Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!
Sebentar lagi, kita akan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November mendatang. Pekan depan, para kandidat mulai berkeliling untuk kampanye demi memikat hati rakyat Indonesia.
Para calon pemimpin daerah tak hanya akan berkampanye secara fisik, tapi juga menebar pesona di sela-sela scroll pengguna media sosial. Apa jadinya jika terselip ujaran kebencian, seperti yang terjadi di Pilkada dan Pilpres sebelumnya? Bagaimana kita bisa mengenalinya sehingga emosi tak terpancing?
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo
Belajar dari Kencangnya Ujaran Kebencian terhadap Perempuan dan Minoritas di Pilpres 2024
Hasil pemantauan di media sosial menunjukkan perempuan dan individu LGBTIQ+ menjadi target utama ujaran kebencian selama pemilu 2024. Berdasarkan laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Yayasan Tifa, sebanyak 48,3% dari total kasus yang dianalisis menarget perempuan. Ujaran itu berbentuk komentar yang bersifat seksis, merendahkan gender, dan melibatkan pelecehan seksual verbal. Komentar tersebut seringkali menyoroti penampilan fisik, kemampuan intelektual, dan peran sosial perempuan, serta berusaha mendiskreditkan mereka dalam konteks politik.
Contoh nyatanya adalah kasus seorang caleg perempuan yang menyuarakan keprihatinan terhadap penggusuran di Pulau Rempang. Alih-alih menanggapi substansi kritiknya, ia justru menjadi sasaran serangan pribadi yang berisi ujaran kebencian dan makian. Termasuk penggunaan frasa “betina” yang ditujukan kepadanya, untuk mendiskreditkan perempuan. Frasa ini berbahaya, karena memiliki konotasi negatif yang menyamakan perempuan dengan binatang.
Kelompok LGBTIQ+ menjadi sasaran kedua terbesar dengan 29% dari kasus ujaran kebencian. Serangan yang sering didasarkan pada prasangka religius dan sosial itu menuduh komunitas LGBTIQ+ sebagai ancaman moral. Narasi anti-LGBTIQ+ sering kali digunakan oleh beberapa politisi.
Misalnya salah satu caleg dari Partai NasDem, Dito Arief Nurakhmadi, yang membuat sebuah iklan bertuliskan “Malang Darurat LGBT. Nasdem Menang, Perjuangkan Perda Anti LGBT Kota Malang”. Melalui konten itu, Dito mengunggah video dengan narasi mendiskreditkan kelompok LGBTIQ+ dengan memposisikannya sebagai sumber masalah sosial serta meminta dukungan agar ketika terpilih nanti bisa merancang regulasi anti-LGBTIQ+.
Iklan politik itu juga didanai Semart Politica Indonesia, untuk disebarkan selama 4 hari, yaitu dari 11 Januari hingga 14 Januari 2024. Menurut data dari FB Ads Library, impresi dari iklan mencapai 35 ribu sampai dengan 40 ribu dengan jumlah belanja iklan sekitar Rp80.000-Rp90.000.
Sayangnya, tidak ada sanksi dari Bawaslu. Ini menunjukkan masih adanya kekosongan regulasi tentang ujaran kebencian terhadap orientasi seksual di Indonesia.
Selain itu, etnis Tionghoa menjadi target ujaran kebencian dengan 12,9% kasus. Mereka sering dikaitkan dengan stereotip rasial dan teori konspirasi ekonomi. Etnis Tionghoa, dalam hal ini diidentikkan dengan imigran tenaga kerja dari Cina, dianggap bisa merusak kedaulatan negara Indonesia dan menjadi agenda tersembunyi dari etnis itu. Contoh ujaran kebencian terhadap etnis Tionghoa antara lain “LEBIH BAIK USIR SAJA CINA DARI NKRI SEPERTI TAHUN 1998 DULU KALAU PEMERINTAH BERLUTUT KEPADA ASING DAN ASENG” dan “ayo bersatu..usir cina pembawa bibit komunis dari bumi indonesia”.
Pengungsi Rohingya juga mengalami 9,6% dari total kasus serangan, dengan narasi yang memicu sentimen anti-imigran. Dalam beberapa kasus, pengungsi Rohingya kerap menjadi sasaran ujaran kebencian dengan narasi yang memicu ketakutan atau permusuhan terhadap pengungsi Rohingya. Isu Rohingya sering kali digunakan dalam narasi politik yang memanfaatkan sentimen anti-imigran atau anti-pengungsi.
Kedua etnis tadi berkaitan dengan isu imigran yang kemudian digunakan untuk mendorong kekerasan melalui media sosial terhadap mereka. Untuk konteks pengungsi Rohingya, beberapa konten memuat narasi yang mendesak pemerintah Indonesia untuk mengusir mereka dengan alasan isu nasionalisme. Misalnya, “USIR ROHINGYA. KALAU MEREKA MASIH DISINI, KAMI SEMUA GOLPUT” dan “Pancasila hanya untuk Indonesia bukan untuk Rohingya”.
Kelompok minoritas agama seperti pengikut Syi’ah dan Ahmadiyah juga menjadi sasaran. Ini mencerminkan ketegangan antar sektarian umat beragama di Indonesia.
Dari banyaknya ujaran kebencian selama Pilpres lalu, sebagian besar pelaku serangan adalah non-aktor politik yang mencakup 89,2% dari total konten yang dianalisis. Sementara aktor politik hanya 4,6%. Penggunaan akun anonim atau tidak resmi juga umum ditemukan, memungkinkan para pelaku untuk menyebarkan kebencian tanpa terkena sanksi.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi ruang utama untuk menyebarkan kebencian, memperburuk polarisasi sosial dan politik identitas; terutama terhadap kelompok rentan seperti perempuan, komunitas LGBTIQ+, serta minoritas etnis dan agama.
Menghadapi Pilkada 2024 pada November mendatang, kita mesti berhati-hati terhadap berulangnya ujaran kebencian pada Pilpres lalu. Jangan ragu untuk saling mengingatkan dan mengajak orang-orang sekitar, agak tak hanyut ke dalam kelompok penyebar kebencian.
Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab
Cek Fakta Pilihan
Benarkah Klaim Dana Bantuan BPJS Kesehatan Sebesar Rp125 Juta?
Sebuah poster beredar di Facebook dengan klaim BPJS Kesehatan memberikan bantuan kepada masyarakat senilai Rp125 juta. Informasi yang tertera pada poster menyebut bantuan tersebut untuk dana transportasi umum dan perlindungan sosial tambahan. Poster itu memuat foto Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D, AAK dan juga tautan whatsapp bagi penerima.
| Hasil Pemeriksaan Fakta
Tim Cek Fakta Tempo menghubungi Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan) Rizzky Anugerah. Menurut Rizzky, informasi dana bantuan BPJS Kesehatan tersebut palsu dan bertujuan untuk menipu warga. BPJS Kesehatan, kata dia, tidak memiliki program bantuan tersebut untuk masyarakat.
Waktunya Trivia!
Benarkah Mengatasi Tabung Gas Elpiji Bocor Dengan Merendamnya ke Air?
Video pendek tentang cara mengatasi tabung gas elpiji yang bocor diunggah sebuah akun di Facebook. Konten tersebut memuat klaim bahwa saat tabung gas elpiji bocor sebaiknya direndam dengan air untuk mencegah bau gas tidak menyebar. “Dan, jangan menghidupkan api bila bau gasnya belum hilang.” tulis pengunggah konten.
Ada Apa Pekan Ini?
Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.
Ikuti kami di media sosial: