Halo pembaca,
Politik Indonesia tak kunjung lepas dari “politik dagang sapi”—istilah bagi-bagi kekuasaan di kalangan elite partai melalui kursi kabinet. Menang dalam pemilihan presiden 2024 dengan suara mayoritas 58,6 persen, Prabowo Subianto mendapat tagihan saham partai dan elite pendukung yang mengantarkannya jadi presiden terpilih setelah gagal dalam tiga kali Pemilu.
Presiden Joko Widodo, yang diakui Prabowo berjasa meroketkan perolehan suaranya, menitipkan lima nama calon menteri. Partai Golkar, peraih kursi Dewan Perwakilan Rakyat paling banyak nomor dua, meminta lima kursi. Partai Demokrat, yang bergabung belakangan dan kehilangan 10 kursi, malah menambah permintaan kursi menteri karena merasa paling berjasa memenangkan Prabowo.
Rebutan kue kekuasaan setelah pemilihan umum sejatinya bukan hal baru. Semua presiden yang terpilih secara langsung setelah Reformasi menghadapi tagihan partai dan nonpartai yang menanam saham kemenangan. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi adalah dua presiden yang mengobral kekuasaan dan jabatan setelah terpilih menjadi presiden.
Sebagai negara yang mengusung sistem presidensial, seorang presiden sebenarnya punya kekuasaan mutlak menentukan kabinetnya. Hak prerogatif dalam sistem presidensial bahkan memberikan legitimasi lebih tinggi ketimbang mereka yang terpilih menjadi anggota legislatif. Namun, di Indonesia, primus solus ini tak punya tuah, malah menjadi alat berbagi kekuasaan dalam politik akomodasi.
Sebagai petugas partai dan presiden yang tak punya “garis biru” PDI Perjuangan, Jokowi memakai hak prerogatif itu untuk menyusun kekuatan dan menciptakan koalisi besar. Kehausan partai menyedot kue proyek negara lewat jabatan membuat tawaran Jokowi bak gayung bersambut. Selama periode kedua kekuasaannya, Jokowi mendapatkan dukungan 80 persen suara DPR. Praktis tak ada suara oposisi yang menjadi penyeimbang hasrat kekuasaan Jokowi yang membesar dan tak terkendali di ujung masa pemerintahannya.
Pikiran pragmatis Jokowi membangun Indonesia ia terjemahkan pertama-tama dengan melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019. Dengan dukungan mayoritas partai, pengebirian KPK itu sukses sehingga ia leluasa membuat pelbagai kebijakan yang melanggar prosedur hingga mencapai puncaknya ketika Jokowi mengakali hukum untuk meloloskan anaknya menjadi wakil presiden.
Prabowo Subianto seyogianya melihat apa yang telah dirusak Jokowi dengan koalisi besarnya. Keinginannya membangun koalisi besar dengan menggaet PDI Perjuangan, partai yang mengusung calon presiden Ganjar Pranowo, mesti dienyahkan. Prabowo harus menyediakan ruang oposisi di legislatif agar demokrasi yang dirusak Jokowi bisa kembali hidup.
Pemilihan legislatif 2024 mengantarkan PDIP mendapatkan suara terbesar dengan 110 kursi. Dengan gagalnya Partai Persatuan Pembangunan ke Senayan, partai nonpendukung Prabowo menyisakan penyokong Anies Baswedan, yakni NasDem, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Ketiganya membukukan 190 kursi.
Kekuatan 300 kursi oposisi melawan 280 kursi pendukung Prabowo Subianto akan membuat demokrasi Indonesia lebih berwarna. Hidupnya kembali demokrasi akan memberikan nilai positif kepada Prabowo yang selama ini dituduh sebagai tentara yang antidemokrasi. Lagi pula, Prabowo bukan Jokowi yang gagal mendapat dukungan partainya sendiri sehingga menggalang dukungan partai lain memakai iming-iming kursi kabinet.
Dengan hak prerogatifnya sebagai presiden, Prabowo Subianto punya kesempatan membentuk kabinet zaken, kabinet ahli, yang tak pernah terwujud dalam politik Indonesia sejak merdeka. Kabinet ahli memungkinkan Indonesia terlepas dari kebijakan politik patron yang dikuatkan Jokowi selama 10 tahun memimpin Indonesia.
Tapi harapan kepada Prabowo mungkin terdengar muluk. Selain kemenangannya belum pasti hingga dilantik 20 Oktober 2024, keputusan Komisi Pemilihan Umum masih perlu diuji dalam gugatan dugaan kecurangan di Mahkamah Konstitusi. Dengan Gerindra finis di urutan ketiga, posisi Prabowo juga rentan sehingga ia bisa tergoda mengulang politik dagang sapi dalam penyusunan kabinetnya.
Edisi pekan ini kami membahas pelbagai manuver elite partai berebut kursi kabinet di pemerintahan mendatang. Terima kasih Anda terus menjadi pembaca setia Tempo. Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Wakil Pemimpin Redaksi
LAPORAN UTAMA
Manuver Elite Partai Berebut Jatah Menteri Kabinet Prabowo
Kabinet Prabowo diperkirakan dipenuhi kader partai. Jokowi dan petinggi partai koalisi Prabowo-Gibran menitip sejumlah nama.
Komik: Ramai-ramai Minta Jatah Menteri
Sejumlah partai mulai mengajukan permintaan jumlah kursi menteri kepada pasangan presiden-wakil presiden terpilih.
Di Ambang Koalisi Prabowo-PDIP
Prabowo Subianto gencar melobi PDIP, NasDem, dan PKB. Peluang masuk kabinet Prabowo terbuka lebar.
Yang Dilakukan Prabowo Selama Magang Jadi Presiden
Prabowo Subianto mulai merancang komposisi kabinet. Ada kemungkinan jumlah menteri di kabinet Prabowo bertambah.
Benarkah Hubungan Prabowo dan Jokowi Mulai Retak?
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan soal penyusunan menteri kabinet Prabowo Subianto.
WAWANCARA
Gagasan di Balik Aturan Menteri Agama Mengatur Volume Speaker Masjid
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan aturan penggunaan loudspeaker masjid dan rencana menjadikan KUA sentra pelayanan semua agama.
HUKUM
Bom Waktu Pelanggaran Pemilu 2024 di Malaysia
Tujuh mantan anggota PPLN Kuala Lumpur divonis bersalah karena memalsukan data pemilih. Akibat personel yang tak kompeten.
Baca Selengkapnya di Majalah Tempo:
- Manuver Elite Partai Berebut Jatah Menteri Kabinet Prabowo
- Komik: Ramai-ramai Minta Jatah Menteri
- Di Ambang Koalisi Prabowo-PDIP
- Benarkah Hubungan Prabowo dan Jokowi Mulai Retak?
- Gagasan di Balik Aturan Menteri Agama Mengatur Volume Speaker Masjid
- Bom Waktu Pelanggaran Pemilu 2024 di Malaysia