- Sudah sebulan lamanya Polri mengaktifkan polisi virtual. Namun, hingga kini, keberadaan polisi di dunia maya ini terus memantik kritik dari berbagai pihak. Yang terbaru, keberadaan polisi virtual dipertanyakan setelah menangkap seorang warganet karena mengomentari sebuah unggahan yang berisi pernyataan Wali Kota Solo sekaligus putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Apakah polisi memang harus mengawasi ranah maya?
- Per Juli 2021, semua sekolah di Indonesia ditargetkan untuk memulai kegiatan belajar-mengajar tatap muka. Sejumlah sekolah di beberapa daerah pun sudah mulai mempersiapkan uji coba terbatas kegiatan belajar-mengajar tatap muka ini. Tapi pemerintah belum mewacanakan vaksinasi bagi anak-anak. Apakah anak-anak perlu menerima vaksin Covid-19?
Halo pembaca nawala Cek Fakta Tempo! Apakah Anda salah satu yang setuju dengan penangkapan seorang warganet yang mengomentari unggahan yang menyinggung pernyataan Gibran? Ataukah Anda menentangnya? Yang pasti, penangkapan ini kembali memantik pertanyaan tentang urgensi keberadaan polisi virtual. Sejumlah pihak berpendapat keberadaan tim ini justru berseberangan dengan keinginan Presiden Jokowi untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bermasalah.
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
HARUSKAH POLISI AWASI DUNIA MAYA?
Penangkapan seorang warga Slawi, Tegal, Jawa Tengah, oleh Tim Virtual Police (Polisi Virtual) Polresta Solo menuai kritik di sana-sini. Pria berinisial AM itu diciduk karena menulis komentar di unggahan sebuah akun Instagram tentang permintaan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka agar laga semifinal dan final Piala Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) digelar di kotanya. “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” demikian tulis AM lewat akun pribadinya pada 13 Maret 2021.
Oleh tim polisi virtual, komentar AM itu dianggap bermuatan hoaks. Kapolresta Solo Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak mengatakan komentar tersebut dinilai mengandung unsur hoaks karena menyebut Gibran mendapat jabatan dari ayahnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut dia, komentar itu keliru karena Gibran menjabat Wali Kota Solo usai memenangkan Pilkada Solo 2020. Polisi akhirnya melepaskan AM setelah dia menghapus komentarnya tersebut dan meminta maaf secara terbuka.
Kritik terhadap tim polisi virtual dilontarkan salah satunya oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Menurut SAFEnet, pernyataan AM hanya merupakan olok-olok atau bentuk kesinisan, sehingga upaya polisi menahan AM adalah bentuk pengekangan demokrasi. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto pun mempertanyakan penentuan kategori hoaks oleh tim polisi virtual itu. Menurut dia, dasar penilaian polisi dalam kasus tersebut patut dipertanyakan.
Sejak awal pembentukannya, tim polisi virtual memang telah menjadi sasaran kritik. Kapolri yang baru, Jenderal Listyo Sigit, mengaktifkan polisi virtual sejak 24 Februari 2021 untuk memberikan peringatan kepada akun-akun media sosial yang mengunggah konten yang berpotensi melanggar pidana. Namun, menurut peneliti The Indonesian Institute Center for Public Policy Research, Rifqi Rachman, kehadiran polisi virtual justru mempersempit kebebasan warga di ruang digital.
Ia juga mempertanyakan ruang lingkup edukasi yang bisa diberikan oleh polisi virtual ini. Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono menuturkan bahwa polisi virtual akan mengedukasi masyarakat agar dunia maya bersih dari fitnah dan saling ejek. Ia memastikan kepolisian tidak bermaksud untuk mengekang kebebasan warga di ruang digital dengan kehadiran polisi virtual.
Menurut Damar, polisi virtual merupakan bentuk pengawasan 24 jam oleh negara. “Karena negara berada di tengah untuk mengawasi seluruh percakapan kita,” ujarnya. Damar menuturkan pengawasan ini adalah upaya digital panopticon yang bertujuan mendisiplinkan warga. “Kalau warga keliru, akan cepat-cepat dilakukan upaya koreksi,” ucapnya. Dengan adanya hal itu, kata Damar, Indonesia tengah menghadapi otoritarianisme digital. Otoritarianisme digital dapat berbentuk sensor online, pengawasan siber, dan kontrol infrastruktur.
Polisi virtual, selain mengingatkan warga atas kontennya yang dianggap melanggar, memang juga bertugas meminta mereka untuk melakukan koreksi. Awalnya, ketika menemukan konten yang melanggar, polisi virtual akan mengirimkan peringatan melalui direct message (DM) kepada si pengunggah. Polisi virtual juga bakal meminta si pengunggah untuk mengoreksi kontennya. Kesempatan koreksi diberikan dua kali dengan tempo maksimal 1x24 jam.
Ilustrasi polisi siber. Shutterstock
Sebenarnya, menurut Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), kepolisian telah memiliki akun di media sosial, yakni Twitter, yang khusus menangani masalah siber sejak 2016. Akun itu bernama @CCICPolri. Tapi menurut Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto, alih-alih mendorong kebebasan berekspresi, akun tersebut justru menciptakan persepsi ancaman.
Dalam temuan LP3ES, akun @CCICPolri beberapa kali mengajak warga menjaga stabilitas dan kesejukan. Tapi LP3ES juga menemukan adanya cuitan yang bernada ancaman. Misalnya, dalam cuitannya pada 18 Desember 2020, akun @CCICPolri menulis, “Cepat atau lambat, jejak pidanamu di dunia siber, akan menerima hukuman yang setimpal #IndonesiaNegaraHukum.” Cuitan lainnya berbunyi, “Yakin dan percayalah, jejak digital pidanamu, cepat atau lambat, dapat mengantar dirimu dan keluargamu pada penyesalan. Bersama kita ciptakan kedamaian di tahun 2021.”
Putu Setia, dalam kolomnya di Koran Tempo edisi 28 Februari 2021, mengatakan bahwa sudah benar apa yang dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Sumber masalahnya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan pasal-pasal karet yang membuat orang saling lapor dan polisi sibuk mengurusi kasus ini. Menurut dia, momentum merevisi UU ITE harus terus dihidupkan. “Bahwa Kapolri membuat kebijakan baru dengan selektif menangani kasus-kasus seperti ini, lalu mengajak masyarakat beretika dalam media sosial dengan membentuk polisi virtual, kita jadikan itu sebagai peralihan,” katanya.
Masalahnya, menurut pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Muzakir, keberadaan polisi virtual justru berseberangan dengan semangat Presiden Jokowi merevisi UU ITE. Kehadiran polisi di dunia maya ini justru mengancam kebebasan berpendapat di media sosial, sebab polisi akan mengawasi aktivitas online warga. “Kapolri sepertinya salah mengartikan kehendak Presiden Jokowi,” ujar mantan anggota tim perumus Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu.
Muzakir menilai kinerja polisi virtual berpotensi menimbulkan problem baru. Salah satunya, cara untuk mengetahui, mengukur, dan menilai bahwa ucapan seorang warganet melanggar aturan. Polisi virtual juga bertindak sendiri, dari mengawasi, menentukan, hingga memperingatkan akun yang dianggap bermasalah. Muzakir khawatir polisi virtual nantinya malah menyasar ranah privasi warga di dunia maya. Pemikiran antar-personel bisa berbeda. “Andai saja polisi tidak suka dengan seseorang atau sebuah akun, polisi tersebut akan memantau secara mendalam.”
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar mengatakan, ke depannya, perlu ada evaluasi terkait penerapan polisi virtual ini. Ia menilai harus ada parameter yang jelas dalam penindakan yang dilakukan oleh polisi virtual. Lewat evaluasi tersebut, Rivanlee berharap, dapat diketahui apakah kehadiran polisi virtual justru membungkam kritik masyarakat atau tidak.
Rivanlee mengatakan, dapat dilihat apakah polisi melampaui kewenangannya dalam menegakkan hukum lewat evaluasi itu. “Abuse of power jika polisi melakukan tindakan yang sewenang-wenang ini tanpa ukuran yang jelas. Mereka punya kendali atas semuanya, media massa, alat teknologi, dan sebagainya, tapi tidak memiliki parameter yang terukur, itu bisa disebut sebagai abuse of power,” kata Rivanlee.
MENAKAR KEAMANAN VAKSIN UNTUK ANAK-ANAK
Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menargetkan semua sekolah memulai kegiatan belajar-mengajar tatap muka per Juli 2021. Sejumlah sekolah di beberapa daerah tengah mempersiapkan uji coba terbatas kegiatan belajar-mengajar tatap muka ini, terutama setelah para guru menerima vaksin Covid-19. Namun, hingga kini, pemerintah belum mewacanakan vaksinasi bagi anak-anak. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah anak-anak perlu menerima vaksin Covid-19 dan kapan mereka bakal mendapatkannya.
Murid SD Negeri Kaliasin V mengantre untuk divaksin saat pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 15 Oktober 2020. Pemerintah Kota Surabaya menggelar Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dengan program imunisasi Measles Rubella (MR) dan Human Papiloma Virus (HPV) guna menjaga sistem kekebalan tubuh dari penyakit campak dan penyakit rahim. ANTARA FOTO/Moch Asim
- Vaksin Covid-19 Sinovac diklaim aman dan mampu memicu respons kekebalan pada anak-anak dan remaja, menurut data awal uji klinis tahap I dan II vaksin ini yang melibatkan lebih dari 500 anak berusia 3-17 tahun. Efek samping yang ditemukan pun tergolong ringan. Zeng Gang, peneliti dari Sinovac, mengatakan tingkat antibodi yang dipicu oleh vaksin ini lebih tinggi ketimbang yang terlihat pada orang dewasa dan orang tua. Tapi data awal tersebut belum dipublikasikan di jurnal medis peer-review.
- Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizki Andalusia menuturkan belum ada informasi terpublikasi tentang hasil uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac untuk kelompok usia 3-17 tahun. "Saat ini, uji klinis fase I-II pada relawan kelompok usia 3-17 tahun sedang berlangsung di Cina," katanya. Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan juga mengatakan pihaknya belum mengeluarkan rekomendasi apapun terkait vaksinasi untuk anak-anak.
- Vaksin Covid-19 Pfizer sudah mendapatkan izin untuk digunakan pada remaja mulai usia 16 tahun. Sedangkan vaksin Covid-19 Moderna saat ini tersedia untuk mereka yang berusia 18 tahun ke atas. Pfizer dan Moderna telah menyelesaikan pendaftaran studi pada anak-anak berusia 12 tahun ke atas, dan berharap dapat merilis datanya pada pertengahan tahun ini. Jika regulator menyetujui hasilnya, remaja yang berusia lebih muda dapat mulai diberi vaksin Covid-19 begitu pasokannya memadai.
- Johnson & Johnson (J&J) telah mengumumkan rencananya untuk memulai uji coba vaksinnya pada anak-anak berusia 12-18 tahun. CEO J&J Alex Gorsky mengatakan perusahaannya kemungkinan bisa menyediakan vaksin untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun pada September mendatang. Pada Februari lalu, Oxford University juga mengumumkan akan memulai uji coba vaksin Covid-19 AstraZeneca pada anak-anak berusia 6-17 tahun. Novavax mengatakan uji coba pediatrik pada vaksinnya bakal segera dimulai.
- Pengujian vaksin pada kelompok usia yang lebih muda akan lebih kompleks, karena terdapat kemungkinan diperlukannya dosis yang berbeda atau memiliki respons yang berbeda daripada orang dewasa. Namun, vaksinasi pada anak-anak penting dilakukan. Profesor pediatri Universitas Drexel, Sarah Long, berkata, “Kecil kemungkinan mendapatkan perlindungan komunitas tanpa mengimunisasi anak-anak. Ini penting untuk mengembalikan semuanya ke kondisi normal.”
- Dokter anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Maryland, James Campbell, menjelaskan jumlah anak-anak yang mengalami penyakit serius atau meninggal karena Covid-19 jauh lebih rendah ketimbang orang dewasa, tapi mereka dapat menyebarkan virus. Menurutnya meski kebanyakan anak hanya menunjukkan gejala ringan, mereka tetap berisiko. Setidaknya 226 anak di AS yang terkena Covid-19 meninggal, dan ribuan lainnya dirawat di rumah sakit. Kunci untuk meminimalisir risiko adalah memastikan mereka menerima vaksin serta mematuhi protokol kesehatan.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
Logo Facebook
- Facebook menyatakan telah menghapus lebih dari satu miliar unggahan di platformnya dari akun yang dianggap palsu selama Oktober-Desember 2020. Selain itu, menurut Vice President of Integrity Facebook Guy Rosen, mereka juga menginvestigasi dan menghentikan operasi asing dan domestik yang mengandalkan akun palsu. “Kami menindak perilaku menipu,” katanya. Untuk membantu mendeteksi perilaku-perilaku tidak autentik ini, Facebook menggunakan kecerdasan buatan.
- Twitter menyatakan teknologi automasinya membuat kesalahan saat memblokir akun milik anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Republik, Marjorie Taylor Greene, selama 12 jam pada 19 Maret 2021. Kantor Greene menuduh Twitter tidak memberikan penjelasan mengapa akun itu diblokir. Menurut juru bicara Twitter, sistem automasi mereka mengambil tindakan penegakan hukum pada akun itu karena kesalahan, dan menambahkan, “Tindakan ini telah dibatalkan, dan akses ke akun telah dipulihkan.”
- Pemerintah India menuduh pembaruan kebijakan privasi WhatsApp yang bakal berlaku dua bulan mendatang melanggar undang-undang setempat dalam beberapa hal. Dalam gugatannya ke Pengadilan Tinggi New Delhi, pemerintah meminta pengadilan untuk mencegah aplikasi perpesanan milik Facebook itu meluncurkan pembaruan di India, pasar terbesar WhatsApp. “Karena itu, informasi yang umumnya bersifat pribadi dibagikan pada level yang sangat tinggi. Informasi ini rentan disalahgunakan.”
- TikTok mengumumkan bahwa mereka telah secara agresif melarang banyak akun dan perangkat di Myanmar, dalam upaya untuk menangkal penyebaran misinformasi dan video kekerasan di platformnya. Menurut laporan Rest of World, para tentara di Myanmar telah mengunggah ratusan video ke TikTok sejak militer merebut kekuasaan pada Februari lalu. Video-video itu berisi propaganda pro-pemerintah tradisional, misinformasi yang dimaksudkan untuk membingungkan demonstran, dan ancaman dengan senjata.
- Jurnalis BBC yang ditahan di Myanmar, Aung Thur, telah dibebaskan. Thur dibawa oleh pria berpakaian preman pada 19 Maret saat meliput di luar pengadilan di ibu kota Nay Pyi Taw. Sekitar 40 jurnalis di Myanmar telah ditangkap sejak pemerintahan sipil digulingkan dalam kudeta militer pada Februari. Militer juga mencabut izin lima perusahaan media. Thur dibawa bersama reporter lain, Than Htike Aung, yang bekerja untuk media lokal Mizzima. BBC mengkonfirmasi pembebasan Thur pada 22 Maret.
- Dean Schiller, yang mengidentifikasi dirinya sebagai jurnalis warga, menjadi sasaran kritik karena menyiarkan secara langsung peristiwa penembakan di pusat perbelanjaan di Boulder, Colorado, AS, pada 22 Maret. Schiller menyiarkan kejadian tersebut di kanal YouTube-nya ZFG Videography. Video ini menarik lebih dari 30 ribu penonton. Dalam video itu, satu orang terlihat tergeletak di lantai di dalam toko, sementara dua orang lainnya di tanah di luar toko. Suara seperti tembakan juga terdengar di awal video.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Awal pekan ini, beredar di media sosial gambar tangkapan layar sebuah pesan berantai di WhatsApp yang berisi grafik yang diklaim menunjukkan tingkat antibodi usai vaksinasi Covid-19. Menurut pesan tersebut, pada hari ke-7 setelah vaksinasi dosis pertama, antibodi akan mulai terlihat. Namun, pada hari ke-28 usai vaksinasi dosis pertama, antibodi bakal turun mendekati nol. “Hari ke-28 sudah kecil sekali. Itu sebabnya orang bisa kena Covid-19 beberapa hari sebelum vaksin kedua, karena antibodi sudah mendekati nol,” demikian klaim dalam pesan itu.
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim sesat terkait antibodi usai vaksinasi Covid-19.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai tersebut menyesatkan. Grafik dalam pesan itu bukan grafik yang secara khusus menunjukkan tingkat antibodi setelah vaksinasi Covid-19. Menurut dokter spesialis patologi klinis Tonang Dwi Ardyanto, pola respons pembentukan antibodi karena vaksinasi memang seperti yang terlihat dalam grafik itu. Namun, tidak bisa dimaknai bahwa turunnya antibodi pada semua orang harus di hari ke-2. “Setelah sekitar hari ke-7 ada sel plasma, kemudian hari ke-10 sampai ke-12 ada antibodi, antibodi akan turun. Saat antibodi sudah turun itulah saat yang tepat disuntikkan dosis kedua,” katanya.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Keliru, klaim ini video jaksa penuntut Rizieq Shihab yang ditangkap karena suap
- Keliru, pemerintah wajibkan nama di sertifikat vaksinasi Covid-19 sesuai paspor
- Keliru, artikel tentang demo di UGM soal pemalsuan status alumni oleh Jokowi
- Keliru, poster dengan klaim Anies tersangka dan KPK angkut Rp 3,3 T dari rumahnya
- Keliru, pesan berantai tentang pandemi Covid-19 hanya tipuan yang diklaim berasal dari IDI
- Keliru, klaim ini foto drone Israel di Palestina yang tertangkap elang
- Keliru, klaim ini video aksi melawan arogansi Cina di Malaysia pada Maret 2021
- Sesat, pesan berantai tentang 4 vaksin Covid-19 Cina duduki peringkat teratas vaksin teraman
- Keliru, video berjudul Menkumham tolak Demokrat kubu AHY dan terima hasil KLB Deli Serdang
- Sesat, klaim ini video remaja yang kecanduan game hingga tubuhnya bergerak tak terkontrol
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: