- Riset perusahaan keamanan siber menemukan potensi munculnya pemanfaatan deepfake oleh hacker untuk memeras seseorang. Hal ini terlihat dari meningkatnya minat anggota forum di dark web untuk memonetisasi deepfake. Laporan tersebut menemukan pengguna forum bawah tanah itu kerap membahas bagaimana kecerdasan buatan digunakan untuk pemerasan seksual.
- Pada 3 Juni 2020, Majelis Hakim PTUN Jakarta memutuskan Presiden Jokowi serta Menkominfo bersalah terkait pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat sepanjang Agustus-September 2019. YLBHI menilai pemerintah tetap perlu meminta maaf terkait pemblokiran itu meskipun, dalam putusannya, majelis hakim hanya mewajibkan pemerintah membayar biaya perkara.
Halo, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Dalam risetnya yang diterbitkan awal Juni 2020 lalu, Trend Micro memprediksi dalam waktu dekat bakal muncul pemerasan dengan memanfaatkan deepfake atau konten manipulasi yang diciptakan dengan teknologi kecerdasan buatan. Bahkan, deepfake diramalkan bisa mendistorsi wacana demokrasi, memanipulasi pemilu, mengikis kepercayaan terhadap institusi, dan memperburuk perpecahan sosial.
Apakah Anda menerima nawala edisi 12 Juni 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
DEEPFAKE DAN ANCAMAN KEKACAUAN SIBER
Konten manipulasi yang diciptakan dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) alias deepfake semakin menjadi primadona di dunia maya, tak terkecuali bagi pengguna forum bawah tanah. Semakin besarnya ketertarikan terhadap deepfake—umumnya berupa video atau foto—oleh pengguna forum yang kebanyakan adalah hacker ini memicu kekhawatiran bahwa deepfake bakal dipakai sebagai modus baru pemerasan berbasis serangan ransomware.
Hal itu tentu tidak mengherankan. Dalam beberapa tahun terakhir, deepfake memang telah digunakan terutama dalam penyebaran berita palsu atau pembuatan konten pornografi tiruan. Namun, kini, video atau foto yang dihasilkan oleh AI yang pada dasarnya mentransplantasikan wajah seseorang ke dalam sebuah adegan tersebut semakin meyakinkan. Juga invasif, karena si pencipta mengambil alih secara penuh kendali korban atas wajahnya dan memakainya untuk sesuatu yang tidak pernah dia inginkan.
Karena itu, menurut laporan perusahaan keamanan siber Trend Micro, tidak lama lagi kita bakal melihat munculnya deepfake ransomware atau pemanfaatan deepfake untuk memeras seseorang agar membocorkan informasi sensitif ataupun membayar tebusan dalam jumlah tertentu. Istilah ini berbeda dengan ransomware yang pada umumnya menggunakan malware atau perangkat lunak jahat untuk memeras korbannya.
Berdasarkan laporan investigasi Trend Micro yang diterbitkan pada 1 Juni 2020, minat anggota forum-forum di dark web terhadap kemampuan untuk memonetisasi deepfake meningkat. Laporan itu menemukan pengguna forum bawah tanah tersebut kerap membahas bagaimana AI dapat digunakan untuk “eWhoring” atau pemerasan seksual (sextortion), serta untuk menghindari otentikasi ID wajah, terutama di situs-situs kencan.
Saat ini, sextortion masih bergantung pada teknik rekayasa sosial untuk memanipulasi korban agar membayar tebusan dalam bentuk mata uang kripto. Trend Micro khawatir meningkatnya kecanggihan deepfake membuat praktik sextortion semakin meluas. “Video atau foto asli tidak diperlukan. Pemerasan secara virtual lebih efisien karena penjahat siber tidak perlu melakukan rekayasa sosial terhadap seseorang yang bisa menempatkannya pada posisi yang berbahaya,” demikian penjelasan dalam laporan Trend Micro.
Laporan itu pun mencontohkan bahwa pelaku bisa memulai aksinya hanya dengan mengumpulkan video-video yang berisi wajah korban serta sampel-sampel suara korban dari akun media sosialnya. Video dan audio itu lalu dibuat menjadi deepfake dan diunggah ke sebuah situs. Kemudian, pelaku bisa memulai hitung mundur dan mengancam bakal mengirim tautan video palsu itu ke semua nomor ponsel di buku kontak korban jika tidak membayar tebusan hingga batas waktu yang ditentukan.
Ancaman deepfake tidak berhenti sampai di situ saja. Bayangkan jika di media sosial beredar video palsu yang memperlihatkan politikus melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak, atau tentara melakukan kekejaman terhadap warga sipil, atau Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan peluncuran senjata nuklir ke arah Korea Utara. Sudah pasti timbul kekacauan karena adanya ketidakpastian apakah rekaman itu otentik.
Dalam laporan terbarunya, The Brookings Institution bahkan menyatakan bahwa deepfake dapat menimbulkan berbagai ancaman politik dan sosial, mulai dari mendistorsi wacana demokrasi, memanipulasi pemilu, mengikis kepercayaan terhadap institusi, memperlemah jurnalisme, memperdalam perpecahan sosial, membahayakan keselamatan publik, hingga merusak reputasi tokoh-tokoh terkemuka, termasuk pejabat yang sudah terpilih maupun kandidat pemilu.
Lalu, apa yang mesti dilakukan untuk membendung efek negatif dari teknologi ini? Tahun lalu, pemerintah negara bagian California, Amerika, mengeluarkan undang-undang yang menyatakan pembuatan dan penyebaran deepfake politik dalam waktu 60 hari sebelum pemilu sebagai tindakan ilegal. Tapi larangan ini menemui tantangan dari sisi praktik maupun konstitusional. Amandemen Pertama Konstitusi Amerika menjamin kebebasan berekspresi. Selain itu, larangan ini sulit ditegakkan karena sifat internet yang anonim dan tanpa batas.
Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan teknologi, seperti Facebook, Google, dan Twitter? Kita tentu berharap mereka secara sukarela mengambil tindakan yang lebih keras untuk menangkal penyebaran deepfake. Menurut pakar hukum Bobby Chesney dan Danielle Citron, kebijakan berbagai platform tersebut merupakan satu-satunya dokumen terpenting saat ini yang bisa mengatur pernyataan seseorang di internet. Karena itu, kebijakan ini menjadi mekanisme respons yang paling mungkin terhadap deepfake.
Tapi, solusi tunggal tidaklah cukup. Solusi yang paling fundamental untuk membendung bahaya deepfake adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ancaman teknologi tersebut. Edukasi publik merupakan pertahanan ampuh terhadap penyebaran informasi palsu, termasuk deepfake yang berpotensi besar melanggengkan praktik ini.
KEMENANGAN GUGATAN INTERNET PAPUA
Masih ingat pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu? Kala itu, pemerintah memutus internet di Papua dan Papua Barat dengan dalih kondisi yang “sudah tidak kondusif” dan “atas nama keamanan”. Hal ini merujuk pada aksi pembakaran gedung dan kendaraan di Fakfak, Sorong, serta Manokwari oleh massa yang memprotes penangkapan dan ucapan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Pemblokiran internet itu pun digugat ke pengadilan. Pada 3 Juni 2020, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta memutuskan bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi serta Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) bersalah.
- Dalam pembacaan pertimbangan, majelis hakim menyatakan pemblokiran internet di Papua melanggar undang-undang tentang keadaan berbahaya. Apalagi, sebelum pemblokiran, tidak pernah ada pengumuman bahwa sedang terjadi keadaan berbahaya. “Karena tidak pernah ada pengumuman tersebut, hal ini juga melanggar hak atas informasi dan hak lainnya, menunjukkan tidak adanya good governance. Juga menghalangi tugas-tugas jurnalis dan pemerintah,” kata kuasa hukum penggugat, Muhammad Isnur, mengutip putusan majelis hakim.
- Dalam putusannya, majelis hakim pun menyatakan bahwa internet bersifat netral. Artinya, internet bisa digunakan untuk hal yang positif maupun hal yang negatif. “Namun, apabila ada konten yang melanggar hukum, maka yang seharusnya dibatasi adalah konten tersebut,” kata majelis hakim. Majelis hakim pun menganalogikannya dengan penanganan konten pornografi, di mana yang dibatasi dan ditutup aksesnya hanyalah konten atau penyedia layanan tersebut, bukan memadamkan internet secara keseluruhan. “Sebab, hal ini bisa menutup konten positif,” ujar majelis hakim.
- Juru bicara presiden bidang hukum, Dini Purnomo, mengatakan pemerintah menghormati putusan itu. Dini juga menuturkan pemerintah butuh waktu guna menentukan langkah hukum dalam menindaklanjuti putusan tersebut. Menurut dia, langkah hukum pemerintah akan dibahas lebih lanjut dengan jaksa pengacara negara. “Masih ada waktu 14 hari sejak putusan PTUN untuk berkekuatan hukum tetap,” kata Dini. Tanggapan serupa disampaikan oleh Menkominfo Johnny Plate. “Kami menghargai putusan pengadilan, tapi kami juga mencadangkan hak hukum sebagai tergugat,” ujarnya.
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pemerintah tetap perlu meminta maaf terkait pemblokiran internet di Papua meskipun, dalam putusannya, majelis hakim hanya mewajibkan pemerintah membayar biaya perkara. Menurut YLBHI, putusan itu membuktikan bahwa pemerintah mengambil kebijakan tanpa dasar hukum yang jelas dan mengikat. “Padahal, di konstitusi, Indonesia negara hukum. Pemerintah sudah disumpah untuk taat konstitusi. Jadi, kalau presiden melanggar hukum, sama saja dia declare melanggar konstitusi,” ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur.
- Menurut riset Top10VPN.com, Indonesia termasuk dalam tujuh negara yang merugi paling besar akibat pemblokiran internet selama 2019. Total kerugian Indonesia karena pemblokiran ini mencapai Rp 2,6 triliun. Selain Indonesia, negara yang masuk dalam tujuh besar itu adalah negara yang sedang dalam konflik, seperti Sudan, Irak, dan Venezuela. Menurut Bhima Yudistira, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), statistik ini membuat investor, terutama yang ingin mengembangkan teknologi digital di Indonesia, bakal mempertimbangkan kembali investasinya.
- Bos Bahaso, Tyovan Ari Widagdo, mengatakan bisnis teknologi pendidikan yang menjadi fokus perusahaannya merugi puluhan hingga ratusan juta akibat pemerintah memblokir internet saat terjadinya kerusuhan di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada pertengahan 2019 selama tiga hari. Begitu juga ketika pemerintah memblokir internet di Papua. “Akhirnya, pelanggan Bahaso tidak bisa mengakses layanan kami. Jadi, kami rugi. Kami tentu sangat bergantung pada infrastruktur digital, terutama koneksi internet,” ujar Tyovan.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Facebook membatasi pencarian dengan kata kunci “boogaloo”. Pembatasan ini dilakukan karena istilah tersebut terkait dengan adanya potensi perang sipil di Amerika Serikat atau keruntuhan peradaban. Pembatasan juga dilakukan dengan tidak menyediakan rekomendasi grup terkait “boogaloo”. Pada Mei 2020, Facebook telah melarang penggunaan kata tersebut dan istilah lain yang beredar bersama gambar senjata serta ajakan aksi. Pada April lalu, Tech Transparency Project menemukan bahwa para pengikut teori konspirasi “boogaloo” berencana menggunakan senjata ketika berunjuk rasa menentang lockdown akibat pandemi Covid-19.
- Twitter menghapus video yang diunggah oleh tim kampanye Presiden AS Donald Trump yang didedikasikan kepada George Floyd, pria Afrika-Amerika yang tewas setelah lehernya ditindih oleh polisi. Menurut juru bicara Twitter, langkah itu diambil usai menerima keluhan soal pelanggaran hak cipta dalam video tersebut. Selain Twitter, Facebook dan Instagram juga menghapus video itu karena keluhan yang sama. Keputusan ini semakin menambah ketegangan hubungan Trump dengan perusahaan media sosial, terutama Twitter.
- Google mengungkap upaya peretasan terhadap akun email pribadi staf kampanye Joe Biden dan Donald Trump. Pelaku terdeteksi berasal dari Cina dan Iran dengan jenis serangan berupa phising, mirip seperti yang pernah dialami oleh ketua kampanye Hillary Clinton saat Pemilu AS pada 2016. Menurut Google, upaya peretasan itu terkonfirmasi oleh Threat Analysis Group.Tapi, mereka menyatakan tidak ada bukti bahwa upaya yang diklaim berasal dari kelompok APT31 dan APT35 tersebut berhasil.
- Pada 10 Juni 2020, sebuah fitur baru diluncurkan di Google Maps yang memungkinkan pengguna mendapatkan informasi tentang pembatasan perjalanan terkait Covid-19. Dengan fitur ini, pengguna bisa memeriksa seberapa ramai stasiun kereta pada waktu tertentu. Pengguna juga bisa memeriksa jadwal terbatas bus pada rute tertentu. Fitur ini baru tersedia di Argentina, AS, Belanda, India, Inggris, dan Prancis. Peluncuran di negara-negara lain bakal menyusul.
- Sidang pertama terkait kasus kebocoran data pengguna Tokopedia digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 Juni 2020 lalu. Penggugat kasus ini adalah Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) yang mengajukan enam tuntutan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) selaku Tergugat I dan Tokopedia selaku Tergugat II. Salah satu tuntutan KKI adalah meminta Menkominfo menghukum Tokopedia dengan membayar denda administratif sebesar Rp 100 miliar. Tokopedia pun dituntut untuk meminta maaf atas seluruh kerugian yang timbul terkait kasus tersebut.
- Microsoft mengganti puluhan jurnalis kontraknya dengan sistem kecerdasan buatan. Langkah ini bertujuan untuk menghemat biaya dan merampingkan tim kurasi konten. Meskipun begitu, hal ini bisa menyebabkan konten yang kurang berkualitas muncul di situs Microsoft. Sebelumnya, raksasa teknologi ini mempekerjakan staf penuh waktu serta jurnalis kontrak untuk membantu membuat dan mengedit berita yang akan dimuat di platform Microsoft News dan browser Microsoft Edge. Kini, Microsoft berencana mempertahankan staf penuh waktunya, sementara sekitar 50 jurnalis tidak akan diperpanjang kontraknya pada akhir Mei 2020.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Pada awal Juni 2020 lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi melanggar hukum terkait pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus-September 2019. Merespons putusan itu, Menkominfo Johnny Plate menyatakan, “Secara teknis tidak mungkin Kominfo melakukan pemutusan atau pelambatan internet yang tata kelolanya ada pada manajemen operator seluler,” ujarnya. Dia juga menuturkan belum menemukan dokumen yang menyebut operator seluler membuat kebijakan pelambatan internet di Papua dan Papua Barat maupun dokumen tentang keputusan pemerintah untuk memblokir internet di kedua provinsi tersebut.
Berdasarkan verifikasi oleh Tim CekFakta Tempo, pernyataan bahwa Kominfo tidak mungkin melakukan pelambatan atau pemblokiran internet adalah pernyataan yang keliru. Faktanya, Kominfo memang melakukan pelambatan dan pemblokiran internet di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat pada 19 Agustus-10 September 2019. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Kominfo melalui 10 siaran pers yang hingga saat ini masih ditampilkan di situs resmi Kominfo. Terkait gangguan internet yang diklaim bisa saja terjadi karena adanya perusakan infrastruktur, pada 29 Agustus 2019, Kominfo memang mengumumkan adanya pemotongan kabel utama jaringan optik Telkom di Jayapura. Akan tetapi, kebijakan pembatasan internet di Papua dan Papua Barat telah diumumkan sejak 19 Agustus 2019, sementara kebijakan pemblokiran internet telah diumumkan sejak 21 Agustus 2019.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah ini lima bersaudara di Surabaya yang menunggu diadopsi karena orang tuanya meninggal akibat Covid-19?
- Benarkah Anies dapat penghargaan gubernur terbaik penanganan Covid-19 di KTT CAC?
- Benarkah fenomena terdamparnya ribuan ikan di video ini terjadi di Bali?
- Benarkah ini foto uang yang dibuang pasien kanker karena frustasi tak bisa sembuh?
- Benarkah jenazah di video ini adalah pasien Covid-19 yang organ dalamnya telah diambil?
- Benarkah virus flu babi lebih ganas ketimbang virus Corona Covid-19?
- Benarkah vodka bisa mengurangi risiko terinfeksi virus Corona Covid-19?
- Benarkah pesan berantai soal petugas rapid test Covid-19 yang tak ganti sarung tangan?
- Benarkah disinfektan dapat memicu kebakaran jika disemprotkan pada motor yang menyala?
- Benarkah isi tulisan yang berjudul “Dugaan Konspirasi Covid-19 Bukan Isapan Jempol”?
- Benarkah parahnya kasus Covid-19 di Surabaya adalah konspirasi elite global?
- Benarkah pesepeda ini meninggal akibat kekurangan oksigen karena memakai masker?
- Benarkah Tentara Merah Cina yang menyamar ditangkap di Karawang saat pandemi Covid-19?
- Benarkah video ricuh di RS Pancaran Kasih Manado ini tunjukkan bahwa Covid-19 adalah bisnis?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: