TEMPO.CO, Jakarta - “Pendidikan tinggi adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar”. Sampai di sini, kalimat Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Tjitjik Sri Tjahjandarie bisa kita maklumi. Pernyataannya menjadi problematik ketika ia melanjutkan bahwa, “Tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Itu sifatnya pilihan.”
Konteks pernyataan itu tentang uang kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri yang mahal. Dengan konteks itu, Ibu Tjitjik hendak menyatakan bahwa orang miskin tak perlu kuliah karena tak bisa membayar biaya sekolah. Bahkan seorang liberal tulen sekalipun, yang berpandangan negara tak usah ikut campur urusan orang kebanyakan, tak akan berbicara seterbuka itu ketika membahas pendidikan.
Tertiary education itu isitilah UNESCO dalam penggolongan jenis-jenis pendidikan. Ada pendidikan primer yang mengacu pada pendidikan dasar, ada pendidikan sekunder untuk sekolah menengah, dan pendidikan tersier untuk perguruan tinggi. Penggolongan itu untuk membedakan level pendidikan bagi masyarakat. Jadi, tersier di sana bermakna netral, sebagai penggolongan pendidikan tingkat ketiga.
Ibu Tjitjik memberikan makna yang bias kelas ketika mengatakan arti tersier sebagai pilihan. Apalagi, penjelasannya bersambung ke konteks meruyaknya protes biaya kuliah yang makin mahal di perguruan tinggi negeri. Apalagi, ada pernyataan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim bahwa UKT mahal sebagai wujud keadilan: mahasiswa kaya menyubsidi mahasiswa miskin.
Agaknya, Ibu Tjitjik dan Nadiem Makarim perlu mempelajari lagi untuk apa negara didirikan, untuk apa para pendiri bangsa ini menyusun UUD 1945 sebagai dasar hidup kita bernegara. Di sana disebutkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan yang layak bagi warga negara. Dari pendidikan primer, sekunder, hingga tersier. Karena itu, ada subsidi besar untuk menopangnya.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk mencapai kemajuan. Di awal kemerdekaan, Bung Karno sampai turun tangan mengajari orang banyak membaca dan menulis. Sebab, dengan membaca dan menulis bangsa kita akan terbuka melihat problem dan bisa mencarikan solusi atas masalah hidup sehari-hari. Maka, jika kini para pengurus negara ogah memberikan subsidi untuk pendidikan dan menganjurkan warga negara saling menyubsidi menyelenggarakan pendidikan, ada yang keliru dalam cara mereka berpikir.
Di negara-negara Eropa yang kapitalis sekali pun, kampus tak memberlakukan UKT. Pemerintahnya memandang pendidikan sebagai investasi. Mereka menyalurkan uang pajak untuk menyubsidi pendidikan sehingga biaya sekolah primer, sekunder, hingga tersier terjangkau oleh semua kalangan. Bahkan di Amerika Serikat yang menjadi kiblat kebijakan pendidikan di Indonesia.
Di Amerika Serikat, kampus memang layaknya korporasi, punya bisnis sehingga penyelenggaraan pendidikan bisa mandiri. Di kampus-kampus top Amerika, seperti Harvard yang menjadi almamater Menteri Pendidikan, hanya ada dua golongan mahasiswa: jika tidak pintar, mereka berasal dari keluarga kaya. Tapi, di Amerika Sekali pun, pendidikan tetap ditujukan bagi semua orang. Pemerintah menyediakan kredit pendidikan agar setiap siswa bisa mengenyam pendidikan tinggi. Pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris bahkan menghapus tunggakan mahasiswa sebesar Rp 2.686 triliun.
Di edisi kali ini, kami membahas cerita di balik UKT mahal. Mengapa pemerintah seperti lepas tangan dan mengabaikan konstitusi membiaya pendidikan yang menjadi hak semua orang? Apa akar masalahnya sehingga biaya perguruan tinggi negeri kini malah lebih mahal dibanding swasta di zaman dulu? Selamat membaca.
Peran Menteri Nadiem Makarim dalam Kenaikan Biaya UKT
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim ditengarai merestui kenaikan uang kuliah tunggal (UKT).
Cerita Calon Mahasiswa Batal Kuliah Gara-gara Biaya UKT Meroket
Sejumlah calon mahasiswa mundur karena tak mampu membayar uang kuliah tunggal. Penurunan UKT tak signifikan.
Bagaimana Anggota DPR Terpilih Kembali dengan Memanfaatkan Kartu Indonesia Pintar?
Anggota Komisi Pendidikan DPR mendapat kuota penyaluran Kartu Indonesia Pintar atau KIP aspirasi. Ada dugaan tak tepat sasaran.
Mengapa Perguruan Tinggi Tidak Boleh Semena-mena Membebankan UKT kepada Mahasiswa
Uang kuliah tunggal (UKT) naik di beberapa perguruan tinggi negeri. Akibat subsidi kecil.
Ekbis
Ada Apa di Balik Kisruh Impor Bawang Putih
Harga bawang putih meroket setelah izin impornya tersendat. Pemerintah mempertahankan syarat RIPH untuk impor bawang putih.
Hukum
Aset Sitaan Korupsi Asuransi Jiwasraya Dilelang dengan Harga Murah, Siapa Untung?
Nilai lelang aset sitaan korupsi Asuransi Jiwasraya dituding di bawah harga pasar. Terhubung dengan eks narapidana kasus suap.
Lingkungan
Putusan Eksekusi Kebakaran Hutan Mangkrak. Kenapa?
Putusan eksekusi sedikitnya Rp 20,7 triliun terhadap pelaku kebakaran hutan mangkrak. Pemerintah siap menyita aset secara paksa.
Wawancara
Budi Arie Setiadi: Dunia Pers Tak Bisa Dibatasi
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menjelaskan polemik revisi UU Penyiaran dan layanan Internet Starlink.
Internasional
Mungkinkah Hakim Pengadilan Kejahatan Internasional Mengabulkan Permintaan Menangkap Netanyahu?
Jaksa ICC meminta surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang seakan-akan kebal hukum.
Baca selengkapnya di Majalah Tempo:
Peran Menteri Nadiem Makarim dalam Kenaikan Biaya UKT
Cerita Calon Mahasiswa Batal Kuliah Gara-gara Biaya UKT Meroket
Bagaimana Anggota DPR Terpilih Kembali dengan Memanfaatkan Kartu Indonesia Pintar?
Ada Apa di Balik Kisruh Impor Bawang Putih
Aset Sitaan Korupsi Asuransi Jiwasraya Dilelang dengan Harga Murah, Siapa Untung?
Putusan Eksekusi Kebakaran Hutan Mangkrak. Kenapa?
Budi Arie Setiadi: Dunia Pers Tak Bisa Dibatasi
Mungkinkah Hakim Pengadilan Kejahatan Internasional Mengabulkan Permintaan Menangkap Netanyahu?