- Spotify baru saja menerima paten untuk teknologi pengenalan ucapan dalam menentukan keadaan emosional, jenis kelamin, usia, dan aksen pengguna, yang bisa digunakan untuk merekomendasikan lagu yang tepat. Beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan teknologi telah mendapatkan paten terkait teknologi pendeteksian emosi dalam ucapan. Namun, teknologi ini dikritik sehubungan dengan isu privasi dan keamanan data.
- Munculnya kasus-kasus yang mengiringi vaksinasi Covid-19 menimbulkan sebuah pertanyaan, adakah vaksin Covid-19 yang terbaik? Menurut ahli-ahli kesehatan, tidak ada jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Berdasarkan data yang ada sekarang serta ketersediaan vaksin, vaksin terbaik adalah vaksin yang saat ini tersedia dan sudah mendapatkan izin penggunaan darurat dari otoritas berwenang.
Halo pembaca nawala Cek Fakta Tempo! Apakah Anda pengguna Spotify? Jika ya, mungkin Anda perlu tahu bahwa platform streaming musik yang Anda gunakan itu baru saja menerima paten untuk teknologi yang bisa menafsirkan ucapan pengguna yang kemudian dipakai untuk mengkurasi lagu yang disajikan dengan tepat, sesuai suasana hati mereka. Memang, tidak semua teknologi yang dipatenkan bakal benar-benar diimplementasikan. Tapi kita perlu menyoroti isu privasi dan keamanan data yang mengiringi teknologi itu.
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
SPOTIFY PATENKAN TEKNOLOGI DETEKSI EMOSI
Spotify baru-baru ini menerima paten untuk teknologi yang bertujuan menafsirkan ucapan pengguna, termasuk suara-suara di sekitarnya, yang kemudian digunakan untuk mengkurasi lagu yang disajikan. Perusahaan streaming musik ini, pada 12 Januari 2021, diberi paten untuk teknologi “pengenalan ucapan atau speech recognition guna menentukan ‘keadaan emosional, jenis kelamin, usia, dan aksen’ (pengguna), yang merupakan atribut untuk merekomendasikan konten”.
Menurut dokumen paten yang diterima Axios, Spotify sedang mengembangkan teknologi yang dapat mengekstrak intonasi, tekanan, ritme, dan sejenisnya dari unit ucapan yang memungkinkan keadaan emosional pembicara dideteksi dan dikategorikan. Dikombinasikan dengan data lain dari riwayat mendengarkan pengguna dan permintaan sebelumnya, musik yang sesuai kemudian dapat direkomendasikan atau diputar.
Sebagai informasi, perusahaan teknologi kerap mengajukan paten untuk inovasi yang tidak pernah digunakan dalam produk mereka. Bukan hal yang aneh bagi mereka untuk mematenkan teknologi yang akhirnya tidak sampai ke pasar. Juru bicara Spotify berkata kepada Pitchfork, “Spotify telah mengajukan permohonan paten untuk ratusan penemuan, dan kami secara rutin mengajukan permohonan baru. Beberapa paten ini menjadi bagian dari produk masa depan, sementara yang lain tidak. Ambisi kami adalah menciptakan pengalaman audio terbaik, tapi kami tidak memiliki berita apa pun untuk dibagikan saat ini.”
Meskipun belum jelas apakah teknologi ini akan benar-benar diimplementasikan oleh Spotify dalam platform streaming musik mereka, banyak perusahaan yang telah mulai mengeksplorasi teknologi untuk mengenali keadaan emosional melalui nada suara. Pelacak kebugaran Halo milik Amazon dapat menganalisis nada suara pengguna untuk mengevaluasi bagaimana mereka terlihat oleh orang lain.
Amazon pun, dan juga Google, telah memiliki paten terkait pengenalan emosi ucapan dalam beberapa tahun terakhir, karena itu penjualan speaker pintar mereka secara global melonjak. Pada 2019, Bloomberg melaporkan bahwa Amazon sedang mengerjakan perangkat wearable yang diaktifkan dengan suara yang dapat membaca emosi. “Deteksi keadaan emosional menjadi penting untuk memperbaiki teknologi pengenalan suara,” kata Simon Forrest, kepala analis teknologi di Futuresource Consulting.
Namun, di sisi lain, hal ini memunculkan kekhawatiran. Menurut laporan Forbes, Spotify membagikan beberapa data pengguna kepada pengiklan dan mitra industri musik. Meskipun paten tersebut tidak mengatakan apakah informasi tentang emosi pengguna dapat digunakan dengan cara ini, menurut Rahul Telang, profesor Sistem dan Manajemen Informasi di Universitas Carnegie Mellon, hal ini mungkin menjadi perhatian pengguna jika Spotify benar-benar menambahkan kemampuan itu di platformnya. “Jika pengguna khawatir tentang informasi yang dibagikan, mereka mungkin cenderung ketakutan daripada jatuh cinta. Ini pedang bermata dua,” ujarnya.
Kabar baiknya, hal itu disadari oleh peneliti di Spotify. Mereka memperingatkan agar teknologi pelacakan semacam itu tidak diterapkan tanpa mempertimbangkan implikasi etisnya. “Kami menyadari bahwa sejarah digital seseorang sangat pribadi dan sensitif. Karena itu, teknologi ini harus diperlakukan dengan pertimbangan yang tepat atas kemungkinan penyalahgunaan. Kami menolak penelitian atau aplikasi apa pun di masa mendatang yang melanggar standar etika penggunaan data dan tidak transparan tentang privasi ke penggunanya.”
Pada awal April 2021, kelompok hak sipil digital Access Now mengirim surat kepada bos Spotify, Daniel Ek, yang meminta mereka meninggalkan teknologi yang telah dipatenkan itu. Menurut Access Now, teknologi yang bertujuan mendeteksi suasana hati dan demografi seseorang berdasarkan ucapannya dapat digunakan untuk memanipulasi seseorang dan kemungkinan besar mengarah pada diskriminasi. “Teknologi ini berbahaya, melanggar privasi dan hak asasi manusia lainnya, dan harus ditinggalkan.”
Access Now juga menyoroti isu pelanggaran privasi yang berpotensi muncul dengan implementasi teknologi ini. “Berdasarkan laporan, perangkat akan selalu hidup, yang berarti perangkat akan terus memantau, memproses data suara, dan kemungkinan menyerap informasi sensitif. Tidak ada orang yang mau sebuah mesin mendengarkan percakapan mereka yang paling intim,” kata Access Now. Soal keamanan data, mereka menyatakan, “Memanen jenis data ini dapat menjadikan Spotify target pihak ketiga yang mencari informasi.”
Aktivis dari Fight for the Future, Evan Greer, sependapat dengan Access Now. Dia meyakini ide bahwa platform streaming musik mendengarkan pengguna daripada pengguna mendengarkan platform adalah ide yang buruk. “Salah satu risiko terbesar dari fitur seperti ini adalah cara mereka membuat gagasan pengawasan ini sebagai sesuatu yang normal, atau menormalkan proses penyerahan informasi pribadi dalam jumlah yang luar biasa kepada perusahaan swasta yang bersumpah untuk melindungi kita,” katanya.
ADAKAH VAKSIN COVID-19 TERBAIK?
Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.
Kasus-kasus yang muncul terkait vaksin Covid-19 di tengah upaya berbagai negara di dunia untuk melakukan vaksinasi massal selalu menjadi sorotan publik. Satu pertanyaan pun mencuat, manakah vaksin Covid-19 yang paling baik di antara berbagai vaksin yang telah disuntikkan ke masyarakat. Menurut para ahli, tidak ada jawaban langsung untuk pertanyaan itu. Berdasarkan data yang ada sekarang serta ketersediaan vaksin, vaksin terbaik adalah vaksin yang saat ini tersedia dan sudah mendapatkan izin dari otoritas berwenang.
Seorang lansia menjalani vaksinasi Covid-19 tahap 2 di Sekolah Dasar 03, Jakarta, Selasa, 13 April 2021. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan vaksinasi Covid-19 di bulan Ramadan tidak membatalkan puasa. TEMPO/Fajar Januarta
- Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sedang meninjau enam kasus pembekuan darah yang dilaporkan setelah menerima vaksin Covid-19 Johnson & Johnson (J&J). Keenam kasus itu terjadi pada wanita berusia 18-48 tahun, dan gejalanya muncul pada 6-13 hari setelah vaksinasi. Hingga peninjauan selesai, FDA merekomendasikan untuk menangguhkan sementara penggunaan vaksin ini dengan alasan kehati-hatian.
- Penundaan sementara penggunaan vaksin J&J di AS membuat perusahaan juga menunda peluncuran vaksin di Eropa. J&J berkata, "Kami menyadari adanya kelainan yang sangat langka yang melibatkan pembekuan darah yang dikombinasikan dengan trombosit rendah pada sejumlah kecil orang yang menerima vaksin Covid-19 kami.” Namun, Badan Obat-obatan Eropa (EMA) mengatakan, “Saat ini, belum diketahui dengan jelas apakah ada hubungan antara vaksin J&J dengan kondisi tersebut.”
- Anthony Fauci, kepala penasihat medis AS, mengatakan bahwa penundaan sementara vaksin J&J seharusnya meyakinkan warga AS bahwa badan pengawas regulasi bekerja dengan benar. Menurut dia, kasus pembekuan darah yang ditemukan pada penerima vaksin J&J serupa dengan kasus yang didokumentasikan di Uni Eropa dan Inggris selama peluncuran vaksin Covid-19 AstraZeneca. Pada kedua vaksin tersebut, pembekuan darah terjadi bersamaan dengan trombosit rendah.
- Menurut kesimpulan penyelidikan EMA, vaksin AstraZeneca tidak terkait dengan peningkatan risiko penggumpalan darah. Vaksin ini aman dan efektif. EMA mengatakan tujuh kasus pembekuan darah di beberapa pembuluh darah dan 18 kasus trombosis sinus vena serebral (pembekuan darah di sinus vena otak) telah dilaporkan per 17 Maret. Ini hanya sebagian kecil dari lebih dari tujuh juta orang di Uni Eropa dan 11 juta orang di Inggris telah menerima vaksin AstraZeneca.
- Pejabat tinggi CDC Cina mengakui efektivitas vaksin buatan Cina yang rendah. Pemerintah Cina sedang mempertimbangkan untuk mencampurkan beberapa vaksin Covid-19. Dalam konferensi pers pada 10 April 2021 lalu, Direktur CDC Gao Fu mengatakan, “Vaksin Cina tidak memiliki tingkat perlindungan yang sangat tinggi.” Para ahli mengatakan bahwa mencampurkan vaksin, atau imunisasi beberapa kali, dapat meningkatkan efektivitas.
- Inggris juga sedang meneliti penggunaan vaksin Covid-19 campuran. Umumnya, pakar kesehatan setuju penggunaan vaksin campuran aman. Menurut anggota Komite Bersama Vaksinasi dan Imunisasi Inggris, Jeremy Brown, di tahun-tahun mendatang, masyarakat pada akhirnya harus menggunakan vaksin Covid-19 campuran. “Karena, begitu selesai vaksinasi dua dosis (dengan satu vaksin), di masa mendatang, akan sangat sulit menjamin seseorang mendapat jenis vaksin yang sama.”
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
Logo TikTok terlihat di smartphone di depan logo ByteDance yang ditampilkan dalam ilustrasi yang diambil pada 27 November 2019. [REUTERS / Dado Ruvic / Illustration / File Photo]
- Akun milik Scott Jensen, politikus Partai Republik yang kerap mengkritik penanganan Covid-19 pemerintah AS, dihapus oleh TikTok, menyusul adanya keluhan bahwa unggahannya yang viral baru-baru ini soal pandemi Covid-19 melanggar kebijakan platform terkait misinformasi. Dalam sebuah video di Twitter, Jensen mengatakan akunnya dihapus usai ia mengunggah konten yang mengkritik kisah kontroversial “60 minutes” tentang peluncuran vaksin oleh Gubernur Florida Ron DeSantis.
- Facebook menghapus 16 ribu grup di platformnya yang memperjualbelikan ulasan palsu bagi suatu produk atau layanan, setelah pengawas persaingan di Inggris, CMA, turun tangan untuk kedua kalinya. Facebook yang berbasis di AS juga membuat perubahan lanjutan untuk mendeteksi, menghapus, dan mencegah konten berbayar yang bisa menyesatkan pengguna, termasuk di Instagram. “Aktivitas penipuan tidak diperbolehkan di platform kami, termasuk memperdagangkan ulasan palsu,” kata perwakilan Facebook.
- Investigasi The Markup menemukan bahwa perusahaan induk YouTube, Google, memblokir pengiklan menggunakan sejumlah istilah terkait keadilan sosial dan rasial, termasuk Black Lives Matter, dalam mencari video atau kanal YouTube yang akan digunakan untuk beriklan. Google malah menawarkan kepada pengiklan ratusan juta pilihan untuk video dan kanal YouTube menyangkut supremasi kulit putih dan istilah kebencian lainnya, termasuk “all lives matter” dan “White lives matter”.
- Microsoft telah menggelar sejumlah pembicaraan untuk mengakuisisi beberapa perusahaan teknologi besar dalam satu tahun terakhir. Pada 12 April 2021, Microsoft mengumumkan pembelian Nuance Communications dengan mahar US$ 16 miliar. Sebelumnya, Microsoft mengakuisisi ZeniMax dengan nilai US$ 7,6 miliar. Amazon, Apple, Google, dan Facebook tengah menjadi target Kongres AS karena menyalahgunakan kekuatan pasar, sementara Microsoft justru terhindar dari pengawasan tersebut.
- Data pribadi sekitar 1,3 juta pengguna Clubhouse dikabarkan bocor. Data jutaan pengguna ini diunggah di forum peretas. Data pribadi itu termasuk nama, informasi akun media sosial lain yang terhubung dengan Clubhouse, serta ID milik mereka yang pernah mengundang pengguna tersebut. Lewat akun Twitter-nya, Clubhouse membantah informasi itu. “Clubhouse tidak dibobol atau diretas. Data yang dimaksud adalah semua informasi profil publik yang bisa diakses siapa saja lewat aplikasi atau API kami.”
- Pertumbuhan Clubhouse yang pesat membuat peretas memanfaatkan aplikasi obrolan suara ini untuk menyebarkan malware. Perangkat lunak jahat tersebut diedarkan lewat iklan palsu yang menawarkan Clubhouse versi komputer. Padahal, hingga kini, Clubhouse hanya tersedia di sistem operasi milik Apple, iOS. Menurut laporan Phone Arena, iklan yang terdapat di Facebook itu, saat diklik, bakal mengarahkan pengguna ke situs Clubhouse palsu, yang juga telah dipasangi malware.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Misinformasi terkait vaksin terus membayangi program vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Pada pertengahan pekan ini, kembali beredar klaim palsu soal vaksin Covid-19 buatan perusahaan asal Cina, Sinovac. Klaim yang menyebar di Facebook ini menyebut bahwa vaksin Sinovac ilegal lantaran tidak memiliki sertifikat dari Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Klaim ini dibagikan bersama gambar tangkapan layar artikel yang berjudul “Sinovac Tak Bersertifikasi WHO, Jemaah yang Divaksin Pakai itu Dilarang Umrah?”.
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim sesat terkait vaksin Covid-19 Sinovac.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim tersebut menyesatkan. Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa vaksin Sinovac sudah memenuhi kriteria WHO dan sedang memproses sertifikasinya, yang disebut emergency use listing (EUL), di WHO. Hal ini tercantum pula dalam dokumen di situs resmi WHO, bahwa vaksin Sinovac sedang dalam proses asesmen EUL, yang diperkirakan rampung pada akhir April 2021. Kelompok Penasihat Strategis (SAGE) WHO pun menyatakan bahwa data yang dipresentasikan oleh Sinovac terkait vaksinnya menunjukkan tingkat efikasi yang sesuai dengan syarat WHO.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Sesat, Covid-19 akan hilang sering ditemukannya obat oral molnupiravir
- Keliru, klaim ini rekaman suara Rizieq Shihab saat disiksa Densus 88
- Keliru, klaim mRNA bukan vaksin tapi terapi gen untuk mutasi virus
- Sesat, vaksin Covid-19 Sinovac ilegal karena tak punya sertifikat WHO
- Keliru, klaim ini foto Munarman FPI saat disuntik vaksin Covid-19
- Keliru, klaim ini foto FPI deklarasi bunuh diri massal jika Rizieq Shihab tak dibebaskan
- Keliru, pimpinan Muhammadiyah Mantrijeron Yogyakarta ditangkap Densus 88 sepulang dari Turki
- Keliru, Presiden Tanzania meninggal karena dibungkam demi agenda kontrol populasi lewat vaksinasi
- Keliru, klaim anggota Brimob Maluku ini korban vaksin AstraZeneca
- Keliru, Bill Gates tolak beri vaksin ke anak-anaknya
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: