Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #67 Media Sosial dan Bisnis Antivaksin

image-gnews
Ilustrasi vaksin COVID-19 atau virus corona. REUTERS/Dado Ruvic
Ilustrasi vaksin COVID-19 atau virus corona. REUTERS/Dado Ruvic
Iklan
  • Riset Center for Countering Digital Hate (CCDH) menemukan bahwa antivaksin bukan hanya sebuah gerakan, melainkan bisnis yang bernilai miliaran dolar Amerika Serikat. Riset ini juga menyatakan produsen hoaks anti-vaksin dan raksasa teknologi saling memberikan keuntungan satu sama lain. Infodemi antivaksin disebut sebagai hasil dari keputusan yang dibikin oleh para perusahaan media sosial.
  • Pada 30 Juni 2020, Undang-Undang Keamanan Nasional akhirnya berlaku di Hong Kong. Banyak pihak khawatir, UU yang dibuat oleh pemerintah Cina ini akan meningkatkan penyensoran serta permintaan data pengguna internet dan media sosial, seperti yang selama ini terjadi di Cina daratan. Para perusahaan teknologi pun, mulai dari Google, Facebook, Twitter, hingga TikTok, menentang keras UU tersebut.

Halo pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apakah Anda salah satu orang yang menanti-nanti vaksin Covid-19? Atau malah Anda termasuk orang yang tidak mau menerima vaksin Covid-19 jika vaksin tersebut telah ditemukan? Saya berharap Anda tidak masuk dalam kelompok yang kedua. Banyak orang mengira bahwa antivaksin hanyalah sebuah gerakan. Kenyataannya, lebih daripada itu, antivaksin merupakan sebuah bisnis raksasa yang bernilai miliaran dolar AS. Bagaimana bisa? Seperti apa cara kerja gerakan antivaksin, terutama di media sosial?

Apakah Anda menerima nawala edisi 10 Juli 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

MEDIA SOSIAL DAN BISNIS ANTIVAKSIN

Sebuah pertanyaan terngiang di kepala saya dalam beberapa hari ini, “Bagaimana jika kita sudah menemukan vaksin Covid-19, tapi mayoritas penduduk dunia menolak menggunakannya?” Pertanyaan itu muncul setelah saya melihat-lihat kembali berbagai hoaks terkait penyakit yang disebabkan oleh virus Corona baru, SARS-CoV-2, tersebut dalam kurun waktu lima bulan terakhir.

Jangan-jangan, berhembusnya informasi palsu belakangan ini, mulai dari SARS-CoV-2 merupakan hasil rekayasa laboratorium hingga Bill Gates membuat vaksin Covid-19 yang dipasangi microchip, hanyalah permulaan dari perang informasi yang jauh lebih besar ketika nanti vaksin Covid-19 benar-benar ditemukan. Perang ini bakal mengadu para pemangku kepentingan dengan gerakan antivaksin yang membanjiri media sosial dengan misinformasi dan teori konspirasi. Sejak lama, gerakan ini berusaha meyakinkan masyarakat bahwa vaksin adalah ancaman, bukan sesuatu yang bisa menyelamatkan nyawa kita dari wabah.

Menurut kolumnis teknologi The New York Times yang telah mengikuti gerakan antivaksin di Facebook dan Instagram selama bertahun-tahun, Kevin Roose, kelompok tersebut jauh lebih terorganisir ketimbang yang diduga oleh para pengkritiknya. Mereka adalah manipulator media yang cerdas, komunikator yang efektif, sekaligus ahli mengeksploitasi kelemahan platform media sosial.

Contohnya, setelah Facebook dan YouTube menghapus unggahan video konspirasi soal Covid-19, “Plandemic”, di platformnya karena melanggar kebijakan mereka, kelompok antivaksin mengedit video itu dengan cara yang halus untuk menghindari penghapusan dan menyebarkannya kembali. “Anti-vaxxer (sebutan bagi pengikut gerakan antivaksin) telah berlatih untuk itu. Saya khawatir cara-cara mereka tersebut akan sangat efektif dalam menabur keraguan terhadap vaksin Covid-19,” ujar Roose.

Temuan Center for Countering Digital Hate (CCDH) mendukung pernyataan Roose ini. Bahkan, salah satu peneliti CCDH, Imran Ahmed, menuturkan bahwa antivaksin bukan sekadar gerakan, melainkan bisnis miliaran dolar AS, mengingat adanya “bantuan” dari perusahaan media sosial. “Penebar hoaks dan raksasa teknologi saling memberikan keuntungan satu sama lain,” kata Ahmed.

Dia memberikan contoh penjaja hoaks dan teori konspirasi sekaligus anti-vaxxer asal California, Amerika Serikat, David “Avocado” Wolfe. Wolfe bukanlah dokter maupun ahli kesehatan. Tapi di Facebook, Wolfe telah memiliki 12 juta pengikut. Mendiskreditkan obat-obatan mainstream kerap dilakukannya sebagai bagian dari strategi promosinya. Dia menjual berbagai paket seminar kesehatan berbayar dan suplemen nutrisi. Facebook menjadi etalase bagi tokonya, menyajikan iklan kepada pengikutnya agar tidak menerima vaksin Covid-19.

Ahmed menuturkan, bagi “pengusaha” antivaksin seperti Wolfe, pandemi Covid-19 merupakan peluang bisnis. Sembari menyerang berbagai riset soal vaksin Covid-19, Wolfe menggiring pengikutnya untuk membeli produk koloid peraknya, yang dia klaim dapat mengobati Covid-19. Bahkan, Facebook membiarkan Wolfe mempromosikan produk tersebut dalam iklan berbayar. Menurut Ahmed, Wolfe hanyalah salah satu bagian dari industri antivaksin yang jauh lebih besar. Laporan CCDH mengungkapkan industri ini memiliki 58 juta pengikut di media sosial yang bernilai hingga 1 miliar dolar AS dalam pendapatan tahunan perusahaan teknologi.

Menurut laporan CCDH, “infodemi” antivaksin adalah hasil dari keputusan yang dibikin oleh para raksasa teknologi. Setelah wabah campak kembali muncul tahun lalu, baik Facebook, Instagram, YouTube, maupun Twitter menentang dorongan publik untuk menghapus konten dan akun antivaksin. Mereka lebih memilih menyembunyikan atau melabeli konten-konten tersebut.

Laporan CCDH menunjukkan keputusan itu telah membawa malapetaka, memungkinkan industri antivaksin memiliki 41 juta pengikut. Hanya tiga akun antivaksin dalam 409 sampel riset CCDH yang telah dihapus oleh Facebook sejak Maret 2020. Perpustakaan Iklan Facebook pun menunjukkan bahwa perusahaan milik Mark Zuckerberg ini telah menerima uang dari iklan antivaksin. Hal ini memperkuat tumbuhnya ekosistem antivaksin.

Lalu, bagaimana caranya agar, ketika tiba waktunya untuk memberikan vaksin Covid-19 kepada miliaran orang di dunia, otoritas kesehatan dan raksasa media sosial tidak kalah oleh gerakan antivaksin? Menurut Jonathan Jarry, juru bicara Kantor Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Universitas McGill Montreal, Kanada, penting bagi otoritas kesehatan, para dokter, dan pemimpin-pemimpin negara untuk berbicara secara terbuka dan transparan kepada publik tentang pengembangan vaksin, dan secara langsung menjawab pertanyaan dan masalah mereka. “Dan mereka harus memulainya saat ini juga,” katanya.

Menurut Jarry, hanya ada sedikit populasi yang sangat antivaksin. Pemikiran mereka telah sulit diubah. Dia menyarankan otoritas kesehatan dan para pemimpin negara menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk populasi yang ragu-ragu dengan vaksin, yang lebih besar ketimbang populasi antivaksin. Menurut Jarry, jika pertanyaan-pertanyaan seputar keamanan vaksin tidak dijawab secara langsung oleh otoritas kesehatan atau pemerintah, suara-suara kelompok antivaksinlah yang akan mengisi kekosongan itu dengan misinformasi.

Dalam karya ilmiahnya, pakar kebijakan kesehatan asal London, Martin McKee dan David Stuckler, menyebut bahwa setidaknya ada enam prinsip yang harus diadopsi oleh praktisi kesehatan dalam menanggapi situasi di mana hoaks antivaksin marak beredar. Selain itu, dalam mengkomunikasikan temuannya, ilmuwan tidak boleh mengutarakan klaim secara berlebihan dan selalu berhati-hati dalam mendeskripsikan ketidakpastian.

Perusahaan media sosial pun tak bisa tinggal diam. Mereka harus menanggapi ancaman informasi palsu soal vaksin ini dengan serius. Mereka mesti mencurahkan sumber dayanya untuk menghentikan penyebaran misinformasi tersebut. Ahmed menyarankan, agar raksasa teknologi lebih proaktif, pemerintah mesti menyusun undang-undang yang mewajibkan mereka melindungi pengguna dari bahaya misinformasi, yang didukung dengan pemberian denda, pemboikotan, atau bahkan tuntutan pidana.

MENENTANG UU KEAMANAN HONG KONG

Undang-Undang Keamanan Nasional akhirnya diberlakukan di Hong Kong pada 30 Juni 2020. UU yang dibuat oleh pemerintah Cina ini secara khusus melarang terorisme, subversi, separatisme, dan kolusi dengan pihak asing. Banyak pihak khawatir aturan itu bakal digunakan secara luas untuk menekan berbagai bentuk penyampaian pendapat. Berlakunya UU ini juga dinilai akan meningkatkan pengawasan digital di Hong Kong, seperti yang selama ini terjadi di Cina daratan, termasuk menyensor dan mengakses data pengguna internet dan media sosial. Berbagai raksasa teknologi serempak menentang keras UU tersebut.

- TikTok menyatakan bakal berhenti beroperasi di Hong Kong sebagai respons atas diberlakukannya UU Keamanan Nasional di Hong Kong. Mereka juga akan menghapus aplikasinya dari Google Play Store dan Apple App Store di sana. Dalam pernyataan resminya, TikTok mengatakan bahwa semua datanya disimpan di server di Amerika Serikat. TikTok menegaskan tidak akan menghapus konten di platformnya walaupun diminta oleh pemerintah Cina.

- Facebook dan anak perusahaannya, WhatsApp, menyatakan telah menghentikan proses permintaan data pengguna dari pemerintah Hong Kong sembari menunggu penilaian lebih lanjut soal dampak UU Keamanan Nasional. Facebook menyatakan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang mendasar. “Kami mendukung hak seseorang untuk mengekspresikan diri tanpa takut akan keselamatan mereka,” kata Facebook. “Dalam meninjau permintaan, kami mempertimbangkan kebijakan Facebook, hukum setempat, dan standar HAM internasional.”

- Senada dengan Facebook, Twitter juga telah menghentikan penanganan atas semua permintaan dari otoritas Hong Kong dan bakal meninjau UU tersebut. “Kami memiliki keprihatinan yang besar mengenai UU ini,” kata juru bicara Twitter. Adapun Google mengatakan, jika UU itu berlaku, mereka terpaksa harus menghentikan produksi pada setiap permintaan data baru dari pemerintah Hong Kong. “Dan kami akan terus meninjau secara detail UU yang baru tersebut,” ujar juru bicara Google.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

- Telegram menyatakan, untuk sementara waktu, mereka akan menolak permintaan data dari otoritas Hong Kong hingga sebuah konsensus internasional tercapai sehubungan dengan perubahan situasi politik di wilayah tersebut. “Kami memahami pentingnya melindungi hak privasi pengguna kami di Hong Kong dalam kondisi seperti ini,” kata perwakilan Telegram, Mike Ravdonikas. “Karena itu, Telegram tidak akan memproses permintaan data apa pun yang terkait dengan pengguna di Hong Kong sampai konsensus internasional tercapai terkait perubahan kondisi politik ini,” katanya.

- Pakar hukum data dan internet Cina, Rogier Creemers, mengatakan UU ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan Cina daratan soal internet. Sejak 2013, pemberlakuan hukum di Cina daratan telah berujung pada pembatasan internet secara menyeluruh. Dalam UU yang baru itu, pemerintah Cina boleh meminta perusahaan media sosial untuk menghapus konten berdasarkan “alasan kecurigaan”. Aplikasi yang tidak memenuhi permintaan ini akan diancam hukuman pidana dan denda 100 ribu dolar AS.

- Ketentuan itu tercantum dalam UU internet Cina yang terbit pada 2017 yang mewajibkan perusahaan teknologi “menyediakan dukungan teknis dan bantuan” kepada otoritas untuk menghapus atau meninjau konten dengan alasan keamanan nasional. UU yang baru ini pun disebut bakal memperluas kewenangan kepolisian Hong Kong. Polisi akan diizinkan untuk menggerebek atau mengawasi warga tanpa jaminan apa pun. Namun, pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, menuturkan pada 7 Juli 2020, “Pada akhirnya, waktu dan fakta yang akan berbicara bahwa UU ini tidak akan menghancurkan HAM dan kebebasan.”

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Pada 7 Juli 2020, organisasi penggagas kampanye pemboikotan iklan Facebook #StopHateForProfit akhirnya bertemu dengan bos Facebook, Mark Zuckerberg. Tapi dalam wawancara dengan media, mereka menjelaskan bahwa pertemuan lewat Zoom itu hanya membuat mereka frustasi dan kecewa. Menurut para penggagas, Facebook tidak bisa membuat komitmen yang tegas atas sepuluh tuntutan mereka, termasuk melarang ajakan untuk melakukan tindak kekerasan dari politikus dan menghapus grup-grup yang berfokus pada supremasi kulit putih atau penyangkalan terhadap tragedi Holocaust.

- Facebook menemukan ribuan pengembang aplikasi pihak ketiga yang berhasil mengakses data penggunanya dalam periode tertentu. Para pengembang itu mendapatkan data-data tersebut meski pengguna sudah tidak aktif di Facebook selama lebih dari 90 hari. Hal tersebut bertentangan dengan regulasi yang diterapkan oleh Facebook sejak 2018, bahwa pengembang aplikasi pihak ketiga tidak boleh mengakses data pengguna yang sudah tidak aktif selama 90 hari. Menurut Facebook, hal ini terjadi karena adanya bug

- Google dilaporkan telah menghapus 25 aplikasi berbahaya dari Play Store karena kedapatan mencuri informasi kredensial pengguna Facebook. Informasi kredensial yang dimaksud berupa username dan password pengguna. Aplikasi-aplikasi itu menggunakan metode phising untuk mengelabui korban. Firma keamanan siber Prancis, Evina, menemukan bahwa puluhan aplikasi tersebut mengandung kode berbahaya yang bisa mendeteksi aplikasi apa saja yang sedang dibuka oleh pengguna. “Jika aplikasi yang dibuka adalah Facebook, aplikasi berbahaya itu akan membuat halaman login palsu,” ujar perwakilan Evina.

- Setelah beberapa bulan lalu dihapus dari Play Store, aplikasi pengujian performa ponsel bikinan perusahaan Cina, AnTuTu Benchmark, kini Google menghadang pemasangan aplikasi tersebut di ponsel Android. Halaman resmi unduhan file APK aplikasi AnTuTu diblokir oleh browser buatan Google, Chrome. Alasannya, situs tersebut diduga mengandung aplikasi berbahaya yang bisa mengumpulkan data pengguna. Meskipun file APK berhasil diunduh, pemasangan aplikasi tersebut bakal diblokir oleh fitur pelindung ponsel Android dari aplikasi berbahaya, Play Protect.

- Badan keamanan siber Prancis mendorong perusahaan telekomunikasi di negaranya untuk menghindari penggunaan peralatan dari Huawei dalam jaringan 5G-nya. Tapi mereka menyatakan tidak melarang secara total pemakaian peralatan raksasa teknologi Cina itu. Selain itu, Inggris dilaporkan sedang menyusun proposal untuk menghentikan pemakaian peralatan dari Huawei dalam jaringan 5G di negaranya. Inggris pun akan mempercepat penghapusan teknologi Huawei yang sudah mereka gunakan. Langkah ini diambil setelah salah satu badan intelijen Inggris, GCHQ, meningkatkan status kekhawatiran keamanannya terkait teknologi Cina.

- Mantan insinyur Yahoo, Reyes Daniel Ruiz, dihukum lima tahun tahanan rumah karena terbukti telah meretas lebih dari 6 ribu akun e-mail yang digunakan untuk mencari gambar seksual. Pria asal California, AS, ini melancarkan aksinya sejak 2009 hingga 2019. Dengan memanfaatkan aksesnya ke backend Yahoo, Ruiz mencuri kata sandi terenkripsi akun-akun e-mail tersebut. Kata-kata sandi itu lalu dia pecahkan dan sipamai untuk masuk ke akun-akun milik wanita. Ruiz diperkirakan telah mencuri sekitar 2 terabyte data berupa 1-4 ribu gambar dan video.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Dalam beberapa hari terakhir, beredar klaim bahwa Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 Tahun 2019, yang baru diunggah ke situs resmi MA pada Juli 2020, membatalkan kemenangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Unggahan di Facebook yang memuat klaim itu pun berisi narasi bahwa Jokowi-Ma’ruf harus segera melepaskan jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden karena putusan itu.

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim itu keliru. Pertama, Putusan MA Nomor 44 Tahun 2019 tidak berlaku surut. Putusan itu terbit sekitar sepekan setelah Jokowi-Ma’ruf dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Kedua, sengketa Pilpres 2019 telah selesai lewat putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan ini bersifat mengikat, menolak gugatan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sekaligus mengukuhkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf. Ketiga, hasil Pilpres 2019 telah sesuai dengan Pasal 6A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


KPK Limpahkan Berkas Perkara Hakim Agung Gazalba Saleh ke Pengadilan

11 jam lalu

Mantan terdakwa Hakim MA, Gazalba Saleh, menjalani pemeriksaan, gedung KPK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. Dalam pemeriksaan ini tim penyidik melaksanakan penyerahan barang bukti berkas perkara telah terpenuhi secara formil dan materil tersangka Gazalba Saleh, kepada tim jaksa penuntut umum KPK untuk segera dilakukan pelimpahan ke persidangan di Pengadilan Tipikor dalam tindak pidana korupsi didapati nilai penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam bentuk pembelian aset mencapai Rp.9 miliar terkait kasus dugaan berupa suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung RI. TEMPO/Imam Sukamto
KPK Limpahkan Berkas Perkara Hakim Agung Gazalba Saleh ke Pengadilan

KPK melimpahkan berkas perkara Hakim Agung Gazalba Saleh yang terlibat dugaan gratifikasi dan TPPU ke Pengadilan Tipikor.


Profil Gayus Lumbuun, Ketua Tim Hukum PDIP yang Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

17 jam lalu

Ketua tim hukum PDI Perjuangan Gayus Lumbuun (ketiga kanan) menunjukkan berkas gugatan yang telah didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, Selasa, 2 April 2024. Gugatan tersebut ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), terkait perbuatan melanggar hukum oleh kekuasaan pemerintahan (onrechmatige overheidsdaad) dalam hal ini utamanya adalah KPU pada Pemilu 2024, khususnya pemilihan presiden. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Profil Gayus Lumbuun, Ketua Tim Hukum PDIP yang Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun minta KPU menunda penetapan prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih Pilpres 2024. Ini Profilnya


Hakim Agung Suharto Terpilih sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial

1 hari lalu

Hakim Agung Suharto terpilih sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin, 22 April 2024. ANTARA/HO-Mahkamah Agung RI
Hakim Agung Suharto Terpilih sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial

Hakim Agung Suharto terpilih sebagai Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial menggantikan Sunarto.


Berefek ke Kesejahteraan Tubuh, Bagaimana Taktik Mengurangi Penggunaan Media Sosial?

2 hari lalu

Ilustrasi bermain sosial media di ponsel. Shutterstock.com
Berefek ke Kesejahteraan Tubuh, Bagaimana Taktik Mengurangi Penggunaan Media Sosial?

Orang sering menggunakan media sosial untuk memposting momen terbaiknya, membuat feed terlihat seperti highlight reel dari pengalaman keren.


Link 15 Twibbon Untuk Merayakan Hari Bumi, Perhatikan Cara Download dan Upluad

2 hari lalu

Massa dari berbagai Kelompok Pencinta Alam melakukan aksi damai untuk memperingatai Hari Bumi, di halaman gedung KPK, Jakarta, 22 April 2015. Dengan membawa spanduk raksasa yang berisi Petisi Kelestarian Bumi Indonesia dan dibubuhi ribuan tandatangan tersebut mereka mengingatkan bahwa Merusak Alam Itu Korupsi. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Link 15 Twibbon Untuk Merayakan Hari Bumi, Perhatikan Cara Download dan Upluad

Hari Bumi atau Earth Day pada 22 April dapat dirayakan dengan berbagai aktivitas termasuk meramaikan di media sosial lewat unggahan twibbon.


Kilas Balik Sengketa Pilpres atau PHPU 2019, Putusan MK Tolak Seluruh Permohonan Prabowo - Sandiaga Uno

2 hari lalu

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) menskors sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019. Sidang tersebut beragendakan pembacaan putusan oleh majelis hakim MK. ANTARA/Hafidz Mubarak
Kilas Balik Sengketa Pilpres atau PHPU 2019, Putusan MK Tolak Seluruh Permohonan Prabowo - Sandiaga Uno

Sengketa Pilpres 2024 tengah dibacakan MK. Pada PHPU 2019, putusan MK menolak seluruh permohonan Prabowo - Sandiaga Uno.


Jeda 3-7 Hari dari Media Sosial Bisa Meningkatkan Kesehatan Mental? Begini Penjelasannya

2 hari lalu

Ilustrasi bermain media sosial. (Unsplash/Leon Seibert)
Jeda 3-7 Hari dari Media Sosial Bisa Meningkatkan Kesehatan Mental? Begini Penjelasannya

Sebuah studi penelitian 2022 terhadap anak perempuan 10-19 tahun menunjukkan bahwa istirahat di media sosial selama 3 hari secara signifikan berfaedah


Kilas Balik Putusan Sengketa Pilpres 2014 dan 2019

3 hari lalu

Delapan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum untuk Pemilihan Presiden 2024 atau PHPU Pilpres di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 1 April 2024. TEMPO/Amelia Rahima Sari
Kilas Balik Putusan Sengketa Pilpres 2014 dan 2019

MK akan membacakan putusan sengketa Pilpres 2024 pada Senin, 22 April 2024. Seperti apa putusan MK terkait sengketa Pilpres 2014 dan 2019?


25 Link Twibbon untuk Semarakkan Hari Kartini 2024

3 hari lalu

Raden Ajeng Kartini. Wikipedia/Tropenmuseum
25 Link Twibbon untuk Semarakkan Hari Kartini 2024

Pemerintah Sukarno memilih hari Kartini untuk diperingati sebagai momentum khusus emansipasi wanita


Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

5 hari lalu

Wan Chai, Hong Kong. Unsplash.com/Letian Zhang
Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

Museum Sasta Hong Kong akan dibuka pada Juni