TEMPO.CO, Jakarta - Sejak Januari hutan suku di Sipora Utara Mentawai, Sumatera Barat, habis ditebang. Hutan seluas 243 hektare itu habis hampir seluruhnya. Kayu dari hutan alam di area penggunaan lain (APL) itu dijual seharganya Rp 70 ribu per meter kubik.
Setelah hutan habis, ada orang yang membagikan bibit pinang dan durian untuk ditanam di areal bekas hutan itu. Para investor ini datang ke dusun mengajak kerja sama. Mereka mengurus administrasi hingga operasi penebangan dan penjualan. Penduduk adat hanya perlu menyiapkan surat pernyataan kepemilikan tanah ulayat yang disaksikan kepala desa dan camat. Namun hingga kini penduduk adat belum menerima uang penjualan kayu.
Mudahnya pengurusan izin penebangan hutan di kawasan APL membuat masyarakat pemilik lahan hutan di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan beramai-ramai mengajukan permintaan hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) kepada pemerintah. Kemudahan ini dimungkinkan karena izinnya gampang akibat Undang-Undang Cipta Kerja.
Bagaimana bisa? Kemudahan itu mendorong para pemilik hutan hak—di luar hutan negara—mengajukan penebangan hutan mereka. Jika hutan habis, bagaimana nasib lingkungan di hutan-hutan rakyat? Kami memetakan dampak UU Cipta Kerja pada lingkungan di Mentawai.
Dody Hidayat
Redaktur Utama
LINGKUNGAN
Beramai-ramai Menebang Hutan
Masyarakat pemilik hak atas tanah di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, beramai-ramai melakukan penebangan hutan alam karena mudah mendapat izin. Terbujuk rayuan investor.
Toek Terganggu Pembalakan
Budi daya toek di Sungai Goisooinan dan Saurenuk di Sipora Utara terganggu penebangan hutan di hulu. Air yang keruh membuat toek tak bisa dipanen.
OLAHRAGA
Karpet Merah ke Benua Biru
Tiga pesepak bola putri Indonesia menjajal kompetisi di Benua Eropa. Bisa mendongkrak prestasi Indonesia di level internasional.