- Studi menemukan sekitar seperempat dari video dengan kata kunci “coronavirus” yang paling banyak ditonton di YouTube berisi informasi menyesatkan atau tidak akurat. Studi lain menyatakan 16 persen dari 100 video teratas dalam hasil pencarian di YouTube menggunakan kata kunci “global warming” berisi informasi palsu. Mengapa YouTube bisa menjadi gudang penyebaran hoaks?
- Sebuah kelompok peretas menyatakan memiliki rahasia memalukan dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Mereka meminta tebusan sebesar US$ 42 juta dan, jika tebusan itu tidak dibayar, bakal menyebarkan rahasia itu ke publik. Pada 17 Mei 2020, para hacker itu mulai membagikan tautan ke 169 email yang, menurut mereka, berisi sedikit rahasia Trump yang paling ringan.
Halo, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Jika pekan lalu saya membahas tentang bagaimana video dokumenter “Plandemic” menyebar dari YouTube ke Facebook, pekan ini saya menulis tentang mengapa YouTube bisa menjadi surga bagi para pengedar hoaks. Beberapa pendapat menyatakan video konspirasi populer karena lebih menarik ketimbang video-video berita yang berisi informasi akurat. Tapi, ada pula laporan yang menyebut bahwa penyebab tingginya jumlah tayangan video misinformasi di YouTube adalah algoritma.
Apakah Anda menerima nawala edisi 30 Mei 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
YOUTUBE SURGA HOAKS COVID-19?
Dalam beberapa bulan terakhir, ketika memasukkan kata kunci “virus Corona” dalam kolom pencarian YouTube, kita memang bakal disuguhi berbagai konten dari sumber-sumber kredibel, termasuk media asing maupun dalam negeri. Ini merupakan salah satu cara YouTube untuk mengerem penyebaran misinformasi terkait virus Corona baru penyebab Covid-19. Akan tetapi, bukan berarti hoaks seputar virus itu tidak bakal ditonton dalam jumlah yang besar di YouTube.
Pada pertengahan Februari 2020, BuzzFeed News merilis laporan berisi penelusuran terhadap 500 video YouTube dengan kata kunci “coronavirus” yang paling banyak ditonton pengguna. Di dalam daftar itu, banyak ditemukan video-video yang berasal dari media seperti Channel 4 News, South China Morning Post dan BBC News. Namun, daftar itu juga berisi lusinan video berisi informasi keliru ataupun tidak terkonfirmasi mengenai Covid-19. Bahkan, beberapa di antaranya telah ditonton jutaan kali, seperti video dengan klaim sesat bahwa virus Corona adalah senjata biologis hasil rekayasa laboratorium.
Menurut laporan BuzzFeed News, cerita bahwa virus Corona adalah senjata biologis Cina memang menjadi hoaks paling populer di YouTube saat ini. Video berisi klaim itu, yang paling banyak dibagikan, telah ditonton sekitar 1,2 juta kali hingga 11 Februari lalu. Video yang kini telah dihapus YouTube tersebut diunggah oleh kanal US Military Times. Terdapat dua video tentang “virus Corona sebagai senjata biologis” yang pernah dipublikasikan oleh kanal itu. Video hoaks kedua yang paling banyak ditonton di kanal tersebut, telah dibagikan lebih dari 31 ribu kali di Facebook. Padahal, seperti yang kita tahu, klaim terkait senjata biologis ini telah dibantah oleh para ilmuwan.
Sebuah studi berjudul “YouTube as a source of information on Covid-19: a pandemic of misinformation?” yang dipublikasikan di jurnal BMJ Global Health baru-baru ini juga menemukan, sekitar seperempat dari video dengan kata kunci “coronavirus” yang paling banyak ditonton di YouTube berisi informasi menyesatkan atau tidak akurat. Secara total, video-video sesat itu telah ditonton lebih dari 62 juta kali. Satu di antaranya merupakan video yang memuat informasi keliru bahwa perusahaan-perusahaan farmasi di dunia sudah memiliki vaksin Covid-19, namun menolak menjualnya.
Menurut para peneliti yang melakukan studi itu, informasi yang akurat dan berkualitas terkait Covid-19 memang juga diunggah ke YouTube, baik oleh badan-badan pemerintah maupun para ahli kesehatan. Tapi video-video itu seringkali sulit dipahami dan tidak memiliki daya tarik. Karena itu, riset tersebut merekomendasikan pemerintah dan otoritas kesehatan berkolaborasi dengan para influencer media sosial agar konten-konten mereka lebih menarik.
