- Sejak awal Mei 2020, Facebook membatasi penggunaan istilah “boogaloo” di platformnya. Kebijakan ini diambil karena gerakan Boogaloo membanjiri Facebook dan menunggangi demonstrasi atas kasus George Floyd serta penolakan terhadap kebijakan shelter-in-place terkait pandemi Covid-19. Sebenarnya, apa itu gerakan Boogaloo dan bagaimana gerakan ini menginvasi media sosial?
- Belakangan mengemuka berbagai inisiatif untuk menggugat tindakan diskriminatif yang terjadi di dunia digital. Gerakan-gerakan tersebut dilancarkan karena para raksasa internet dinilai tidak berdaya menghadapi banjir konten diskriminatif, termasuk yang bernada rasis, di platform mereka. Apa saja bentuk inisiatif-inisiatif itu?
Selamat hari Jumat, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apakah Anda pernah mendengar kata “boogaloo”? Istilah ini ramai berseliweran di media sosial di tengah demonstrasi anti rasisme besar-besaran di berbagai wilayah di Amerika Serikat. Hanya dalam beberapa pekan, Facebook telah menelurkan dua kebijakan terkait “boogaloo” saking besarnya peredaran istilah ini di platformnya. Apa itu “boogaloo” sampai Facebook memberikan perhatian lebih terhadap istilah tersebut?
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
MEMBENDUNG INVASI GERAKAN BOOGALOO
Kata “boogaloo” ramai diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir setelah, pada 4 Juni 2020 Facebook mengumumkan tidak lagi merekomendasikan grup yang terkait dengan istilah tersebut kepada pengguna. Sebelumnya, sejak 1 Mei, Facebook telah melarang penggunaan “boogaloo” dan kata terkait lainnya, seperti “Big Igloo” atau “Big Luau”, dalam unggahan yang berisi foto senjata dan seruan aksi untuk berkonflik.
Kebijakan terkait rekomendasi grup tersebut diumumkan hanya sehari setelah beberapa pria yang tergabung dalam grup Boogaloo di Facebook didakwa karena terlibat konspirasi untuk menghancurkan properti pemerintah dan warga dalam demonstrasi atas pembunuhan George Floyd di Las Vegas, Amerika Serikat, pada 30 Mei. Menurut kelompok advokasi Tech Transparency Project, sejak April lalu, pengikut Boogaloo juga telah membahas soal aksi angkat senjata sembari memprotes kebijakan shelter-in-place terkait pandemi Covid-19.
Sebenarnya, apa itu Boogaloo? Dilansir dari Vice, Boogaloo adalah kelompok ekstremis sayap kanan anti pemerintah. Menurut laporan Vox, gerakan ini memperjuangkan isu kepemilikan senjata yang terlihat (visible gun ownership) serta mendorong kekacauan yang pada akhirnya memicu kehancuran sistem politik. Para pengikut Boogaloo bisa dikenali lewat kemeja Hawaii yang kerap mereka pakai atau senjata laras panjang yang selalu mereka tenteng
Nama Boogaloo sendiri berasal dari film gagal pada 1984, Breakin ‘2: Electric Boogaloo. Setelah rilisnya film tersebut, istilah “2: Electric Boogaloo” kerap dipakai sebagai parodi yang merendahkan. Pengikut Boogaloo mayoritas berasal dari forum di situs 4chan yang khusus membahas mengenai senjata. Menurut sebuah riset, istilah “boogaloo” telah digunakan di forum tersebut sejak 2012, mengacu pada terpilihnya kembali Presiden AS Barack Obama yang telah menyebabkan “perang saudara” kedua, yang mereka sebut “Civil War 2: Electric Boogaloo”.
Lalu, apa ancaman terbesar gerakan ini sehingga Facebook sampai membatasi segala hal yang terkait dengan Boogaloo di platformnya? Tak lain adalah kemampuan mengorganisir diri yang dimiliki oleh gerakan ini di media sosial, terutama Facebook. Walaupun Facebook tidak lagi merekomendasikan grup yang terkait dengan Boogaloo, para peneliti di kelompok nirlaba Avaaz menemukan hampir dua lusin halaman Facebook yang terafiliasi dengan gerakan Boogaloo dan mengusung ideologi anti pemerintah dan anti penegakan hukum.
