Halo pembaca,
Setiap menjelang pemilu atau pemilihan umum, politik Indonesia seperti Amerika Serikat dua abad lalu. Para kandidat presiden berlomba menggaet dukungan dari para pensiunan tentara. Setiap Pemilu muncul forum-forum mantan perwira tentara atau polisi yang mendeklarasikan dukungan kepada kandidat tertentu.
Pemilu kali ini juga tak lepas dari pamer dukungan para purnawirawan. Semua kandidat menempatkan para jenderal tentara dan polisi di tim pemenangan. Tak jelas keberadaan mereka untuk apa. Mungkin berharap pengaruh karena para jenderal itu menduduki jabatan penting semasa masih aktif. Tapi, dalam pemilihan langsung, preferensi pemilih lebih ditentukan oleh figur calon presiden, bukan pendukung, tim sukses, bahkan partai pengusungnya.
Banyak survei menunjukkan gejala split ticket-voting itu: pemilih sebuah partai belum tentu memilih calon presiden yang diusungnya. Maka jika bukan untuk keperluan elektoral, keberadaan pensiunan jenderal bisa mungkin dimanfaatkan jaringan mereka. Tentara kita di daerah yang masih menganut patronase mungkin bisa jadi jangkar menggalang suara.
Masalahnya, tentara tak punya hak pilih. Keluarga mereka pun tak sampai 1 juta orang. Pensiunan jenderal pernah jadi rebutan secara mencolok para kandidat dalam Pemilu 2014. Waktu itu ada pengerahan bintara pembina desa (Babinsa) untuk mengarahkan pemilih mencoblos calon tertentu.
Lagi-lagi, jika Babinsa akan dijadikan alat memobilisasi suara, malah melanggar aturan. Siapa pun Panglima TNI akan berseru menjelang Pemilu bahwa TNI akan netral—karena begitulah seharusnya alat negara. Lagipula, hasil Pemilu 2014 juga menunjukkan pengerahan Babinsa tidak efektif mengumpulkan suara. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih unggul dibanding Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang terciduk mengerahkan Babinsa yang mengarahkan pemilih di beberapa provinsi.
Manfaat para pensiunan jenderal mungkin hanya untuk Prabowo Subianto. Di Pemilu 2024 ini, ia memamerkan dukungan para jenderal yang dulu memeriksanya dalam perkara penculikan aktivis prodemokrasi 1998. Prabowo selalu tersandung dalam urusan kejahatan HAM ini. Dengan menampilkan para jenderal yang dulu memeriksa dan merekomendasikan ia dipecat dari TNI akan mengesankan masa lalu itu sudah tak jadi problem.
Apa pun itu, pengerahan para jenderal berbahaya jika bertujuan bagi-bagi kue kekuasaan. Dua periode pemerintahan Jokowi membuktikan tentara dan polisi mendapatkan keistimewaan dalam jabatan publik yang tak ada urusannya dengan pertahanan dan keamanan. Balas jasa ini membuat jabatan-jabatan publik diisi oleh mereka yang satu klik, bukan karena kompetensinya.
Di Amerika Serikat dua abad lalu, memberikan karpet merah kepada para veteran Perang Saudara membuat politik dan kebijakan publik condong menguntungkan para jenderal. Arena politik tak menjadi supremasi sipil, sebagaimana syarat demokrasi yang sehat.
Selamat membaca. Di edisi ini kami juga menyajikan banyak artikel menarik, seperti operasi memburu gembong narkoba Fredy Pratama, kelanjutan proyek Pulau Rempang, para pemadam kebakaran padang sabana Gunung Bromo, hingga privilese untuk Elon Musk yang mau berinvestasi satelit sinyal Internet di Indonesia.
Bagja Hidayat
Redaktur Eksekutif
-----------------
Peran Pensiunan Jenderal Pendukung Prabowo Subianto
Prabowo Subianto mendapat dukungan dari purnawirawan TNI yang dulu menjadi seterunya. Melupakan dosa pelanggaran HAM berat.
Mengapa Partai Demokrat Bergabung ke Koalisi Prabowo
Demokrat batal bergabung dengan koalisi Ganjar Pranowo. Prabowo Subianto menawarkan empat kursi menteri.
Manuver Purnawirawan TNI Pendukung Ganjar Pranowo
Purnawirawan TNI pendukung Ganjar Pranowo berupaya menaikkan popularitas calon presiden PDIP itu. Berfokus di luar Jawa Tengah.
Gejolak Purnawirawan TNI di Koalisi Anies Baswedan
Sejumlah purnawirawan pendukung Jokowi dan Prabowo kini beralih mendukung Anies Baswedan. Ada yang memendam kekecewaan.
Berapa Kerugian Akibat Kebakaran Sabana Gunung Bromo
Kebakaran padang sabana Gunung Bromo terjadi karena ulah manusia. Membuat aktivitas ekonomi masyarakat terhenti.