemerintahan Jokowi didukung 80 persen anggota parlemen. Akibatnya, Jokowi bisa leluasa menjalankan agenda politiknya mempereteli banyak undang-undang. Dari melumpuhkan KPK, memuluskan UU Cipta Kerja untuk memberi karpet merah pada investasi oligarki, hingga memuluskan proyek Ibu Kota Negara yang membebani anggaran.
Dua pilar demokrasi yang lancung masih bisa ditahan jika lembaga yudikatif tetap independen. Namun, Mahkamah Konstitusi kini sudah cemar. Putusan mengubah UU Pemilu yang meloloskan anak presiden menjadi kandidat Pemilu kendati tak cukup syarat, adalah dampak tak independennya hakim konstitusi.
Kini, kebobrokan itu akan makin diperparah dengan kontrol penuh kepada Mahkamah Konstitusi. Jika klausul ini jadi disahkan, DPR dan lembaga presiden bisa sesuka hati mencopot hakim konstitusi yang membuat putusan tak sesuai kepentingan mereka. Kasus pemberhentian hakim Aswanto adalah DPR hendak mengintervensi kekuasaan hakim.
Aswanto adalah hakim yang turut memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional karena dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik. Menurut DPR, Aswanto mengkhianati mandat karena ia “utusan” lembaga ini di Mahkamah Konstitusi. Sesat logika DPR ini akan diteruskan dengan menguatkan dalih evaluasi kepada hakim MK melalui revisi undang-undang.
Revisi UU MK agaknya akan mulus. PDI Perjuangan, partai yang seharusnya jadi oposisi pemerintahan baru hasil Pemilu 2024, adalah partai di DPR yang mengusulkan pencopotan Aswanto. Mereka tentu akan mendukung revisi UU MK agar turut bisa mengendalikan hakim konstitusi.
Setelah tiga pilar demokrasi dirobohkan, harapan terakhir adalah media massa yang independen. Namun, media pun akan dikooptasi melalui UU Penyiaran. DPR mengusulkan agar media dilarang melakukan jurnalisme investigasi. Jika semua usaha itu berhasil, tamatlah demokrasi Indonesia sebagai jerih payah Reformasi 1998.
Edisi pekan ini menguliti secara detail manuver DPR dan pemerintah mengamputasi independen Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU MK. Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Wakil Pemimpin Redaksi
Baca Selengkapnya di Majalah Tempo:
- Untuk Apa Pemerintah dan DPR Merevisi UU MK?
- Para Mantan Hakim Konstitusi Coba Melawan Manuver Revisi UU MK
- Ketua MKMK: Revisi UU MK untuk Mengontrol Hakim Konstitusi
- Mengapa Operator Internet Lokal Pusing Bersaing dengan Starlink
- Sumber Uang Suap Syahrul Yasin Limpo: Saweran Para Pejabat Kementerian Pertanian
- Venice Biennale 2024: Ketika Para Seniman dari Negeri Jajahan Berunjuk Gigi