Unggahan-unggahan pada halaman yang ditemukan Avaaz pada 28 Mei-18 Juni itu pun memuat seruan eksplisit untuk kekerasan bersenjata, termasuk konten abu-abu seperti meme anti pemerintah yang memakai eufemisme terkait kekerasan. Ada pula beberapa halaman yang menyebarkan misinformasi terkait aksi Black Lives Matter, seperti meme yang berisi klaim bahwa polisi sengaja meletakkan batu bata di lokasi demonstrasi untuk memicu kerusuhan serta teori konspirasi tentang Bill Gates dan George Soros.
Menurut laporan Vice, pengikut Boogaloo sengaja ikut dalam aksi Black Lives Matter dan berpura-pura mendukung warga kulit hitam untuk memicu kekerasan. Beberapa dari mereka menghadiri aksi sambil membawa senjata. Sementara yang lainnya bersembunyi di balik layar gadget mereka untuk memprovokasi tindakan kekerasan terhadap demonstran. Kelompok yang kedua ini sangat aktif di media sosial. Dalam beberapa pekan terakhir, tagar #boogaloo dibanjiri oleh meme provokasi. Mereka berharap ini adalah awal dari perang saudara.
Menurut jurnalis senior The Verge, Casey Newton, yang patut ditakutkan dari gerakan Boogaloo adalah, di saat pandemi Covid-19 ini, di mana pengangguran di AS meningkat, sentimen ekstremis yang dibawa oleh gerakan tersebut dapat berubah menjadi kekerasan yang lebih luas. “Pertanyaannya, apa langkah-langkah yang telah disiapkan oleh perusahaan media sosial untuk menghentikan hal tersebut?” katanya.
Newton menuturkan, jika Boogaloo adalah kelompok tunggal yang terdefinisi dengan seorang pemimpin yang dipilih dan sebuah komitmen yang dinyatakan dengan jelas, misalnya menggulingkan pemerintah AS, menanganinya akan sangat mudah. “Anda tinggal melarang akun-akun media sosialnya serta menghapus unggahan-unggahan yang menyuarakan dukungannya terhadap gerakan tersebut,” ujar Newton.
Sayangnya, menurut Newton, Boogaloo adalah sebuah kumpulan gagasan yang tidak beraturan. Beberapa pengikut Boogaloo memperjuangkan hak dalam Amandemen Kedua Konstitusi AS untuk memegang dan membawa senjata serta menolak perintah shelter-in-place, yang merupakan wacana politik arus utama AS. Sejumlah pengikut lain mendukung supremasi kulit putih dan kekerasan terhadap negara. Adapun beberapa dari mereka merupakan pendukung gerakan Black Lives Matter.
Hal ini membuat perusahaan media sosial kesulitan dalam menentukan unggahan yang merupakan ancaman dan mesti dihapus. Menurut Newton, di satu sisi, ini adalah masalah internet yang memudahkan orang-orang jahat bertemu satu sama lain, kemudian menciptakan tujuan bersama. Namun, di sisi lain, ini juga masalah platform, di mana algoritma rekomendasi telah merekrut pengikut bagi orang-orang jahat tersebut.
MENGGUGAT DISKRIMINASI DUNIA DIGITAL
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap menjumpai pernyataan-pernyataan yang mendiskriminasi kelompok tertentu di dunia maya. Namun, para penguasa internet seakan tak punya taring dalam menghadapi banjirnya konten diskriminatif, termasuk yang bernada rasis. Hal ini memicu munculnya sejumlah inisiatif untuk menggugat diskriminasi, baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja, yang terjadi di platform ataupun internal perusahaan digital tersebut.
- Kampanye untuk memboikot Facebook Ad tengah mengemuka belakangan ini. Gerakan itu muncul karena Facebook dianggap tidak serius dalam mengatasi ujaran kebencian dan misinformasi di platformnya, termasuk unggahan Presiden AS Donald Trump di tengah aksi Black Lives Matter. Kampanye yang diberi nama #StopHateForProfit tersebut pun telah mendapatkan dukungan dari sejumlah perusahaan, seperti North Face, REI, Upwork, Patagonia, Dashlane, dan Dentsu Group.
- Gerakan itu juga didukung oleh National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), Color of Change, dan Anti-Defamation League. Presiden NAACP, Derrick Johnson, menilai Facebook tidak mau mengambil langkah yang signifikan untuk menghapus propaganda politik di platformnya. Karena itu, menurut dia, bos Facebook Mark Zuckerberg tidak hanya lalai, tapi juga berpuas diri dalam penyebaran misinformasi di platformnya. “Ini akan menjungkirbalikkan integritas pemilu mendatang,” kata Derrick.
- Pada 16 Juni 2020, sekelompok content creator berkulit hitam mengajukan gugatan terhadap YouTube karena telah menghapus konten mereka secara sistematis tanpa penjelasan. Gugatan yang diajukan ke pengadilan federal di California itu menguraikan dugaan diskriminasi terhadap empat content creator. Salah satu content creator tersebut, Nicole Lewis, mengaku bahwa YouTube menghapus kanalnya dengan tuduhan ketelanjangan (nudity). Padahal, tidak ada satu pun videonya yang menunjukkan ketelanjangan.
- Lebih dari 70 orang yang berkecimpung di industri game, sebagian besar di antaranya perempuan, mengungkapkan berbagai tindakan diskriminasi gender, pelecehan, dan kekerasan seksual yang diperolehnya. Kisah-kisah mereka salah satunya terkumpul dalam sebuah thread di Twitter yang dibuat oleh Jessica Richey, seorang content creator yang tinggal di New York, AS. Terkuaknya kisah dari para gamer ini mendorong seorang pimpinan perusahaan manajemen gamer untuk mengundurkan diri.
- Di tengah maraknya diskriminasi di internet, sejumlah perusahaan teknologi membuat kebijakan yang setidaknya bisa mengurangi persoalan tersebut. Google misalnya, mengubah kebijakannya sehingga iklan lowongan pekerjaan, perumahan, dan kredit tidak lagi bisa menarget konsumen berdasarkan jenis kelamin, usia, status orang tua, status perkawinan, dan alamat. Kebijakan ini diterapkan karena muncul diskriminasi ketika pebisnis memasang iklan dengan target tertentu.
- Google, Apple, dan Twitter juga menyuarakan kritiknya atas kebijakan Trump yang menangguhkan berbagai jenis visa AS, termasuk visa pekerja tamu yang biasa dipakai oleh perusahaan teknologi untuk merekrut bakat-bakat dari luar negeri. Google menyinggung tentang kontribusi imigran bagi kehidupan masyarakat Amerika. Bos Apple, Tim Cook, menekankan manfaat yang diperoleh perusahaan dan negara dari imigrasi. Sementara Twitter menyebut kebijakan Trump itu “picik” dan “sangat merusak”.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Google akan mulai menampilkan label hasil pemeriksaan fakta di bawah thumbnail yang muncul dalam pencarian gambar Google Images. Sebelumnya, Google telah melampirkan label berdasarkan verifikasi dari berbagai organisasi cek fakta itu pada mesin pencari dan Google News. Upaya ini diambil menyusul semakin besarnya tekanan pada Google dan berbagai platform internet lainnya untuk memerangi penyebaran informasi palsu secara online.
- Kampanye pemilu yang digelar Presiden AS Donald Trump pekan lalu di BOK Center, Tulsa, Oklahoma, dilaporkan telah “dikerjai” oleh pengguna TikTok. Kabar ini muncul lantaran beredar video imbauan di TikTok yang meminta pengguna untuk membeli tiket kampanye di situs resmi Trump, namun tidak hadir ke acara tersebut sehingga kursi yang dipesan menjadi kosong. Alhasil, hanya sekitar 6.200 orang yang hadir di BOK Center, jauh lebih sedikit dari batas maksimal venue yang mampu memuat sekitar 19 ribu orang.
- Twitter menyatakan bakal memberikan hari libur bagi karyawan yang berkewarganegaraan AS untuk mengikuti Pemilihan Presiden AS nanti. Kebijakan cuti berbayar ini juga akan diterapkan bagi karyawan Twitter di seluruh dunia ketika pemilu digelar di negaranya masing-masing.Tapi Twitter menekankan, karyawan yang bertanggung jawab atas pekerjaan terkait pemilu, termasuk keamanan layanan, bakal tetap bekerja di hari tersebut.
- Facebook akan mulai memberikan akses kepada publik untuk melacak berapa banyak uang yang dibelanjakan oleh para kandidat senator dan anggota kongres AS untuk iklan politik di platformnya. Facebook bakal menambahkan pelacak pengeluaran untuk seluruh kandidat dalam Facebook Ad Library. Sebelumnya, Facebook Ad Library telah menyediakan pelacak pengeluaran untuk kandidat presiden. Facebook pun akan menambahkan pelacak khusus untuk membandingkan pengeluaran iklan dari pengiklan yang menjalankan iklan politik.
- Investigasi The Intercept menemukan banyak moderator konten Facebook yang jam kerjanya ditambah hingga 48 menit per hari untuk mengecek konten-konten paling mengganggu di platform ciptaan Mark Zuckerberg tersebut. Kebijakan ini diambil hanya beberapa pekan setelah Facebook diharuskan membayar 52 juta dolar AS dalam rangka penyelesaian kasus moderator kontennya yang mengalami trauma akibat terpapar konten-konten kekerasan seksual, pembunuhan, dan tindakan mengerikan lainnya.
- Akhir-akhir ini, aplikasi FaceApp kembali ramai diperbincangkan setelah peluncuran filter gratis “swap gender”. Di media sosial pun, muncul tagar #faceappchallenge. Menurut analis keamanan Kaspersky, Fabio Assolini, aplikasi itu tidak mengandung elemen berbahaya. Namun, karena saat ini teknologi pengenalan wajah banyak dipakai sebagai otentikasi kata sandi, pengguna harus berhati-hati dalam berbagi foto. Assolini menuturkan data foto tersebut berpotensi untuk dicuri oleh pelaku kejahatan siber dan dipakai untuk menyamar.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Klaim bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menghilangkan mata pelajaran Agama beredar di media sosial. Klaim ini disertai foto yang memuat gambar tangkapan layar dua artikel tentang peleburan mata pelajaran Agama dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Berdasarkan verifikasi oleh Tim CekFakta Tempo, klaim itu keliru. Belakangan ini, isu yang muncul hanya soal peleburan mata pelajaran Agama dengan PPKn, bukan soal penghapusan mata pelajaran Agama. Tapi Mendikbud Nadiem Makarim telah menegaskan tidak ada keputusan untuk melebur mata pelajaran Agama dengan pelajaran lain, termasuk PPKn. Kemendikbud memang sedang menyusun penyederhanaan kurikulum. Tapi mata pelajaran Agama masih menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah ini video demo tolak kebangkitan komunisme di Monas pada 21 Juni 2020?
- Benarkah Kemendikbud akan hilangkan mata pelajaran Agama?
- Benarkah mencium cuka bisa deteksi Covid-19 tanpa perlu rapid test?
- Benarkah ini foto banjir di Singapura pada 23 Juni 2020?
- Benarkah motor di video ini terbakar karena hand sanitizer?
- Benarkah uang resmi pecahan 100 rupiah pada 1954 memuat tulisan Arab?
- Benarkah ini video Kim Jong Un yang eksekusi mati koruptor di Korea Utara?
- Benarkah Ma’ruf Amin sebut pemerintah tak sengaja pakai dana haji?
- Benarkah Anies Baswedan bakal jual gedung pemerintah pusat jika ibu kota pindah?
- Benarkah CIA bongkar paspor Presiden Jokowi yang berkewarganegaraan Cina?
- Benarkah ini video demonstran kasus George Floyd yang geruduk Gedung Putih AS?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: