- Awal 2020 ini, pemberitaan ramai oleh berbagai peristiwa besar, salah satunya kasus pemerkosaan yang melibatkan Reynhard Sinaga, mahasiswa asal Indonesia di Inggris. Walaupun sidang kasus ini sudah bergulir sejak Juni 2018 di pengadilan Manchester, tidak ada media Inggris yang memuat beritanya sebelum vonis dibacakan. Ternyata, ini adalah cara hakim untuk membuat sidang berjalan lebih adil sekaligus melindungi korban.
- Hubungan Iran dan Amerika Serikat memanas setelah jenderal Iran, Qassem Soleimani, tewas dalam sebuah serangan udara AS pada 3 Januari 2020 lalu. Para ahli mengingatkan AS mengenai pembalasan yang mungkin dilakukan oleh Iran. Walaupun tidak bisa menyerang AS dengan misilnya, Iran memiliki kemampuan untuk melancarkan kampanye disinformasi, bahkan serangan siber.
Halo pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apakah Anda mengikuti pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan oleh Reynhard Sinaga? Ketika membaca berita kasus itu di media-media Indonesia, apa yang Anda rasakan? Sejak kasus ini mencuat pada 6 Januari 2020 lalu, banyak cuitan di Twitter mengatakan bahwa media Indonesia perlu belajar dari media Inggris, terutama mengenai etika memberitakan kasus pemerkosaan. Berbagai pendapat tersebut memantik saya untuk menulis, sebenarnya, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini, terutama soal pemberitaannya? Dan apakah yang mesti belajar hanya media massa?
Apakah Anda menerima nawala edisi 10 Januari 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
PELAJARAN DARI PEMBERITAAN KASUS REYNHARD SINAGA
Kasus pemerkosaan yang menjerat Reynhard Sinaga menjadi sorotan dunia. Pemberitaan kasus ini bersaing dengan dua peristiwa besar lainnya, yakni konflik Iran-Amerika Serikat serta ketegangan Indonesia-Cina terkait perairan Natuna. Kabar mengenai kasus Reynhard mencuat setelah pengadilan Manchester menjatuhkan vonis terhadap pria asal Indonesia yang sedang menyelesaikan studi S3-nya di Inggris tersebut.
Vonis yang dibacakan oleh hakim Suzanne Goddard pada 6 Januari 2020 itu menyatakan bahwa Reynhard terbukti bersalah atas 159 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria Inggris. Aksi tersebut terjadi dalam rentang waktu 1 Januari 2015 hingga 2 Juni 2017. Pria kelahiran Jambi, 19 Februari 1983, ini dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Walaupun baru mulai diberitakan awal pekan ini, sebenarnya Reynhard Sinaga telah menjalani empat proses persidangan. Sidang bagian pertama dimulai pada 1 Juni 2018. Lalu, mengapa berita mengenai kasus Reynhard sama sekali tidak ditemukan sebelum 6 Januari 2020? Padahal, Kedutaan Besar Indonesia di London juga telah dihubungi oleh polisi Manchester sejak aksi Reynhard terkuak pada Juni 2017.
Endang Nurdin, wartawan BBC Indonesia, yang mengikuti sidang kasus Reynhard mengatakan bahwa media dilarang oleh hakim untuk memberitakan persidangan tersebut hingga rampung seluruhnya. Persidangan terakhir kasus Reynhard baru selesai pada 20 Desember 2019 lalu. “Pertimbangan utama hakim adalah untuk melindungi para korban. Para korban mengalami trauma mendalam,” kata Endang.
Menurut sebuah media Inggris, Manchester Evening News, terdapat dua pertimbangan hakim dalam melarang sidang kasus Reynhard Sinaga diberitakan. Pertama, agar empat persidangan kasus Reynhard berjalan adil dan juri pada setiap masing-masing sidang tidak mengetahui bukti atau pun putusan perkara sebelumnya. Kedua, agar polisi tidak terhalangi dalam mengumpulkan bukti-bukti dan meminta keterangan korban atau saksi serta menjamin mereka bersaksi di pengadilan. Hakim khawatir, jika kasus ini ramai diberitakan, korban atau saksi enggan bersaksi di pengadilan.
Menghindari Trial by the Press
Media massa memang memiliki kekuatan untuk memantau penegakan hukum suatu kasus. Namun, menurut Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pers juga memiliki kemampuan untuk menggiring publik untuk menghakimi tersangka melalui opini-opini yang dibentuknya. Di masa lalu, trial by the press terjadi ketika media berlaku seolah lembaga peradilan lewat tulisannya. Saat ini, penghakiman oleh media dapat terjadi saat media mempublikasikan sebuah kasus secara berlebihan.
Masih ingat kasus pembunuhan yang menjerat Jessica Kumala Wongso? Saat itu, media berlomba-lomba menyiarkan secara langsung persidangan kasus yang kerap disebut kasus kopi sianida itu. Pemberitaan yang terlampau ramai membuat masyarakat menyematkan label “pembunuh” pada Jessica sebelum vonis dibacakan. Banyak pula orang yang kebingungan untuk mencerna fakta kasus itu karena pendapat dan fakta dari para pihak yang berperkara diadu satu sama lain di media.
Hal semacam inilah yang mendasari kekhawatiran bahwa informasi yang berseliweran di luar ruang persidangan dapat mempengaruhi keterangan saksi. Negara-negara yang menerapkan sistem hukum Anglo Saxon, termasuk Inggris, memiliki solusi atas persoalan itu. Dalam sistem hukum ini, sebuah kasus dapat dinyatakan sub judice. Artinya, media dilarang memberitakan persidangan kasus tersebut agar tidak mengganggu kerja para penegak hukum.
Pada kasus kejahatan seksual, larangan untuk memberitakan persidangan pada umumnya berlaku secara otomatis. Panduan Peliputan Persidangan Organisasi Standar Pers Independen Inggris juga melarang media menulis tentang korban serta rekan dan kerabat terdakwa kasus kejahatan seksual. Jika aturan ini dilanggar, pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan media kepada aparat penegak hukum.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam sistem hukum kita, prinsip sub judice belum diatur dengan jelas. Penerapannya masih bergantung pada diskresi hakim dan hakim di sini jarang melarang media memberitakan sidang suatu kasus. Karena itu, agar pemberitaan kasus asusila oleh media lebih bijak, tanpa menyoroti hal-hal privasi, perlu ada komitmen dari media itu sendiri untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik.
Dalam Kode Etik Jurnalistik, sudah tercantum secara jelas bahwa wartawan Indonesia dilarang menyebut identitas korban kejahatan asusila. Jurnalis juga tidak boleh menyiarkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Dengan menyebut identitas korban kejahatan asusila, wartawan telah turut andil dalam menyebarluaskan informasi yang merusak nama baik korban dan, secara tidak langsung, merusak masa depan korban.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga pernah menerbitkan Etika Perlindungan Privasi dalam Peliputan Kejahatan Seksual. Menurut AJI, media memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam perlindungan korban kejahatan seksual. Karena itu, pemberitaan kasus kejahatan seksual harus diikuti dengan kemungkinan jalan keluarnya, baik bagi mereka yang telah menjadi korban maupun bagi usaha pencegahan tindakan kejahatan seksual.
Tenaga ahli Dewan Pers, Winarto, mengatakan bahwa media massa acap kali hanya mengejar informasi yang diinginkan oleh masyarakat, bukan informasi yang perlu bagi masyarakat. Tekad media massa untuk melayani keinginan masyarakat itulah yang, menurut Winarto, membuat sebuah kasus diberitakan secara berlebihan. “Media memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol diri,” ujarnya.
Sebenarnya, menurut saya, kontrol diri itu juga harus dimiliki oleh para pembaca. Tak bisa dipungkiri bahwa berita-berita yang mengulik hal-hal privasi masih menarik jumlah pembaca yang tinggi. Karena itu, tidak mengherankan jika ada sejumlah media yang nakal yang menyoroti kehidupan pribadi pelaku atau korban yang sama sekali tidak berkaitan dengan kasus yang diberitakan. Bagaimana menghentikannya? Berhentilah untuk ikut menyumbangkan traffic bagi berita yang tidak berkualitas sehingga media tidak lagi mengandalkannya untuk menggaet pembaca.
ANCAMAN DISINFORMASI IRAN
Konflik antara Iran dan Amerika Serika memanas sejak tewasnya jenderal Iran, Qassem Soleimani, dalam serangan udara AS di Bagdad, Irak, pada 3 Januari 2020 lalu. Pakar forensik digital Dewan Atlantik AS, Graham Brookie, pun memperingatkan pemerintah AS untuk bersiap-siap menghadapi balas dendam yang mungkin dilancarkan Iran, terutama lewat kampanye disinformasi di dunia maya.
- Brookie mengatakan gaya operasi Iran jauh berbeda dengan gaya operasi Rusia. Menurut dia, operasi Iran difokuskan untuk mempengaruhi berbagai komunitas daring dan melibatkan mereka dalam kekacauan sosial. “Sebagian besar operasi luar negeri mereka ditujukan untuk memperkuat propaganda lewat situs dan akun media sosial palsu,” kata pimpinan perusahaan intelijen media sosial Graphika, Ben Nimmo.
- Kampanye misinformasi kerap dilakukan oleh sejumlah kelompok di Iran baru-baru ini. Pada Januari 2019, Facebook dan Twitter mencatat ratusan akun dari Iran terkait dengan kampanye misinformasi. Bahkan pada Mei 2019, Facebook menghapus puluhan akun dari Iran di platformnya serta di Instagram karena perilaku tersebut. Facebook kembali menghapus akun-akun Iran pada Oktober lantaran melakukan kampanye misinformasi yang menyasar pengguna di AS serta negara-negara berbahasa Prancis di Afrika bagian utara.
- Iran telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangun alat propaganda online dalam rangka mencapai tujuan kebijakan luar negerinya. Salah satu kampanye disinformasi yang terungkap adalah “Endless Mayfly”. Kampanye itu dibuat sejak 2016 untuk memperkuat narasi kritis terhadap Arab Saudi, AS, dan Israel. Kampanye ini dilakukan dengan menyebarkan artikel palsu yang mirip dengan berita di media seperti Bloomberg dan The Guardian, lewat situs dan akun media sosial yang juga palsu.
- Jacquelyn Schneider, peneliti dari Hoover Institution of Stanford, juga menyatakan bahwa, meskipun tidak bisa menyerang AS dengan pesawat maupun rudalnya, Iran bisa melancarkan serangan siber yang ditargetkan ke AS. Serangan siber itu, menurut perkiraan Schneider, tidak menyasar militer AS, melainkan warga sipil. Iran bisa saja menyerang infrastruktur publik, seperti pembangkit listrik, rumah sakit, maupun sarana transportasi, yang berdampak langsung terhadap kehidupan warga AS.
- Menurut data Center for Strategic and International Studies (CSIS), pada September 2019 lalu, Iran menyerang 60 universitas di beberapa negara, termasuk AS, untuk mencuri hak kekayaan intelektual. Salah satu serangan siber terbesar Iran adalah “Operation Ababil”, serangan distributed denial of service (DDoS) dari grup Izz ad-Din al-Qassam Cyber Fighters. Serangan yang terjadi pada 2011-2013 itu menyasar institusi perbankan, antara lain Bank of America, J. P. Morgan Chase, serta bursa saham Nasdaq.
- Mantan intelijen militer Inggris, Philip Ingram, mengatakan Iran merupakan salah satu negara yang kemampuan serangan sibernya diperhitungkan. Menurut dia, negara dengan kemampuan serangan siber terbaik di dunia adalah Rusia dan Cina. “Jika mereka adalah tier 1, yang sangat dekat dengan mereka adalah Iran dan Korea Utara,” ujar Ingram.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Hanya tiga hari setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan serangan yang menewaskan jenderal Iran, Qassem Soleimani, tim kampanye Trump mulai menayangkan ratusan iklan di Facebook yang memuji tindakan itu. Iklan tersebut berbunyi, “Berkat aksi cepat Panglima Tertinggi kita, jenderal Iran, Qassem Soleimani, tidak lagi menjadi ancaman bagi AS atau pun dunia.” Pada 7 Januari 2020 lalu, Facebook telah menghapus beberapa lusin iklan tersebut. Namun, dengan alasan melanggar kebijakan tentang penggunaan tombol palsu dalam iklan.
- Pada 8 Januari, Twitter menangguhkan akun yang menyamar sebagai seorang reporter New York Post, yang mengirimkan serangkaian cerita palsu mempromosikan propaganda pro-Iran dan menyerang musuh-musuh Republik Islam.
- Biro Investigasi Federal atau FBI meminta bantuan Apple untuk membuka dua iPhone milik pelaku penembakan di pangkalan udara Angkatan Laut AS di Pensacola, Florida, pada Desember 2019 lalu. Pelaku penembakan yang menewaskan tiga orang itu bernama Mohammed Saeed Alshamrani. Dalam suratnya kepada Apple, FBI menyatakan bahwa mereka telah mendapatkan izin pengadilan untuk mengambil data dari ponsel tersebut. Tapi kedua ponsel itu dipasangi kata sandi yang belum terpecahkan walaupun FBI telah meminta bantuan para ahli dari beberapa negara.
- Kantor berita milik pemerintah Kuwait menyatakan akun Twitter mereka diretas dan digunakan untuk menyebarkan informasi palsu tentang penarikan pasukan AS dari negara mereka. Dalam cuitan yang kini telah dihapus itu, kabar tersebut tercantum dalam surat dari pemerintah AS yang diterima oleh Menteri Pertahanan Kuwait. Hingga kini, belum diketahui pelaku peretasan ini.
- Kampanye misinformasi tentang kebakaran Australia merebak di media sosial. Kampanye itu menyatakan bahwa kebakaran di negeri kanguru bukan disebabkan oleh perubahan iklim. Peneliti dari Queensland University of Technology, Timothy Graham, menemukan sekelompok bot yang diperintahkan untuk menyebarkan narasi itu.
- Menjelang pemilihan presiden Taiwan pada 11 Januari 2020 mendatang, kekhawatiran beberapa pejabat dan peneliti mengenai intervensi Cina semakin membuncah. Sejumlah pejabat dan peneliti Taiwan menduga Cina melakukan eksperimen manipulasi media sosial untuk mempengaruhi pemilu. Pasalnya, semakin dekat ke tanggal pemilu, kian banyak berita palsu serta informasi partisan yang membanjiri pemilih.
- Perusahaan riset keamanan siber, Check Point Research, menemukan sejumlah kerentanan dalam platform video TikTok yang memungkinkan hacker mencuri data pribadi pengguna. Menurut Check Point, peretasan itu dapat dilakukan dengan mengirimkan pesan teks yang seolah-olah berasal dari TikTok. Setelah pengguna mengklik tautan dalam pesan teks itu, hacker dapat mengakses akun pengguna. Selain itu, Check Point menemukan bahwa infrastruktur TikTok memungkinkan peretas mengarahkan pengguna ke situs palsu yang tampak seperti beranda TikTok.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Dalam beberapa hari terakhir, hubungan antara Indonesia dan Cina sedikit memanas. Pasalnya, pada akhir Desember 2019 lalu, kapal penjaga pantai Cina muncul di perairan Natuna. Kapal tersebut menjaga beberapa kapal ikan yang sudah masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Saat itu, keberadaan mereka diketahui oleh KM Tanjung Datu 301 milik Badan Keamanan Laut (Bakamla). Saat diusir, kapal Cina itu menolak pergi dengan alasan mereka berada di wilayah perairan sendiri.
Di tengah polemik ini, pada 4 Januari 2020, beredar gambar tangkapan layar judul artikel yang menyatakan bahwa: “Malaysia diam-diam menggeser patok perbatasan Indonesia hingga 1 kilometer”. Faktanya, bergesernya patok perbatasan Indonesia dengan Malaysia hingga 1 kilometer terjadi pada Maret 2019 lalu, sebelum munculnya polemik mengenai manuver kapal Cina di perairan Natuna. Patok yang bergeser terletak di perbatasan kedua negara di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Belum diketahui penyebab bergesernya patok tersebut.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Ini Video Serangan Drone yang Tewaskan Jenderal Iran Qassem Soleimani?
- Benarkah Air yang Sudah Matang Berbahaya Jika Direbus Kembali?
- Benarkah Ini Foto Kebakaran Australia dari Luar Angkasa?
- Benarkah Sultan HB X Sebut Cina dan Keturunannya Tak Pantas Jadi Pemimpin di Indonesia?
- Benarkah Terjadi Banjir Bandang di Cipanas Puncak Bogor pada Awal Januari 2020?
- Benarkah Cina Akan Masuk ke Indonesia ketika Sudah Kacau dengan Alasan Mengamankan Harta yang Dipinjam?
- Benarkah di Aceh Terdengar Auman Anjing Raksasa yang Berasal dari Samudera Pasifik?
- Benarkah Anies Baswedan Selfie dengan Wali Kota Bogor saat Banjir Jakarta 2020?
- Benarkah Said Aqil Bernama Asli I Made Wiryawan Saidi dan Beragama Hindu?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: