Halo pembaca,
Menurut para ahli politik, ini zaman otoritarianisme elektoral. Di banyak negara otoritarianisme menguat berbungkus demokrasi. Meredupnya demokrasi liberal di negara-negara barat, kegagalan kapitalisme menghadirkan keadilan sosial, membuat populisme tumbuh. Akibatnya demokrasi hanya jadi alat bagi tokoh populis memanipulasi suara mayoritas untuk berlaku otoriter.
Andreas Schedler, ahli politik Center for Economic Teaching and Research di Mexico City, yang memulai menelaah gejala autokrasi baru ini sejak awal 2000. Electoral authoritarian ia definisikan sebagai rezim otoriter yang menyelenggarakan pemilihan umum. Tapi Pemilu hanya jadi alat terus berkuasa. Pemilu dimanipulasi sedemikian rupa agar penguasa ini terus punya pengaruh.
Demokrasi pun menjadi pura-pura dan jadi kedok untuk menutupi laku menindas memakai kekuasaan. Di Indonesia, kedok ini acap kita dengar dengan argumen dalam bentuk lain. Pemerintah acap mengatakan kini tak ada media yang dibredel, seraya diam-diam mematikan sikap kritis masyarakat sipil dengan pelbagai teror dan intimidasi.
Penguasa menolak disebut membangun politik dinasti karena kerabatnya dipilih secara demokratis dalam pemilu. Penguasa tak mau disebut melanggar konstitusi dan karena pelanggaran dilakukan setelah konstitusinya diubah. Dalam populisme dan otoritarianisme elektoral, dalih-dalih yang tak bertentangan dengan prinsip demokrasi itu didukung orang banyak.
Berangkat dari keadaan itu kami menulis edisi akhir tahun dengan menyorot para aktivis 1998 yang membelot dan Partai Solidaritas Indonesia. PSI hanya partai kecil dan belum lolos ke DPR. Tapi ia jadi contoh bagaimana partai dibuat dengan logika sungsang, yakni hanya mengejar kekuasaan. Partai ini tak didirikan dengan ide dan gagasan membuat kebaikan bagi orang banyak memakai jalan politik.
Maka meski PSI partai baru, wataknya sangat lama, yakni watak Orde Baru yang dihadang oleh gerakan aktivis masyarakat sipil pada 1998. Tapi para aktivis itu pun kini bersekutu dengan mesin kekuasaan Orde Baru itu. Pembelotan-pembelotan ini membuat masa depan demokrasi Indonesia di ujung tanduk.
Selain edisi khusus yang membahas dua tema ini, kami menyajikan kaleidoskop, rekaman peristiwa selama 2023. Tampak di sana, hal-hal mengerikan terjadi. Selepas pandemi, kita berhadapan dengan makin meningkatnya korupsi, pelanggaran konstitusi, dan naiknya politik dinasti. Annus horribilis.
Selamat membaca, selamat tahun baru. Tetap semangat!
Bagja Hidayat
Redaktur Eksekutif
OPINI
2023: Tahun Politik yang Mengerikan
Pemerintahan Jokowi membunuh demokrasi dengan cara yang demokratis.
LAPORAN KHUSUS
Mengapa Kami Menulis PSI dan Pembelotan Aktivis 1998 terhadap Reformasi
Dinasti Jokowi disokong oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan sejumlah aktivis 1998. Kenapa mereka berbalik arah?
Relasi Jokowi dan PSI
Relasi PSI-Jokowi sudah lama mesra. Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovanie ikut mendukung dinasti Jokowi.
Siapa Jeffrie Geovanie?
Jeffrie punya peran penting di Partai Solidaritas Indonesia. Pengambil keputusan partai dan pencari dana.
PSI Melanjutkan Ideologi Jokowisme. Apa Itu?
Giring Ganesha dan Ade Armando menjelaskan sikap PSI terhadap dinasti Jokowi.
Balik Arah Aktivis Pragmatis
Budiman Sudjatmiko dan sejumlah aktivis 1998 menggalang pemenangan Prabowo-Gibran. Dianggap pragmatis dan melupakan sejarah.
Kemewahan Idealisme vs Pragmatisme Politik Aktivis 1998
Muncul gerakan tandingan.
HUKUM
Bumerang Kampus UI
Ketua BEM UI Melki Sedek Huang dituduh terlibat kekerasan seksual. Motif politis ikut menyeruak.