- Laporan sebuah media Belgia menyatakan suara yang direkam oleh asisten virtual Google Assistant tidak hanya perintah yang dilontarkan pengguna. Program ini ternyata juga menyimpan perbincangan sensitif, mulai dari dialog orang tua dan anaknya, percakapan ranjang, hingga panggilan bisnis. Siri dan Alexa memiliki problem serupa. Masalah lainnya, asisten virtual bisa diretas dari jarak jauh.
- Tahun 2020 datang sebentar lagi. Sama seperti kita, selama satu dekade terakhir teknologi mengalami perubahan yang begitu drastis, mulai dari berkembangnya ponsel pintar hingga media sosial. Dulu, ponsel pintar tak secanggih sekarang. Media sosial pun belum memiliki peran yang begitu vital dalam keseharian kita. Apa saja tren teknologi yang menandai dekade ini?
Selamat Natal dan Tahun Baru, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Bagaimana liburan Anda? Dalam nawala edisi ini, saya ingin membahas tentang asisten virtual yang popularitasnya semakin melejit menjelang 2020 ini. Apakah Anda sering menggunakan asisten virtual, seperti Google Assistant, Siri, atau Alexa? Jika ya, Anda patut waspada. Pasalnya, meskipun bisa membantu kita mengoperasikan ponsel tanpa harus memencet tombol apapun, asisten virtual dapat berbahaya bagi keamanan data pribadi Anda. Sudah siapkah Anda jika data pribadi diakses oleh orang yang tidak dikenal?
Apakah Anda menerima nawala edisi 27 Desember 2019 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
SISI KELAM ASISTEN VIRTUAL
Beberapa tahun yang lalu, asisten virtual seperti Google Assistant, Siri, dan Alexa masih merupakan barang mewah yang hanya bisa kita jumpai di film-film. Seiring dengan kemajuan teknologi ponsel-ponsel pintar terbaru mulai menyediakan asisten virtual. Saat ini, sebagian besar—atau mungkin semua—ponsel pintar pasti dibekali dengan teknologi perintah suara yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence itu.
Ibarat pembantu pribadi, asisten virtual mengerjakan setiap tugas yang diberikan kepadanya—khususnya tugas-tugas yang berhubungan dengan pengoperasian ponsel. Pertama kali menggunakan asisten virtual, saya cukup terkesan. Asisten pribadi ini benar-benar membantu saya.
Beberapa hari yang lalu, papan ketik (keyboard) ponsel saya bermasalah. Saya memilih cara cepat, yakni uninstall aplikasi papan ketik itu. Tapi, untuk mengunduh dan memasangnya kembali, saya harus mengetik nama aplikasi tersebut di toko aplikasi. Karena papan ketik bawaan ponsel saya juga rusak, saya mencoba menggunakan asisten virtual untuk mengunduh dan memasang aplikasi keyboard ponsel itu. Voila! Dengan mudah, masalah papan ketik terselesaikan.
Namun, sama seperti mata uang, teknologi memiliki dua sisi, termasuk asisten virtual. Pembantu virtual ini memudahkan pekerjaan manusia, tapi juga bisa membahayakan penggunanya. Akan tetapi sebelum masuk ke problem keamanan asisten virtual, lebih baik kita mengetahui cara kerjanya terlebih dahulu.
Perangkat utama dalam ponsel kita yang digunakan oleh asisten virtual adalah mikrofon untuk menangkap perintah suara. Setelah itu terjadi sinergi antara beberapa teknologi, mulai dari pengenalan suara, analisis bahasa, hingga pengolahan bahasa alami. Ketika pengguna meminta asisten virtual melakukan tugas tertentu, teknologi kecerdasan buatan akan mengkonversi bahasa lisan pengguna menjadi data yang dapat dianalisis. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan riwayat permintaan pengguna, untuk merumuskan respons yang sesuai berdasarkan informasi dari basis data perangkat lunak yang tersimpan di server.
Melihat cara kerja asisten virtual, kita menjadi tahu bahwa ada banyak data yang dikumpulkan dan digunakan oleh untuk merumuskan respons terhadap permintaan pengguna, termasuk informasi pribadi yang sensitif. Apakah itu berarti asisten virtual yang kita pakai, baik Google Assistant, Siri, atau Alexa, melanggar privasi data kita? Jawabannya: sangat mungkin.
Masalah Keamanan Asisten Virtual
Pada Juli 2019 lalu, media Belgia, VRT News, melaporkan bahwa Google Assistant merekam suara penggunanya secara diam-diam. Jadi, suara yang direkam oleh Google tidak hanya suara perintah yang dilontarkan setelah mengaktifkan asisten virtual, melainkan juga percakapan sensitif, seperti dialog orang tua dengan anaknya, percakapan ranjang, panggilan bisnis, dan sebagainya.
Selain itu, rekaman suara pengguna dikirimkan kepada kontraktor Google. Manager for Search Google, David Monsees, membenarkan hal ini. Monsees pun mengakui adanya rekaman suara yang mengungkap identitas pengguna, berasal dari percakapan sensitif. Menurut dia, rekaman suara itu diberikan kepada pakar bahasa untuk dianalisa demi meningkatkan kualitas layanan Google Assistant.
Selain Google Assistant, asisten virtual milik Apple, Siri, tersandung masalah serupa. Siri disorot lantaran Apple memberikan akses kepada kontraktor untuk mendengarkan rekaman suara pengguna yang berisi percakapan sensitif. Sama seperti Google, Apple menyatakan bahwa data-data itu digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan Siri.
Bahaya lainnya, menurut Rozita Dara, asisten profesor Ilmu Komputer University of Guelph, Kanada: asisten virtual juga rentan terhadap kegagalan teknis dan proses. Asisten virtual dapat diretas dari jarak jauh yang mengakibatkan pelanggaran privasi pengguna. Dia mencontohkan kejadian di mana rekaman percakapan pribadi sepasang suami-istri di Oregon, AS, pada asisten virtual milik Amazon, Alexa, dikirimkan ke salah satu teman yang terdaftar di kontak mereka.
Ada pula peristiwa di mana seorang laki-laki Jerman secara tidak sengaja mendapatkan akses ke 1.700 berkas audio Alexa milik orang asing yang tidak dikenalnya. Berkas-berkas itu mengungkapkan nama seseorang lengkap dengan kebiasan, pekerjaan, dan informasi sensitif lainnya mengenai orang tersebut.
Meskipun terdapat banyak kasus yang menunjukkan ketidakamanan asisten virtual, teknologi ini tetap digemari sebagian orang. Masyarakat pun, menurut Dara, terbagi dua dalam menyikapi asisten virtual ini. Seseorang yang mengerti privasi tidak akan melibatkan teknologi tersebut ke dalam kehidupan mereka. “Sementara yang lain mungkin menerima atau mencari alasan pembenar untuk hal tersebut,” katanya.
TEKNOLOGI DALAM SATU DEKADE INI
Sepanjang satu dekade terakhir ini, kita menjadi saksi hidup atas kemajuan teknologi, mulai dari ponsel pintar hingga media sosial. Setiap bulan, perusahaan ponsel pintar terus mengeluarkan produk terbarunya. Media sosial pun selalu menawarkan pembaruan, ada yang setiap hari, ada pula yang setiap minggu. Tak terasa, teknologi telah berubah secara drastis sepuluh tahun terakhir.
- Media sosial telah menjadi platform dengan berbagai fungsi: untuk berhubungan dengan orang lain, mencari berita, hingga aktivitas politik. Data Pew Research Center (PRC), pada 2015 orang dewasa Amerika Serikat yang menggunakan media sosial hanya sebesar 5 persen. Saat ini, jumlah tersebut berlipat ganda menjadi 72 persen. Sementara secara global, berdasarkan riset PRC di 36 negara itu, orang dewasa yang menggunakan media sosial sekitar 53 persen.
- Selain itu, di seluruh dunia, media sosial telah menjelma menjadi saluran kunci bagi pergerakan para aktivis. Dekade ini diawali dengan terjadinya Arab Spring pada Desember 2010 dan diakhiri oleh Hongkong Protest, yang hingga saat ini masih berlangsung. Dalam beberapa kasus, demonstrasi disikapi oleh pemerintah setempat dengan memblokir akses internet.
- Berdasarkan survei Pew Research Center, tahun ini, Indonesia berada di posisi ke-24 negara dengan orang dewasa terbanyak yang menggunakan ponsel pintar. Menurut survei tersebut, 42 persen orang dewasa di Indonesia memiliki ponsel pintar, 28 persen memiliki ponsel biasa, dan 29 persen tidak memiliki ponsel. Selain itu, hampir 67 persen populasi dunia telah terkoneksi dengan internet. Sementara di Indonesia, pengguna internet mencapai 97 persen populasi.
- Pada akhir dekade ini, data pribadi semakin menjadi perhatian utama masyarakat global, termasuk Indonesia. Sayangnya, pengajuan draf RUU Perlindungan Data Pribadi dari pemerintah ke DPR dipastikan molor. Awalnya, draf itu akan diserahkan Desember 2019 ini. Lantaran pemerintah masih berfokus pada omnibus law, draf RUU Perlindungan Data Pribadi itu tertunda.
- Kemajuan teknologi berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Menurut laporan e-Economy SEA 2019, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi menembus US$ 40 miliar atau sekitar Rp 566,28 triliun pada 2019. Tren belanja daring pun tumbuh pesat. Menurut studi perusahaan teknologi Sirclo, satu konsumen di Indonesia dapat berbelanja online sebanyak 3-5 kali dalam sebulan. Mereka menghabiskan sekitar 15 persen pendapatan bulanannya untuk berbelanja daring.
- Sisi negatifnya, teknologi yang tersedia khususnya media sosial kerap disalahgunakan untuk memproduksi hoaks. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sejak Agustus 2018 hingga November 2019, terdapat 3.901 hoaks yang menyebar di dunia maya. Kondisi ini jelas memprihatinkan, apalagi riset Daily Social memperlihatkan masih ada 44,19 persen pengguna ponsel di Indonesia yang tidak yakin memiliki kemampuan mendeteksi hoaks.
- Dalam laporannya, jaringan media berita teknologi AS, The Verge, menghitung terdapat 84 kegagalan di dunia teknologi selama satu dekade terakhir. Beberapa di antaranya adalah Samsung Galaxy Note, Windows Phone, Google Glass, Apple Maps, Blackberry, Nintendo Wii U, Sony PlayStation Vita, Microsoft Kinect, dan Google Daydream. Apa alasan The Verge menobatkan berbagai gadget yang cukup populer ini sebagai kegagalan? Baca artikel lengkapnya di sini.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang disinformasi dan upaya menangkalnya pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Laporan The New York Times mengungkapkan bahwa ToTok, aplikasi pesan yang populer di Uni Emirat Arab, merupakan alat mata-mata pemerintah. Menurut laporan itu, aplikasi tersebut dibuat untuk kepentingan pejabat intelijen Uni Emirat Arab dan digunakan untuk melacak percakapan dan pergerakan warga. ToTok diluncurkan pada awal 2019 lalu dan sudah diunduh oleh jutaan warga Uni Emirat Arab. Di sana, sebagian aplikasi pesan, seperti WhatsApp dan Skype, memang diblokir.
- India kembali memblokir internet dan menangguhkan layanan komunikasi seluler di beberapa wilayahnya sejak pertengahan Desember 2019. Pemicunya adalah demonstrasi ribuan warga India yang memprotes undang-undang kewarganegaraan baru di India yang mendiskriminasi umat Islam. Pemblokiran internet itu terjadi di Assam, Meghalaya, Tripura, Uttar Pradesh, dan New Delhi. Operator telekomunikasi India, Reliance Jio, Vodafone, dan Airtel menyatakan pemblokiran layanan komunikasi seluler mereka lakukan atas instruksi pemerintah.
- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah merogoh kocek hingga US$ 648 ribu atau sekitar Rp 9 miliar untuk iklan anti-impeachment di Facebook selama tiga minggu sejak 23 November 2019. Estimasi ini dikeluarkan oleh perusahaan digital Bully Pulpit Interactive yang menganalisis data-data Facebook.
- Facebook gagal meyakinkan parlemen AS mengenai urgensi mereka melacak lokasi pengguna setiap saat. Sebelumnya, dua senator AS, Josh Hawley dan Chris Coons, meminta Facebook menghormati keputusan pengguna untuk merahasiakan lokasi mereka. Menurut Facebook, data lokasi diperlukan untuk menargetkan iklan dan memaksimalkan fungsi keamanan tertentu. Jawaban Facebook itu direspons oleh para anggota parlemen dengan mendesak perusahaan milik Mark Zuckerberg tersebut untuk memberi pengguna lebih banyak kontrol atas data mereka.
- Instagram akan mulai menghapus unggahan bermerek atau branded post para influencer yang mempromosikan vape, tembakau, serta senjata dalam waktu dekat ini. Selain itu, anak perusahaan Facebook ini akan melakukan pembatasan khusus terhadap unggahan bermerek lainnya, seperti alkohol dan suplemen diet.
- Sebuah aplikasi pengiriman daring di Argentina mengizinkan pengguna menitipkan barang apapun untuk diangkut oleh pekerjanya, termasuk narkotika dan obat-obatan terlarang. Perusahaan aplikasi tersebut akan menyerahkan tanggung jawab kepada pekerjanya bila mereka ketahuan mengangkut narkoba.
- Angkatan Laut AS melarang pasukannya menggunakan platform video asal Cina, TikTok. Aturan itu dikeluarkan setelah parlemen AS mengirimkan surat kepada Direktur Keamanan Nasional AS untuk mengawasi TikTok karena diduga menjadi ancaman kontra-intelijen. Para marinir AS yang tidak mematuhi aturan tersebut akan dikenakan hukuman berupa pemblokiran dari Navy Marine Corps Internet (NMCI), jaringan komunikasi khusus anggota Angkatan Laut AS. Para marinir AS yang menggunakan NMCI telah diperintahkan untuk menghapus aplikasi TikTok dari perangkatnya.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Dugaan persekusi terhadap etnis minoritas muslim Uighur di Xinjiang, Cina, menjadi salah satu topik terpanas dalam beberapa pekan terakhir. Seiring dengan ramainya pemberitaan soal itu, beredar pula berbagai foto di media sosial yang sebagian besar memperlihatkan kekerasan. Foto-foto itu diklaim sebagai foto penyiksaan terhadap muslim Uighur oleh pemerintah Cina.
Berdasarkan penelusuran Tempo, sebagian besar foto yang diklaim berisi penyiksaan terhadap muslim Uighur merupakan foto peragaan metode penyiksaan oleh otoritas Cina terhadap pengikut Falun Gong atau Falun Dafa. Apa saja foto-foto yang dimaksud? Baca artikel lengkap pemeriksaan fakta kami di sini.
Artikel cek fakta ini merupakan bagian kedua dari artikel cek fakta berjudul “Benarkah Ini Foto-foto Perlakuan Pemerintah Cina di Kamp Muslim Uighur?” yang dipublikasikan pada 19 Desember 2019. Dalam pemeriksaan fakta ini, kami menggunakan reverse image tools, baik dari Google, Yandex, maupun TinEye.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Mesut Ozil Injak Bendera Cina?
- Benarkah Anies Baswedan Sebut Tak Ada yang Bisa Atasi Banjir Termasuk Nabi Nuh?
- Benarkah Bisa Ular Kobra Dapat Diatasi dengan Bawang Merah?
- Benarkah Rizieq Shihab Terancam Hukuman Mati dengan Pancung di Arab Saudi?
- Benarkah Ketua PBNU Said Aqil Sebut Cina Bukan Komunis dan Justru Arab yang Komunis?
- Benarkah Eks Dirut Garuda Ari Askhara adalah Anggota BIN?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: