- Viralnya informasi bahwa ada akun di situs porno Pornhub yang bernama Kemkominfo memancing reaksi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Awalnya, Kominfo hanya meminta Pornhub untuk menghapus akun itu. Setelah dituruti, Kominfo meminta hal lain kepada Pornhub, yakni memblokir orang Indonesia yang mengakses situsnya secara privat memakai VPN (virtual private network). Apakah mungkin?
- Lagi-lagi, Facebook dihantam kritik. Akibat melacak lokasi pengguna setiap saat, perusahaan milik Mark Zuckerberg ini didesak untuk memperbesar kontrol pengguna terhadap data mereka di Facebook. Desakan ini menggenapi berbagai tuntutan lain yang terus-menerus diterima Facebook sejak skandal Cambridge Analytica. Sudahkah Facebook memenuhi berbagai desakan tersebut?
Selamat tahun baru, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Bagaimana Anda melewatkan pergantian tahun baru kemarin? Adakah resolusi yang ingin Anda capai pada 2020? Tampaknya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat menjawab secara cepat pertanyaan itu. Ya, sejak akhir Desember 2019 kemarin, Kominfo sudah melontarkan wacana pemblokiran akses VPN ke situs porno Pornhub. Sebenarnya, saya setuju saja dengan rencana itu. Tapi kelihatannya keinginan Pak Menteri Kominfo mustahil untuk dijalankan. Apa pasal?
Apakah Anda menerima nawala edisi 3 Januari 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
AKSES VPN KE PORNHUB DIBLOKIR, MUNGKINKAH?
Seiring dengan mencuatnya rencana penutupan laman menonton film IndoXXI pada akhir Desember 2019 kemarin, wacana pemblokiran akses VPN ke situs porno Pornhub juga menyeruak. Jika IndoXXI sudah resmi ditutup pada 1 Januari 2020—walaupun kemudian muncul berbagai situs serupa lainnya—akses lewat VPN ke Pornhub masih lancar jaya.
Di media sosial pun, pro dan kontra soal akan diblokirnya akses VPN ke Pornhub belum semeriah perdebatan mengenai penutupan IndoXXI. Saya menduga kurang ramainya perbincangan mengenai kebijakan ini diakibatkan oleh sebuah pertanyaan skeptis yang muncul di benak warganet: “Apa bisa akses VPN ke Pornhub diblokir?”
Wacana mengenai pemblokiran akses VPN ke Pornhub bermula ketika gambar tangkapan layar sebuah akun di Ponhub yang mengatasnamakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) viral di media sosial pada 23 Desember lalu. Kominfo merespons isu itu dengan menyatakan bahwa mereka tidak pernah membuat akun atau konten apa pun di Pornhub. Kominfo pun melayangkan surat kepada Pornhub meminta mereka menghapus akun tersebut.
Gayung bersambut, Pornhub menyanggupi permintaan Kominfo itu. Namun, Kominfo kembali meminta hal lain, yakni agar Pornhub menerapkan sistem yang membatasi akses orang Indonesia ke situs tersebut meskipun dengan VPN.
Setelah viralnya akun Pornhub Kominfo, Menteri Kominfo Johnny G. Plate curhat bahwa situs porno dari Amerika Serikat itu sebenarnya sudah diblokir sejak 2017. Masalahnya, dengan menggunakan VPN orang Indonesia masih dapat mengakses situs tersebut. Plate pun terdorong untuk mencari cara agar Pornhub tidak bisa lagi diakses meskipun warganet mengakalinya dengan VPN. “Kami sudah berkomunikasi dengan Pornhub untuk minta supaya yang di VPN enggak bisa akses juga,” kata Plate.
Akan tetapi keinginan menteri yang berasal dari Partai Nasdem tersebut sepertinya bakal sulit terwujud. Menurut Pakar siber Pratama Persdha, Pornhub akan kesulitan memblokir akses VPN warganet dari Indonesia. “VPN merupakan jaringan private Internet melalui jaringan public Internet, yang mengubah server IP (Internet protocol) Indonesia menjadi server IP negara lain, sesuai kehendak pengguna,” ujarnya.
Ketika pengguna memilih server IP suatu negara, alamat IP pengguna diganti dengan alamat baru sehingga server akan mengikuti alamat tersebut. Lantaran VPN melibatkan server IP berbagai negara di seluruh dunia mustahil bagi Pornhub untuk memblokir semua IP yang ada pada layanan tersebut. “Secara mudah, permintaan Kominfo mustahil dikabulkan karena teknisnya harus memblokir IP banyak negara selain Indonesia,” kata Pratama.
Selain itu, menurut ahli keamanan teknologi Alfons Tanujaya, Pornhub juga akan sulit mendeteksi alamat IP pengguna. Pasalnya, VPN mengganti alamat IP asli pengguna dengan yang baru. “Jadi, Pornhub tidak tahu mana yang mengakses dari Indonesia. Dan mereka tidak memiliki kepentingan untuk tahu alamat IP asli, yang penting banyak yang mengakses,” tutur Alfons.
Sesungguhnya ada cara mudah mengatasi kesulitan tersebut, yakni memblokir penggunaan VPN secara menyeluruh. Beberapa negara seperti Cina, Rusia, Iran, Arab Saudi, Oman, Turki, Irak, dan Korea Utara telah telah melakukannya. Tapi menurut Alfons, upaya itu sulit diterapkan di Indonesia. “Jika VPN diblokir (secara menyeluruh), operasional korporasi dan lembaga yang menggunakan VPN untuk mengamankan akses dan komunikasi akan terganggu. Apakah pemerintah siap dengan risiko ini?”
Sebagai catatan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah unduhan aplikasi VPN terbanyak di dunia sepanjang 2018-2019. Menurut situs Top 10 VPN, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 73 negara, mengalahkan AS, India, dan Uni Emirat Arab. Jumlah unduhan aplikasi VPN di Indonesia selama Oktober 2018 hingga Oktober 2019 mencapai 75,5 juta kali.
Lalu, apa solusi untuk persoalan VPN dan Pornhub ini? Cara pertama, seperti dilontarkan oleh ahli teknologi informasi Kun Arief Cahyantoro, adalah membangun national Internet gateway (NIG). Menurut dia, Indonesia tidak mampu memblokir akses VPN ke situs porno karena tidak memiliki pintu gerbang tunggal akses internet. Pemerintah Cina, Rusia, Turki, dan yang lainnya mampu memblokir akses dari dalam negeri ke server VPN di luar negeri karena memiliki NIG.
Cara kedua diusulkan oleh Pratama Persdha, yakni Kominfo mesti memberikan edukasi internet agar masyarakat terbiasa untuk mengakses konten yang positif. Tentu saja ini merupakan solusi jangka panjang. Edukasi bisa dilakukan melalui pembelajaran etika berinternet yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. “Ini akan dapat meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh internet,” katanya.
JANJI MENGUBAH FACEBOOK
Pada awal Desember 2019, Facebook kembali dihantam kritik. Setelah gagal meyakinkan parlemen Amerika Serikat mengenai urgensi melacak lokasi pengguna setiap saat, Facebook didesak untuk memberikan pengguna kontrol yang lebih besar atas data mereka. Desakan ini melengkapi berbagai desakan lain yang diterima Facebook sejak skandal kebocoran data Cambridge Analytica pada Maret 2018 lalu, termasuk penyebaran hoaks di platformnya. Berbagai desakan itu direspons Facebook dengan permintaan maaf, perubahan kebijakan, dan perbaikan sistem. Sayangnya, tidak semua usaha itu berjalan dengan semestinya.
- Menanggapi kontroversi mengenai skandal keamanan data penggunanya, pada Mei 2018, bos Facebook Mark Zuckerberg mengumumkan rencana perusahaan untuk menciptakan fitur clear history, yang memungkinkan pengguna menghapus riwayat penjelajahannya di platform tersebut. Namun, peluncuran fitur itu beberapa kali tertunda dan baru diluncurkan pada Agustus 2019 di tiga negara Irlandia, Spanyol, dan Korea Selatan. Secara perlahan, Facebook mengimplementasikan situs itu secara global. Meski demikian persentase jumlah penggunanya masih kecil.
- Facebook berjanji akan merilis sejumlah data untuk para akademisi pada April 2018. Pemberian data tersebut merupakan bagian dari proyek untuk mendukung penelitian independen dan kredibel tentang peran media sosial dalam pemilu serta demokrasi. Sayangnya, dengan alasan perlindungan privasi pengguna, Facebook memberikan data yang jauh lebih sedikit dari yang diharapkan oleh para peneliti.
- Gara-gara data yang didapatkan para peneliti hanya sedikit, para filantropis yang mensponsori proyek itu menarik pendanaan mereka. Toh Facebook bergeming, menyatakan mereka telah mengirimkan sejumlah data awal kepada para peneliti tersebut dan menyatakan akan tetap terlibat dalam proyek itu. “Tak ada organisasi yang berinvestasi dalam proyek ini lebih banyak daripada Facebook. Kami berkomitmen untuk terus memberikan akses data bagi penelitian independen sambil memastikan bahwa kami melindungi privasi pengguna.”
- Salah satu problem terbesar Facebook adalah moderasi konten, mulai dari perbedaan pendapat politik, ujaran kebencian, satire, pelecehan, dan sebagainya. Untuk mengatasi hal itu Facebook tengah menggodok dewan pengawas independen alias “Facebook Supreme Court”. Zuckerberg mencetuskan gagasan itu pada April 2018. Awal Desember 2019 lalu, Facebook mengumumkan bahwa dana awal yang akan digelontorkan untuk pembentukan dewan tersebut sebesar US$ 130 juta.
- Pada September lalu, Facebook menyatakan akan mengumumkan nama 11 anggota dewan pengawas independen kloter pertama pada akhir 2019. Rencana pengumuman tersebut akhirnya dibatalkan. Facebook mengaku masih kesulitan menunjuk orang-orang yang tepat.
- Lambat memperbaiki masalah keamanan data pengguna serta moderasi konten, Facebook justru kilat dalam menciptakan produk-produk baru yang dapat menghasilkan kekayaan data yang lebih besar. Beberapa di antaranya adalah mata uang digital Libra serta perangkat konferensi video Portal. Facebook juga berencana untuk mengintegrasikan layanan pesan platform-platform yang dimilikinya, yakni Facebook Messenger, Instagram, dan WhatsApp.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, privasi data, dan sebagainya pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Pengawas pasar keuangan Prancis (AMF) menjatuhkan denda kepada kantor berita AS, Bloomberg News, karena telah menerbitkan rilis palsu terkait perusahaan konstruksi Prancis, Vinci SA, pada November 2016 silam. Akibat berita tersebut, saham Vinci turun hingga 18 persen. Bloomberg diharuskan membayar denda sebesar 5 juta euro. Juru bicara Bloomberg menyesalkan keputusan AMF yang tidak menghukum penyebar rilis palsu itu. AMF menyatakan keputusan tersebut diambil karena Bloomberg menerbitkan sebuah klaim tanpa memverifikasinya terlebih dahulu.
- Pada 27 Desember 2019 lalu, pengadilan Turki menjatuhkan vonis kepada enam jurnalis dan satu karyawan surat kabar independen Sozcu. Mereka dituduh telah membantu kudeta terhadap Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada 2016 melalui pekerjaan mereka di surat kabar tersebut. Sozcu dikenal sebagai surat kabar yang kerap melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan Erdogan. Vonis yang dijatuhkan kepada enam jurnalis dan satu karyawan Sozcu tersebut berbeda-beda, mulai dari 2 tahun penjara hingga 3,5 tahun penjara.
- Menjelang Pemilu Amerika Serikat pada November 2020, layanan musik digital Spotify bakal menangguhkan iklan-iklan yang berbau politik di platformnya. Selain itu, platform dengan lebih dari 140 juta pengguna ini akan menunda penayangan sejumlah podcast yang bermuatan politik. Penangguhan tersebut berlaku secara efektif di AS sejak awal 2020. Harapannya, langkah ini dapat mengurangi iklan yang mengandung klaim palsu atau menyudutkan salah satu kandidat pemilu sekaligus meredam situasi yang mulai memanas menjelang pemilu.
- Facebook tidak akan lagi meminta nomor telepon pengguna untuk fitur otentikasi dua faktor dan menyarankan teman. Seperti diketahui, fitur otentikasi dua faktor berfungsi untuk memperkuat keamanan pengguna. Lewat cara itu pula, Facebook mendapatkan kontak yang kemudian dipakai untuk menyarankan teman. Perubahan kebijakan ini dilakukan setelah Facebook dikenakan denda sebesar US$ 5 miliar oleh Komisi Perdagangan AS (FTC). Namun, perubahan ini tidak berlaku secara default bagi mereka yang menggunakan otentikasi dua faktor dengan nomor telepon.
- Firma keamanan siber SplashData merilis daftar 25 password paling buruk dan mudah ditebak sepanjang 2019. Menurut laporan itu, masih banyak pengguna yang menggunakan password dengan kombinasi angka dan huruf yang mudah diprediksi. Ada pula kata-kata umum yang dipakai sebagai password, seperti “qwerty”, “admin”, “iloveyou”, dan “welcome”. SplashData juga menemukan sekitar 10 persen masyarakat global yang masih menggunakan salah satu dari 25 password terburuk itu. Bahkan, sekitar 3 persen di antaranya memakai password “123456”.
- Untuk melepaskan diri dari koneksi internet global dan melindungi diri dari ancaman di dunia maya, pemerintah Rusia bertekad membangun jaringan internet lokal. Pada akhir Desember 2019 lalu, pemerintah Rusia mengklaim telah berhasil menciptakan jaringan yang bernama RuNet. Menurut mereka, serangkaian uji coba telah dilakukan sejak pekan lalu. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa RuNet berfungsi dengan baik tanpa akses dari domain name system (DNS) dan koneksi internet global.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Pergantian tahun baru saja kita rayakan. Lazimnya, malam tahun baru kita lalui dengan suka cita. Banyak harapan serta doa yang ingin kita capai di tahun yang baru. Tapi ada saja pihak-pihak yang ingin mengusik kita dengan menebarkan ketakutan menjelang malam tahun baru. Ya, beberapa hari sebelum tahun 2019 berganti, beredar isu bahwa pada malam tahun baru 2020 akan terjadi tsunami di seluruh Indonesia. Saya yakin pembaca setia nawala CekFakta Tempo akan langsung nyeletuk, “Ah, mana mungkin.” Faktanya, banyak warganet mempercayai informasi ini.
Tim CekFakta Tempo mengecek video yang digunakan untuk menyebarkan kabar itu. Hasilnya, informasi tersebut memang hoaks. Video berjudul “Terjadi Tsunami Malam Tahun Baru 31 Desember 2019 Seluruh Indonesia” merupakan gabungan beberapa video yang tidak relevan dikaitkan dengan tsunami pada malam tahun baru 2020. Yang lebih penting lagi, hingga kini, belum ada teknologi yang bisa memprediksi tsunami, juga gempa. Jadi, jika Anda menemukan informasi-informasi yang berisi ramalan soal gempa dan tsunami, ingatlah bahwa keduanya belum bisa diprediksi oleh teknologi apa pun.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Ini Foto Anies Baswedan saat Tangani Banjir Jakarta 2020?
- Benarkah Mahasiswa Ini Meninggal karena Makan Mie Instan Tiap Malam?
- Benarkah Tekan Cancel Dua Kali di ATM Bisa Mencegah Pencurian PIN?
- Benarkah Ada Modus Pembobolan Saldo di Grab Lewat Pesan Pop-up?
- Benarkah Prabowo Minta Menhan Cina Bebaskan Muslim Uighur?
- Benarkah Sultan Brunei Sindir Presiden Jokowi Pemimpin Mabuk Kuasa?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: