Halo, pembaca
Tahun ini Indonesia berusia 78 tahun. Cukup tua untuk ukuran manusia, sangat muda untuk ukuran sebuah republik. Kita masih harus merumuskan secara terus-menerus bentuk Indonesia yang kita bayangkan sebagai sebuah bangsa, yang tumbuh oleh generasi berbeda dari hari ke hari. Karena itu, tahun ini kami mengangkat tokoh Papua untuk edisi hari kemerdekaan.
Kami memilih tiga tokoh: Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan Marthen Indey. Ketiganya mewarnai sejarah Indonesia sekaligus Papua yang kini masih bergolak oleh konflik. Dari ketiganya kami ingin menggali sejarah di sekitar Proklamasi, yang acap dirujuk sebagai sumber konflik yang tak berkesudahan.
Ketiganya adalah pahlawan nasional. Tapi ini pandangan dari Indonesia karena mereka coba mengintegrasikan Papua ke dalam negara kesatuan ini. Bagi kepala-kepala suku dan adat, mereka dituding sebagai “penjual” Papua kepada Indonesia. Sejarah panjang orang Papua membuat penggabungan ke dalam Indonesia sebagai penyatuan yang menyalahi sejarah mereka.
Tak mudah merumuskan dan menempatkan posisi ketiga tokoh itu dalam pelana yang adil dan seimbang dengan melihat dari sisi Indonesia dan Papua sekaligus. Kami tahu cara pandang seperti ini juga segera terlihat sebagai posisi bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia.
Di situlah problemnya. Melihat Papua sebagai bagian dari Indonesia yang tak terpisahkan juga bermasalah. Doktrin negara kesatuan justru yang membuat konflik di Papua tak kunjung selesai. Karena itu para peneliti menyebut ada “nasionalisme ganda” di kalangan orang Papua.
Sebenarnya istilah itu juga bisa menyesatkan karena menempatkan nasionalisme sebagai sebuah sikap yang sudah ajek, sebuah imajinasi yang sudah tersedia dalam pikiran orang Papua. Bisa jadi, usaha integrasi berbuah konflik karena memaksakan konsep dan pandangan yang belum dikenal oleh orang Papua saat itu.
Maka edisi khusus Kemerdekaan ini coba mendudukkan soal pelik itu dengan melihatnya dalam aktivitas sosial dan politik ketiga tokoh ini. Mereka adalah aktivis, birokrat, pernah bekerja kepada pemerintahan Hindia Belanda, dan politikus sekaligus. Dari kisah hidup mereka semoga kita bisa belajar ada soal yang belum selesai ketika kita membicarakan Papua.
Konflik yang terus berlangsung kian diperburuk oleh cara pandang pragmatis Jakarta dalam melihat Papua. Maka kebijakan Jakarta—dengan pembangunan ekonomi dan infrastruktur—tak pernah bisa membuat orang Papua terpincut menerimanya. Sebab bukan itu yang jadi soal pokok yang dianggap belum selesai oleh orang Papua.
Jika mereka menolak cara Jakarta memperlakukan Papua hingga muncul keinginan memisahkan diri dari Indonesia menunjukkan ada komunikasi dan cara pandang keliru dalam melihat masalah Papua secara utuh. Kisah tiga tokoh Papua dalam edisi khusus kemerdekaan ini bisa jadi satu referensi bagaimana seharusnya kita menempatkan Indonesia dalam Papua dan Papua di dalam Indonesia.
Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Redaktur Eksekutif
Problem Nasionalisme di Papua
Dicoba diintegrasikan dengan Indonesia 60 tahun lalu, Papua terus bergolak. Jangan melihat Papua dengan kacamata Jakarta.
Konflik Agraria di Nagari Air Bangis
Warga Desa Air Bangis mengalami kekerasan saat berdemonstrasi di Padang. Keterlibatan aparat dalam konflik agraria.
Inkonsistensi Program Transisi Energi
Pemerintah tak konsisten menjalankan program transisi energi. Memberi izin pembangunan PLTU baru demi investasi.
Kontroversi Pengangkatan Pejabat KLHK
Pelantikan Dirjen Planologi KLHK diwarnai dugaan pemalsuan tanda tangan. Rekam jejaknya kontroversial.
Untuk Apa KPK Menyerahkan Penyidikan Dugaan Korupsi Basarnas ke TNI?
Penetapan tersangka korupsi Kepala Basarnas menimbulkan pro dan kontra. KPK menyerahkan penyidikan ke TNI.