Marianna Spring, jurnalis senior BBC, mengatakan informasi dari pemerintah memang cenderung lebih kompleks. Hal inilah yang membuat informasi itu kurang menarik ketimbang video konspirasi, yang dapat memberikan penjelasan kepada mereka yang mencari jawaban cepat atau seseorang untuk disalahkan. Ini termasuk video dokumenter berjudul “Plandemic” yang viral beberapa pekan terakhir. Kualitas rekaman yang tinggi dan adanya wawancara dengan “ahli” membuat video tersebut terlihat sangat meyakinkan. Padahal, sejumlah klaim dalam video itu jelas keliru.
Berdasarkan laporan Avaaz, algoritma menjadi salah satu penyebab tingginya jumlah tayangan video misinformasi di YouTube. Pada Januari lalu, Avaaz mempublikasikan risetnya tentang sejauh mana YouTube merekomendasikan video hoaks seputar perubahan iklim. Setelah mengumpulkan lebih dari 5 ribu video, Avaaz menemukan 16 persen dari 100 video teratas dalam hasil pencarian di YouTube dengan kata kunci “global warming” berisi informasi palsu. Menurut laporan itu, jika pengguna menonton atau menyukai satu saja video misinformasi terkait perubahan iklim, konten serupa bakal muncul dalam “video rekomendasi”, dan pengguna bakal terkungkung dalam gelembung misinformasi.
YouTube memang sudah mencoba mengurangi penyebaran misinformasi seputar perubahan iklim di platformnya dengan membubuhkan kotak informasi di bawah video. Masalahnya, menurut temuan Avaaz, kotak-kotak informasi itu seringkali hanya berisi tautan ke Wikipedia tentang istilah umum terkait perubahan iklim. Artinya, kotak informasi tersebut tidak menunjukkan bahwa video di atasnya mengandung informasi yang salah. Hal ini mengkhawatirkan karena YouTube merupakan salah satu platform yang paling banyak digunakan oleh remaja berusia 13-17 tahun. Berdasarkan studi NiemanLab, kebanyakan anak-anak muda tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi misinformasi.
Menurut editor senior Media Matters, Parker Molloy, selain telah memiliki seperangkat pedoman yang melarang konten misinformasi, YouTube mulai beralih ke sistem moderasi konten otomatis, menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Google, induk perusahaan YouTube, mengakui bahwa sistem itu tidak selalu seakurat moderasi konten oleh manusia. Dengan kata lain, akan tetap ada konten yang melanggar kebijakan YouTube yang tayang, dan di sisi lain ada pula konten yang tidak melanggar kebijakan YouTube yang bakal terhapus karena kekeliruan sistem.
Molloy menyatakan, kejujuran Google tersebut tidak mengubah fakta bahwa YouTube merupakan salah satu platform yang paling berkontribusi dalam membuat bingung masyarakat terkait isu serius semacam Covid-19. “YouTube berkontribusi atas apa yang disebut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebagai ‘infodemic’, di mana informasi begitu berlimpah, beberapa akurat dan beberapa tidak, yang menyulitkan masyarakat untuk menemukan sumber yang dapat dipercaya ketika mereka membutuhkannya,” kata dia.
KLAIM HACKER SOAL RAHASIA TRUMP
Pada 15 Mei 2020, kelompok peretas kondang, REvil, membuat klaim bahwa mereka memiliki rahasia memalukan atau "dirty laundry" Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Mereka mengancam akan menyebarkan rahasia itu ke publik jika dalam sepekan tebusan yang mereka minta tidak dibayarkan. Tak tanggung-tanggung, tebusan yang dituntut itu mencapai US$ 42 juta atau sekitar Rp 618 miliar—disebut sebagai salah satu permintaan tebusan terbesar terkait kejahatan siber.
- Kelompok peretas REvil merupakan penjahat siber yang memiliki spesialisasi dalam bidang ransomware. Kelompok yang juga dikenal dengan nama Sodinokibi ini memiliki sejarah panjang dalam serangan siber, termasuk serangan yang membobol layanan penukaran uang asing Travelex pada awal 2020. Yang terbaru, pada awal Mei 2020, serangan terhadap firma hukum di New York, Grubman Shire Meiselas & Sacks, dengan klien-klien seperti Lady Gaga, Madonna, dan Bruce Springsteen.
- Setelah mencuri 756 GB data yang diklaim berasal dari Grubman Shire Meiselas & Sacks dan mengunggah dokumen terkait Lady Gaga dan Madonna di dark web, kelompok peretas itu menaikkan tebusan. Tebusan awal sebesar US$ 21 juta. Karena tak kunjung dibayarkan, tebusan itu meningkat dua kali lipat. Kelompok peretas itu kini mengancam bakal mempublikasikan rahasia memalukan Trump. "Mr. Trump, if you want to stay president, poke a sharp stick at the guys, otherwise you may forget this ambition forever," kata kelompok itu dalam sebuah situs di dark web.
- Biro Invetigasi Federal AS (FBI) sedang menyelidiki kasus ini dan menyarankan Grubman Shire Meiselas & Sacks untuk tidak bernegosiasi dengan REvil atau membayar tebusan karena hal itu melanggar hukum pidana federal. “Kami telah diberitahu oleh para ahli dan FBI bahwa bernegosiasi atau membayar tebusan kepada teroris adalah pelanggaran hukum pidana federal. Kami juga berterima kasih kepada klien kami atas dukungan mereka yang luar biasa dan pengakuan bahwa saat ini tidak ada seorang pun yang aman dari terorisme siber,” demikian keterangan yang disampaikan oleh Grubman Shire Meiselas & Sacks.
- Pelabelan “teroris” itu memicu kemarahan REvil yang kemudian membagikan unggahan di dark web yang berisi tautan ke 169 email. Menurut mereka, ratusan data itu hanyalah sebagian kecil dari “dirty laundry” Trump yang paling tidak berbahaya. REvil pun menyatakan bahwa banyak orang yang telah menghubungi mereka dan setuju untuk membeli seluruh data terkait Trump itu, yang diklaim telah dikumpulkan selama REvil beroperasi. Namun, mereka tidak mengungkap secara detail siapa pembelinya ataupun nominal uang yang dibayarkan pembeli.
- Menurut Brett Callow, seorang analis serangan siber, jika REvil benar-benar memiliki “dirty laundry” Trump, mereka bakal memasukkan sesuatu yang menarik yang bisa meningkatkan peluang pembayaran tebusan dalam data yang dibocorkannya itu. Tapi mereka tidak melakukannya. Tautan ke 169 email yang dibagikan REvil, menurut Callow, tidak berisi data apapun yang bisa disebut sebagai rahasia memalukan Trump. REvil dianggap hanya menggertak untuk mendapatkan tebusan.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Beberapa pekan terakhir, muncul sejumlah demonstrasi anti-lockdown Covid-19 di Vancouver, Kanada. Bahkan, pada 17 Mei 2020, terjadi aksi yang hampir tak terkendali di mana puluhan demonstran yang berkumpul di gerbang Rumah Sakit St. Paul’s di Vancouver mencaci para petugas medis. Gerakan anti-lockdown di Vancouver ini diketahui digerakkan terutama oleh kelompok anti-vaksin. Mereka bergabung dengan kelompok teori konspirasi bumi datar dan orang-orang yang terkait aktivitas politik sayap kanan. Mereka menyerukan “no vaccines”, “tell the truth”, dan “you’re all corrupt”.
- Aplikasi Podcast Addict dinonaktifkan sementara oleh Google pada pertengahan Mei 2020 gara-gara konten terkait Covid-19. Aplikasi yang telah memiliki jutaan pengguna ini ditangguhkan karena dianggap melanggar kebijakan baru Google, yang mengharuskan aplikasi yang mengandung konten terkait Covid-19 mendapatkan rujukan dari otoritas resmi. Tapi, menurut Google, aplikasi itu tidak dihapus dan telah dikembalikan. Google menyatakan telah berkomunikasi dengan pengembang untuk memastikan aplikasinya sesuai dengan kebijakan mereka.
- Facebook baru saja mengakuisisi platform GIF, Giphy. Bersamaan dengan akuisisi tersebut, beredar rumor di Twitter bahwa meme Zuckerberg tidak lagi ditemukan di Giphy ketika pengguna melakukan pencarian dengan kata kunci “Zuckerberg”. Merespons hal tersebut, Giphy menyatakan akuisisi tersebut tidak akan berpengaruh terhadap meme Zuckerberg. “Kami mendengar laporan Giphy akan menghapus sejumlah GIF, terutama GIF Mark Zuckerberg. Kami ingin mengklarifikasi, kabar itu tidak benar,” kata Kepala Konten dan Editorial Giphy, Tyler Menzel.
- Aplikasi video konferensi buatan Google, Meet, dilaporkan telah diunduh sebanyak 50 juta kali di Google Play Store hingga pertengahan Mei 2020. Jumlah ini naik tajam mengingat, pada awal Maret 2020, menurut laporan firma riset aplikasi AppBrain, Meet baru diunduh sebanyak 5 juta kali. Peningkatan jumlah unduhan ini didorong oleh kebijakan Google untuk menggratiskan Meet. Sebelumnya, pengguna yang ingin membuat rapat di Meet harus berlangganan layanan G Suite yang berbayar. Meskipun begitu, angka tersebut belum mampu menandingi jumlah unduhan Zoom.
- Aplikasi kencan Tinder merilis fitur keamanan baru, yakni verifikasi foto dengan selfie. Verifikasi foto ini dirancang untuk memastikan keaslian profil pengguna sekaligus meningkatkan kepercayaan pengguna terhadap profil pengguna lainnya. Menurut Tinder, fitur ini mengadopsi teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence yang mampu membandingkan foto selfie yang diambil secara langsung dengan foto yang diunggah ke dalam profil pengguna. Nantinya, profil yang fotonya telah terverifikasi bakal dibubuhi simbol centang biru.
- Pengembang game asal Prancis, Ubisoft, menggugat Apple dan Google ke pengadilan federal Los Angeles, Amerika Serikat, pada 19 Mei 2020 gara-gara sebuah game. Meskipun begitu, game tersebut bukanlah game buatan Apple maupun Google. Adalah Area F2 (AF2), game ponsel anyar buatan anak perusahaan Alibaba, Qooka Games, yang dituduh menjiplak game ikonik besutan Ubisoft, Tom Clancy’s: Rainbow Six Siege (R6S). Ubisoft menggugat Apple dan Google karena game AF2 hingga kini masih bisa diunduh di Apple App Store maupun Google Play Store.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Video pendek yang memperlihatkan sebuah konser musik yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi beredar dalam beberapa hari terakhir. Konser dalam video itu diklaim sebagai konser amal yang digelar pemerintah di tengah pandemi Covid-19, padahal terdapat larangan ibadah secara berjamaah di masjid. Klaim serupa juga terdapat dalam sebuah meme yang memuat foto Jokowi sedang ber-selfie di tengah kerumunan massa. Meme ini menyindir pemerintah yang justru menggelar konser musik di tengah larangan ibadah secara berjamaah.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim itu menyesatkan. Konser musik yang dihadiri Jokowi dalam video dan foto tersebut digelar pada 2017, jauh sebelum munculnya pandemi Covid-19. Pada 17 Mei 2020 lalu, memang digelar konser amal untuk mengumpulkan donasi bagi warga yang terdampak pandemi Covid-19. Konser bertajuk “Berbagi Kasih Bersama Bimbo” ini diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, konser itu digelar secara virtual. Dalam konser tersebut, hanya Bimbo dan pembawa acara yang berada di studio, sementara para seniman dan tamu undangan menonton dari rumahnya masing-masing.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah mantan Rektor Unhas ini sebut Covid-19 bisa disembuhkan dengan minyak kayu putih?
- Benarkah Covid-19 hanya flu biasa dan hasil rekayasa untuk cari untung?
- Benarkah pesan berantai soal virus hanya bisa dikalahkan antibodi ini berasal dari dekan IPB?
- Benarkah Tocilizumab adalah obat yang 90 persen bisa sembuhkan Covid-19 meski pasien kritis?
- Benarkah campuran air hangat dan garam bisa hilangkan virus Corona Covid-19?
- Benarkah dokter Italia temukan sebab kematian Covid-19 adalah bakteri, bukan virus?
- Benarkah tes PCR tak bisa tunjukkan jenis virus Corona Covid-19?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: