Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #73 Sinyal Bahaya Peretasan Media

image-gnews
Ilustrasi proses peretasan di era teknologi digital. (Shutterstock)
Ilustrasi proses peretasan di era teknologi digital. (Shutterstock)
Iklan
  • Peretasan terhadap media dan suara-suara kritis marak terjadi belakangan ini, mulai dari situs Tempo.co dan Tirto.id hingga akun Twitter milik ahli epidemiologi Universitas Indonesia. Amnesty Internasional Indonesia mencatat terjadi 42 kasus dugaan intimidasi dan serangan siber terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Hal ini dinilai sebagai sinyal bahaya bagi demokrasi.
  • Riset oleh sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat menemukan bahwa sebagian besar unggahan di Facebook yang berisi klaim palsu tidak diberi label atau peringatan. Hanya 16 persen unggahan yang berisi misinformasi yang diberi label “tidak benar”, “tidak terbukti”, atau “berbahaya”. Facebook merespons riset ini dengan menyatakan bahwa temuan tersebut “tidak mencerminkan langkah-langkah yang telah kami ambil”.

Halo pembaca Nawala CekFakta Tempo! Dalam edisi kali ini, saya ingin bercerita tentang peretasan yang terjadi di tempat saya bekerja, Tempo. Peretasan ini memang tidak mempengaruhi keseharian kami untuk terus mengabarkan fakta kepada publik dan republik. Namun, tindakan peretasan itu tidak bisa didiamkan. Bayangkan jika semua media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah diretas, dan tidak ada lagi anjing penjaga sebagai pengawas penguasa.

Apakah Anda menerima nawala edisi 28 Agustus 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

SINYAL BAHAYA PERETASAN MEDIA

Pada Jumat dini hari pekan lalu, tanggal 21 Agustus 2020, ponsel saya berulang kali berdering, menandakan bahwa ada banyak pesan WhatsApp yang masuk. Rupanya, grup-grup kantor saya telah ramai dengan perbincangan soal diretasnya situs Tempo.co. Awalnya, Tempo.co tidak bisa diakses, hanya muncul layar putih bertuliskan “403 forbidden”. Sekitar 30 menit kemudian, situs berubah menjadi berwarna hitam dengan iringan lagu Gugur Bunga selama 15 menit.

Di dalamnya, terdapat tulisan yang berbunyi: “Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok”. Ketika tulisan itu diklik, kita bakal dialihkan ke akun Twitter @xdigeeembok yang memiliki 465 ribu pengikut.

Dalam waktu sekitar satu setengah jam, Tempo.co sudah bisa diambil alih dan kembali normal. Tapi, sejam kemudian, Tempo.co diserang lagi dengan tampilan yang serupa. Berselang 5 menit, Tempo.co kembali pulih. Peretasan ini terjadi setelah sebelumnya, dalam beberapa hari, Tempo memuat berita tentang influencer yang dibayar untuk mengkampanyekan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Pada hari yang sama, situs Tirto.id juga diretas. Beberapa berita yang menyinggung keterlibatan BIN dan TNI dalam produksi obat Covid-19 dihapus peretas. Pada Jumat petang hingga malam, redaksi Tirto.id menghentikan kegiatan yang berkaitan dengan upload berita, lalu memperkuat sistem keamanan. Namun, di malam hari, isi berita yang berjudul “Soal Obat Corona: Kepentingan BIN & TNI Melangkahi Disiplin Sains” diubah oleh peretas.

Sebelum peretasan terhadap Tempo.co dan Tirto.id ini, pada Rabu malam, 19 Agustus 2020, akun Twitter milik ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, pun diretas, usai mengkritik hasil riset obat kombinasi Covid-19 oleh tim Universitas Airlangga yang bekerja sama dengan BIN dan TNI. Akun Pandu, @drpriono, tiba-tiba mengunggah dua foto dengan narasi yang mengandung kata-kata seperti “mamah muda” dan “mamah kedua”.

Pada 2013, Wakil Direktur Committee to Protect Journalist (CPJ) Robert Mahoney pernah mengatakan bahwa, selama beberapa tahun terakhir, serangan siber terhadap media meningkat pesat. Menurut Mahoney, praktik tersebut dipilih karena bisa menjadi alat penyensoran yang mudah dan murah. Ketika itu, terjadi serangan serempak terhadap media Amerika Serikat, yakni The New York Times, Washington Post, Bloomberg, dan The Wall Street Journal, oleh peretas Cina.

Dilaporkan pula bahwa sejumlah negara menggunakan perangkat lunak yang telah dikustomisasi untuk mengeksploitasi kelemahan keamanan komputer pribadi dan layanan internet konsumen dengan tujuan memata-matai. Menurut laporan CPJ, negara-negara yang diduga melakukan tindakan tersebut adalah AS, Israel, dan Cina. Di negara terakhir, beberapa jurnalis mengaku kerap menerima peringatan di Gmail bahwa akun mereka menjadi target dari apa yang dikatakan Google sebagai “serangan yang disponsori negara”.

Pada akhir Maret 2020, Google kembali melaporkan temuan baru tentang bagaimana peretas yang didukung oleh pemerintah mencoba menarget pengguna dalam beberapa bulan terakhir. Menurut manajer teknik keamanan Google, Toni Gidwani, sejak awal tahun, perusahaannya melihat peningkatan jumlah peretas, termasuk dari Iran dan Korea Utara, yang meniru media atau jurnalis. Dalam beberapa kasus, peretas bakal berpura-pura menjadi jurnalis untuk menghubungi jurnalis lainnya agar menyebarkan misinformasi.

Sejumlah peneliti keamanan, pada Juli 2020 lalu, juga menemukan sekelompok peretas Iran yang menyamar sebagai mantan reporter The Wall Street Journal untuk mengelabui korbannya agar memberikan kata sandi mereka. Para penyerang bekerja dengan mengirim e-mail kepada korban berisi tautan ke halaman login The Wall Street Journal palsu yang dirancang agar pengguna masuk dengan akun Google mereka. Pada kenyataannya, halaman ini mengumpulkan informasi login itu, termasuk kata sandi, dan mengirimkannya kepada peretas.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, menuturkan bahwa peretasan yang dialami oleh Tempo.co dan Tirto.id adalah upaya pembungkaman terhadap demokrasi. Pola-pola peretasan sangat terstruktur, selalu menyasar wacana yang menyerang pemerintahan. “Ini bukan dikerjakan oleh orang-orang iseng, ataupun anak-anak kurang kerjaan. Pasti ini dilakukan oleh mereka yang punya niat serius menyerang media,” ujar Manan. Peretasan ini pun diduga ditujukan agar media berhenti bersikap kritis terhadap pemerintah.

Amnesty Internasional Indonesia juga meminta negara untuk mengusut maraknya kasus peretasan, baik yang diterima oleh media maupun oleh individu. Berdasarkan catatan Amnesty Internasional Indonesia, per 23 Agustus 2020, terjadi 42 kasus dugaan intimidasi dan serangan siber terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Komite Keselamatan Jurnalis pun menyatakan bahwa pemerintah harus tegas menindak peretasan ini. Pasalnya, ada dua pelanggaran hukum yang terjadi: penghalangan aktivitas jurnalistik dan peretasan.

RISET: HOAKS KESEHATAN DI FACEBOOK DITONTON MILIARAN KALI

Riset oleh Avaaz, sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat, menemukan bahwa sebagian besar unggahan di Facebook yang berisi klaim palsu tidak diberi label atau peringatan. Menurut riset yang digelar sepanjang Mei 2019 hingga Mei 2020 itu, hanya 16 persen unggahan yang berisi misinformasi yang diberi label “tidak benar”, “tidak terbukti”, atau “berbahaya”, sementara 84 persennya tidak. Tapi Facebook merespons riset Avaaz itu dengan menyatakan bahwa temuan tersebut “tidak mencerminkan langkah-langkah yang telah kami ambil”.

- Lewat riset itu, Avaaz menemukan bahwa banyak unggahan—beberapa di antaranya menjangkau jutaan akun—berhasil menghindari pelabelan oleh Facebook karena diunggah ulang dari akun lain atau diterjemahkan ke bahasa lain. Avaaz juga menemukan, dalam setahun terakhir, hoaks kesehatan di Facebook telah ditonton hingga 3,8 miliar kali. Volume puncak terjadi pada April 2020, dengan sekitar 460 juta penayangan, ketika pandemi Covid-19 telah menyebar ke berbagai negara.

- Avaaz menyarankan agar Facebook menempatkan koreksi dari pemeriksa fakta secara mencolok dalam unggahan berisi misinformasi. Hal ini diyakini bisa mengurangi kepercayaan seseorang terhadap hoaks hampir 50 persen. Avaaz mengatakan Facebook harus mengubah algoritmanya untuk mengurangi jangkauan misinformasi hingga 80 persen. “Facebook belum secara efektif menerapkan solusi ini pada skala dan kecanggihan yang diperlukan untuk mengalahkan infodemi, meskipun para dokter dan ahli kesehatan telah berulang kali menyuarakan hal tersebut,” ujar Avaaz.

- Menanggapi riset Avaaz ini, juru bicara Facebook mengatakan temuan itu tidak mencerminkan langkah-langkah yang telah diambil perusahaan untuk mencegah penyebaran misinformasi. “Berkat jaringan pemeriksa fakta global kami, dari April hingga Juni 2020, kami telah memberikan label terhadap 98 juta misinformasi tentang Covid-19. Kami juga telah mengarahkan lebih dari 2 miliar pengguna ke otoritas kesehatan, dan ketika pengguna mencoba membagikan tautan tentang Covid-19, kami menampilkan pop-up untuk menghubungkan mereka dengan informasi kesehatan yang kredibel.”

- Menurut jurnalis The Verge, Casey Newton, untuk menentukan cakupan misinformasi kesehatan di Facebook, peneliti Avaaz memakai data publik dari CrowdTangle. Newton menuturkan CrowdTangle hanya membagikan data seputar keterlibatan—berapa banyak like, comment, dan share—yang mendorong peneliti untuk menggunakannya sebagai proksi atas jumlah penayangan sebuah unggahan. Avaaz berasumsi bahwa setiap interaksi berkorelasi dengan 29,7 penayangan. “Pada dasarnya, tidak mungkin untuk mengetahui seberapa akurat angka itu,” kata Newton.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

- Meskipun begitu, menurut Newton, data mentah CrowdTangle menunjukkan bahwa unggahan-unggahan yang berisi klaim palsu itu menghasilkan 91 juta interaksi. “Ini menunjukkan bahwa masalah yang dijelaskan di sini nyata, meskipun skalanya tetap tidak pasti,” ujarnya. Menurut Newton, Facebook memang telah mengambil langkah-langkah penting untuk membendung misinformasi Covid-19. Masalahnya, pendekatan Facebook untuk moderasi konten—lawan ujaran buruk dengan lebih banyak ujaran—menciptakan platform yang secara efektif berperang dengan dirinya sendiri.

- Laporan Center for American Progress menjabarkan sejumlah saran untuk mengelola penyebaran misinformasi. Saran yang paling masuk akal adalah memutus sirkuit viralitas, yang secara otomatis menghentikan algoritma memperkuat suatu unggahan ketika jumlah penayangan dan share-nya meroket. Secara teoritis, hal ini dapat memberikan waktu yang lebih panjang kepada moderator konten untuk meninjau sebuah unggahan. Menurut Newton, Facebook menyatakan tengah menguji coba langkah baru yang menyerupai saran ini dan bakal meluncurkannya dalam waktu dekat.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- TikTok menggugat Presiden Amerika Serikat Donald Trump karena telah membuat kebijakan yang melarang aktivitas platform tersebut di AS. Gugatan itu diajukan ke pengadilan federal Los Angeles. Perusahaan induk TikTok, ByteDance, menolak apa yang dilontarkan oleh Gedung Putih, bahwa platformnya merupakan ancaman keamanan nasional. ByteDance juga menuding bahwa seruan Trump yang melarang TikTok itu memperkuat dugaan terkait kampanye retorika anti-Cina menjelang pemilihan presiden pada 3 November 2020, di mana Trump kembali maju.

- Secara terpisah, manajer program teknis TikTok di AS, Patrick Ryan, menggugat pemerintahan Trump karena pelarangan TikTok bakal menghilangkan pekerjaannya. Ryan mengajukan gugatan itu di pengadilan federal San Francisco pada 24 Agustus 2020, beberapa jam setelah TikTok mengajukan gugatan terhadap Trump. Sebelumnya, Ryan memimpin kampanye crowdfunding untuk membiayai gugatannya itu. Ia pun menyebut tidak menerima dana dari TikTok untuk mengajukan gugatan tersebut.

- Selain pada TikTok, perang dagang antara AS dan Cina dilaporkan bakal berimbas pada Apple. Menurut laporan The Information, toko aplikasi milik Apple, App Store, kemungkinan akan dilarang beroperasi sepenuhnya di Cina. Di negeri tirai bambu tersebut, ada aturan bahwa toko aplikasi harus dimiliki secara mayoritas oleh perusahaan Cina. Selama ini, Apple berhasil mengatasi persyaratan tersebut. Tapi akibat wacana diblokirnya aplikasi milik perusahaan Cina, TikTok dan WeChat, di AS, pemerintah Cina ditengarai bakal menegakkan aturan itu secara penuh.

- Pada 24 Agustus 2020, Facebook memblokir grup Royalist Marketplace yang kerap menyuarakan protes terhadap pemerintah Thailand. Pemblokiran itu dilakukan setelah Thailand mengancam akan mengambil tindakan hukum terhadap Facebook atas konten yang dianggap mencemarkan nama baik kerajaan. Pendiri grup Royalist Marketplace, Pavin Chachavalpongpun, menyatakan bahwa Facebook telah tunduk pada tekanan pemerintah dan bekerja sama dengan rezim otoriter dalam menghalangi demokrasi.

- Facebook menyatakan telah berbagi data dengan PBB untuk penyelidikan kasus kejahatan internasional di Myanmar. Pembagian data ini dilakukan setelah investigator menyebut Facebook sempat menahan bukti-bukti yang mereka miliki. Facebook menyebut telah memberikan data dari berbagai akun dan halaman yang terkait dengan militer Myanmar. Berbagai akun dan halaman itu telah dihapus pada 2018 guna menangkal ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya. PBB menyatakan Facebook telah memainkan peran kunci dalam penyebaran ujaran kebencian yang memicu kekerasan.

- Ponsel pintar murah asal Cina diam-diam mencuri uang dari penggunanya. Awalnya, seorang pengguna membeli perangkat bermerk Tecno W2 yang secara harga sangat murah tapi desainnya mirip dengan ponsel populer. Namun, kuota datanya kerap terkuras secara misterius. Ia juga sering mendapat pesan berlangganan layanan. Rupanya, berdasarkan investigasi, masalah ini terjadi karena perangkat lunak jahat yang tertanam di ponsel itu. Tecno W2 disebut terinfeksi malware xHelper dan Triada.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Belakangan, isu lama yang menyebut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Said Aqil Siradj menjual tanah untuk masjid ke gereja kembali beredar. Menurut klaim yang terdapat dalam artikel di situs Bangsa Online dan Harian Bangsa itu, tanah tersebut milik Haji Qosim yang berlokasi di Karangbesuki, Malang. Awalnya, tanah milik Qosim ini ditawar oleh misionaris dengan harga Rp 9 miliar untuk didirikan gereja. Namun, Qosim menolak tawaran itu. Beberapa saat kemudian, Said Aqil mendatangi Qosim dan menawar tanah tersebut dengan harga Rp 1,7 miliar untuk dijadikan Islamic center. Qosim pun menerima tawaran itu. “Tak dinyana, setelah sepakat dengan SAS atas penjualan tanah tersebut, dan dibayarkan sebesar Rp 700 juta, tanah itu dijual kepada misionaris,” demikian narasi yang beredar.

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim itu keliru. Narasumber dalam artikel di situs Bangsa Online tersebut telah membantah pernah membuat pernyataan tentang keterlibatan Said Aqil dalam penjualan tanah itu. Narasumber lainnya juga menyatakan bahwa apa yang disampaikannya mengenai Said Aqil tersebut berdasarkan testimoni yang tidak benar. Selain itu, oleh Dewan Pers, situs Bangsa Online dan Harian Bangsa yang memuat artikel tersebut pun telah dinyatakan melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik perihal pemberitaan yang tidak uji informasi, tidak berimbang, dan memuat opini menghakimi.

Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


3 Cara Download Video TikTok Tanpa Watermark dengan Mudah

4 jam lalu

Sebagai apresiasi pada content creator, Anda bisa memberikan koin TikTok saat mereka live. Berikut cara top up koin TikTok lewat aplikasi.  Foto: Canva
3 Cara Download Video TikTok Tanpa Watermark dengan Mudah

Ada 3 cara download video TikTok tanpa watermark yang mudah. Anda bisa memanfaatkan website, aplikasi, hingga bot Telegram.


3 Cara Mudah Mengembalikan Video TikTok yang Terhapus

12 jam lalu

Beberapa cara untuk top up koin TikTok, yaitu melalui website resmi dan aplikasi TikTok. Berikut ini informasi tata cara dan harganya. Foto: Canva
3 Cara Mudah Mengembalikan Video TikTok yang Terhapus

Saat video TikTok tak sengaja terhapus, Anda bisa melakukan beberapa cara untuk mengembalikan video TikTok yang terhapus. Berikut tutorialnya.


Kisah Pendukung Timnas Indonesia Tertipu Calo Tiket

17 jam lalu

Seorang pendukung Timnas Indonesia bernama Ardiansyah menunjukkan bukti penipuan calo tiket di media sosial, Jakarta, Selasa, 10 September 2024. Foto: ANTARA/Luthfia Miranda Putri
Kisah Pendukung Timnas Indonesia Tertipu Calo Tiket

Ardiansyah kehilangan Rp 600 ribu karena tertipu calo tiket pertandingan Timnas Indonesia vs Australia


Begini Cara Meta Akan Bikin WhatsApp dan Messenger Bisa Saling Chat

1 hari lalu

Tampilan di Whatsapp dan Messenger untuk kemampuan keduanya untuk bisa saling bertukar pesan. Dok.Meta
Begini Cara Meta Akan Bikin WhatsApp dan Messenger Bisa Saling Chat

Meta mengumumkan terobosan itu, membuat WhatsApp dan Messenger yang bersifat interoperabel, mengikuti ketentuan Digital Market Act di Uni Eropa.


1.000 Tayangan Reels Facebook Berapa Rupiah? Ini Informasinya

1 hari lalu

Cara download video Facebook di HP bisa dilakukan dengan mudah tanpa aplikasi. Anda hanya tinggal mengcopy tautan video Facebook.  Foto: Canva
1.000 Tayangan Reels Facebook Berapa Rupiah? Ini Informasinya

Bagi seorang konten kreator, penting mengetahui 1.000 tayangan reels FB berapa rupiah. Hal ini bisa menjadi panduan untuk membuat konten yang bagus.


Mahasiswa Termuda di UNY Tahun Ini dari SMK, Masuk Fakultas Ekonomi

2 hari lalu

Novi Putri Rachmawati tercatat sebagai mahasiswa termuda dalam PKKMB UNY tahun 2024. Foto : UNY
Mahasiswa Termuda di UNY Tahun Ini dari SMK, Masuk Fakultas Ekonomi

Novi Putri Rachmawati menjadi mahasiswi termuda Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) setelah dirinya lolos SNBT 2024. Sebelumnya hanya kagumi di TikTok


Viral Cokelat Batangan Berisi Knafeh dari Dubai, Berapa Harganya?

2 hari lalu

Can't Get Khafeh of It, cokelat batangan dari Dubai yang viral. (Fixchocolates.shop)
Viral Cokelat Batangan Berisi Knafeh dari Dubai, Berapa Harganya?

Cokelat batangan tersebut tersedia secara eksklusif di Dubai dan hanya dapat dipesan pada pukul 2 atau 5 sore waktu setempat.


Facebook Disebut-sebut Gunakan Mikrofon Pengguna untuk Menguping Percakapan, Ada Apa?

3 hari lalu

Ilustrasi Facebook. REUTERS/Dado Ruvic
Facebook Disebut-sebut Gunakan Mikrofon Pengguna untuk Menguping Percakapan, Ada Apa?

Dokumen yang bocor mengutip pitch deck dari Cox Media Group (CMG) yang diduga sebagai salah satu mitra pemasaran Facebook.


Viral Resep Salad Timun di TikTok, Simak Kandungan Nutrisi Timun dan Manfaat Bagi Kesehatan

3 hari lalu

Ilustrasi salad mentimun. eatingwell.com
Viral Resep Salad Timun di TikTok, Simak Kandungan Nutrisi Timun dan Manfaat Bagi Kesehatan

Timun kaya akan nutrisi dan memiliki banyak manfaat untuk kesehtaan tubuh, mulai dari menjaga kesehatan tulang hingga membantu mengurangi risiko kanker


Cara Membuat Stiker Avatar dengan Fitur AI-moji di TikTok

3 hari lalu

Ilustrasi TikTok. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Cara Membuat Stiker Avatar dengan Fitur AI-moji di TikTok

Fitur AI-moji di TikTok memungkinkan pengguna membuat stiker avatar kartun yang dipersonalisasi berdasarkan swafoto mereka.