TEMPO.CO, Jakarta - Rencana penghiliran mineral hasil tambang terus berlanjut. Setelah melarang ekspor nikel pada 1 Januari 2020, Presiden Joko Widodo akan menyetop ekspor bauksit mulai 1 Januari 2023. Larangan berikutnya akan berlaku pada konsentrat tembaga, pasir timah, dan komoditas tambang lain mulai tahun ini.
Setelah melarang ekspor mineral, pemerintah melanjutkan proyek penghiliran hasil tambang melalui pembangunan smelter hingga pabrik pengolahan logam. Tujuannya meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan yang pada akhirnya akan mengerek devisa.
Pemerintah sesumbar jika pengolahan bauksit di dalam negeri bakal mendorong pendapatan negara dari Rp 21 triliun menjadi Rp 62 triliun. Jokowi juga mengklaim penerimaan negara dari ekspor nikel olahan mencapai Rp 468,2 triliun, naik berlipat-lipat dari ekspor nikel mentah yang menghasilkan devisa Rp 17,1 triliun.
Kebijakan ini juga tak mulus. Karena melarang ekspor nikel, Indonesia menuai gugatan dari Uni Eropa di forum Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Cina juga mengancam akan menggugat jika Indonesia memberlakukan larangan ekspor bauksit.
Di dalam negeri, program penghiliran mineral juga berhadapan dengan rendahnya komitmen perusahaan tambang dalam membangun smelter. Dengan melarang ekspor mineral mentah, apakah pemerintah bisa memaksa program penghiliran berjalan sesuai dengan target?
Apa saja yang menghadang rencana ambisius ini? Kami juga menulis tentang pemisahan atau split-off MIND ID, perusahaan induk atau holding perusahaan pertambangan milik negara, yang menjadi ujung tombak proyek penghiliran mineral. Selamat membaca
Fery Firmansyah
Redaktur Utama
Tersandera Lambatnya Proyek Smelter
Bagaimana maju mundur proyek penghiliran hasil tambang? Apa di balik lambatnya pembangunan smelter bauksit?
Setelah Induk Tambang Berpisah Jalan
Apa rencana di balik split-off MIND ID dan Inalum?
Sinyal Pasar
Pelarian Modal
Meski resesi global berkurang, pelarian modal dari dalam negeri tetap tinggi. Kenapa?
OPINI
Bumerang Larang Ekspor Tambang
Untuk apa pemerintah melarang ekspor tambang? Bukankah lebih menguntungkan jika menarik bea keluar komoditas?