Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!
Disinformasi punya kemampuan yang berbahaya: menebar kebencian dan memecah belah masyarakat. Tak terhitung peristiwa kejahatan yang tersulut kabar palsu, lalu menebarkan kepanikan.
Pada 29 Juli silam misalnya, tiga anak tewas dalam serangan pisau di Southport, Inggris. Polisi belum merilis siapa tersangkanya, namun hoaks menyebar dengan cepat bak peluru. Warganet berbondong-bondong mengunggah postingan di media sosial secara serampangan menyebutkan tersangka yang identik sebagai Muslim bernama “Ali Al-Shakati”.
Bagaimana misinformasi dapat menjelma sebagai pemicu kerusuhan dan mengapa orang cenderung lebih percaya pada misinformasi ketika peristiwa semacam itu?
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo
Belajar dari Kerusuhan Inggris, Bagaimana Disinformasi Memecah Belah Masyarakat
Nama “Ali Al-Shakati”, menyebar dengan sangat cepat di internet, bersamaan dengan klaim bahwa ia baru saja datang ke Inggris dengan perahu kecil. Klaim lain menyebut bahwa dia beragama Islam, berasal dari Suriah.
Dilansir Full Fact, kerusuhan pecah Selasa malam (30 Juli 2024) di Southport setelah acara peringatan untuk menghormati para korban–tiga anak yang tewas dalam serangan pisau di Southport, Inggris.
Polisi Merseyside mendapat laporan, para perusuh tersulut oleh unggahan di media sosial. Hari berikutnya, lebih dari 100 orang ditangkap di pusat kota London setelah polisi bentrok dengan pengunjuk rasa selama demonstrasi. Terdengar orang-orang meneriakkan frasa seperti “hentikan perahu” dan “selamatkan anak-anak kita”.
Delapan orang juga ditangkap di Hartlepool. Bahkan di Aldershot, sekitar 200 orang berunjuk rasa di luar sebuah hotel yang dituding menampung para migran. Pendemo melempar benda-benda dan melakukan pelecehan rasial.
Dikutip dari Time, media sosial adalah senjata utama bagi kelompok ekstremis untuk membangkitkan “percikan kebencian”. Direktur Policy and Research for Counter-Hate di Institute for Strategic Dialogue, Jacob Davey mengatakan bahwa media sosial menciptakan kebisingan latar belakang dan “lingkungan yang permisif”. Ini mendorong individu-individu yang melakukan kekerasan atau radikal seakan-akan terlibat dalam mentalitas kelompok. Tindakan kekerasan yang terisolasi, yang dilakukan oleh perseorangan itu, dilancarkan oleh influencer yang memprovokasi pengikutnya untuk melakukan kejahatan kebencian dan kekerasan.
Dalam kasus kerusuhan di Inggris, pendiri kelompok sayap kanan English Defense League Tommy Robinson, maupun tokoh anti-imigrasi kontroversial yang terpilih menjadi anggota Parlemen tahun ini, Nigel Farage, secara terbuka menebarkan konspirasi. Narasinya: polisi menyembunyikan informasi tentang identitas penyerang Southport sebagai seorang Muslim atau imigran, bahkan sebelum rinciannya dirilis.
Bos X, Elon Musk, juga turut membuat situasi panas melalui cuitannya menanggapi kerusuhan, menghiraukan dampak konspirasi daring. Salah satu unggahan memperlihatkan dia hanya membalas dengan kata “insane” (gila) pada video pidato Keir Starmer yang menyalahkan perusahaan media sosial besar atas serangan yang terjadi secara daring. Pada unggahan lain, Musk mengunggah “perang saudara tidak dapat dihindari” sebagai tanggapan atas video kerumunan yang menyalakan api dan kembang api.
Menurut Davey, sistem dan algoritma rekomendasi konten dapat memperkuat disinformasi hingga ke puncaknya. Inggris memperkenalkan perlindungan daring baru-baru ini berdasarkan Undang-Undang Keamanan Daring 2023. “Ini yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan media sosial untuk memastikan keamanan pengguna di platform mereka,” ujarnya.
Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab
Cek Fakta Pilihan
Benarkah Video dengan Klaim Perlakuan Orang Islam di Bangladesh terhadap Perempuan Non-Muslim?
Menyusul kerusuhan yang terjadi di Bangladesh dalam sepekan terakhir, sebuah video yang memperlihatkan seorang perempuan dengan kondisi mulut tertutup dengan kaki dan tangan terikat, beredar di media sosial. Video tersebut dibagikan dengan narasi perlakuan orang Islam di Bangladesh terhadap perempuan non-muslim.
| Hasil Pemeriksaan Fakta
Tim Cek Fakta Tempo memverifikasi video tersebut dengan memfragmentasi video menggunakan perangkat InVid, kemudian melakukan penelusuran dengan reverse image search. Hasilnya, video tersebut merupakan aksi teatrikal yang dilakukan mahasiswa India dari kampus Universitas Jagannath, sebagai bentuk protes atas dugaan hasutan yang menyebabkan seorang mahasiswa melakukan aksi bunuh diri.
Waktunya Trivia!
Benarkah Perdana Menteri Singapura Menyatakan Apa Untungnya Indonesia Bantu Jalur Gaza?
Sebuah akun X [arsip], mengunggah tangkapan layar mirip berita dengan foto Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong. Tangkapan berita tersebut berjudul “PM Singapura sampaikan: apa untungnya kalian bantu jalur Gaza? Banyak warga Indonesia yang miskin, seperti Papua contohnya, tapi malah Pemerintah mereka fokus membantu Palestina”.
Ada Apa Pekan Ini?
Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki beragam isu. Buka tautannya ke kanal Cek Fakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Masyarakat Dukung Rempang Eco-City?
- Benarkah Beberapa Negara Larang Coca-Cola Karena Menjadi Cairan Pembersih Limbah?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.
Ikuti kami di media sosial: