- Berbagai negara di dunia berlomba-lomba untuk menerbitkan regulasi khusus yang mengatur hoaks. Asia merupakan benua dengan undang-undang berita palsu terbanyak. Negara yang memiliki hukum terketat di dunia terkait hoaks pun berada di Asia. Seperti apa berbagai aturan khusus ini menjerat para pengedar kabar kibul?
- Biro investigasi Amerika Serikat, FBI, baru saja merampungkan penyelidikan terhadap FaceApp, aplikasi yang bisa mengubah foto seseorang menjadi lebih tua sesuai umurnya di masa depan. Menurut FBI, FaceApp berpotensi menjadi ancaman kontra-intelijen. Seberapa mengancam aplikasi yang dibuat oleh perusahaan Rusia ini?
Selamat hari Jumat, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Setujukah Anda dengan keberadaan undang-undang khusus anti-hoaks? Beberapa kalangan mengatakan aturan ini berpotensi membungkam kebebasan berbicara. Saat ini, Indonesia belum memiliki ketentuan spesial yang mengatur penyebaran kabar bohong. Tapi kebanyakan negara Asia lain sudah, termasuk Singapura. Negeri jiran yang terkenal dengan kedisiplinannya itu baru saja menerbitkan undang-undang yang bisa menjerat para pengedar berita palsu. Seperti apa isi undang-undang itu? Lalu bagaimana aturan khusus anti-hoaks di negara lain?
Apakah Anda menerima nawala edisi 6 Desember 2019 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
RAMAI-RAMAI MEMAGARI HOAKS
Negara di berbagai belahan dunia silih-berganti menerbitkan undang-undang untuk menghalau hoaks. Asia merupakan kawasan yang negara-negaranya terdepan dalam menerbitkan aturan anti-berita palsu. Sebut saja Cina, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang paling baru.
Singapura baru saja mengetok undang-undang yang mengatur hoaks, tepatnya pada Mei 2019 lalu. Aturan itu bernama “The Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act”, disingkat POFMA. Dengan ketentuan ini, penyebar kabar kibul yang dianggap mengganggu keamanan, ketenangan dan keselamatan publik, serta membayakan hubungan internasional Singapura, bisa dikenai denda berat bahkan dipenjara. Aturan ini berlaku pada berita palsu yang beredar di situs-situs, platform media sosial, maupun aplikasi pesan pribadi.
Menurut POFMA, seseorang yang membagikan informasi palsu akan dihukum denda sebesar US$ 37 ribu atau penjara selama lima tahun. Sanksi itu bakal melonjak menjadi denda sebesar US$ 74 ribu atau penjara selama 10 tahun jika hoaks disebarkan dengan akun palsu atau bot. Platform seperti Facebook dan Twitter pun bisa dihukum jika kedapatan berperan dalam menyebarkan kabar kibul. Tak tanggung-tanggung, sanksi yang dikenakan bisa berupa denda sebesar US$ 740 ribu atau penjara selama 10 tahun.
Beberapa pihak menilai aturan ini dapat mengekang kebebasan berbicara. Sebabnya, poin utama dalam ketentuan ini memungkinkan pemerintah Singapura memaksa si pengunggah, yang mereka anggap menyebarkan hoaks, mengoreksi konten yang diunggahnya ke internet. Ketentuan ini juga memberikan kekuasaan bagi pemerintah Singapura untuk memblokir situs yang mereka anggap mengedarkan berita palsu. Menurut Google, undang-undang tersebut bisa menghambat inovasi serta pertumbuhan ekosistem informasi digital.
Hingga kini, ketentuan itu telah memakan dua korban. Yang pertama, politikus oposisi pemerintah Singapura, Brad Bowyer. Dia diminta pemerintah Singapura untuk mengoreksi unggahannya di Facebook, yang mempertanyakan independensi dua perusahaan investasi milik negara, yakni Government of Singapore Investment Corporation (GIC) dan Temasek Holdings.
Berikutnya Alex Tan, pengelola situs dan halaman Facebook States Times Review. Dia diminta mengubah artikelnya yang menyerang Partai Aksi Rakyat, partai yang mendominasi pemerintahan Singapura. Namun, Alex menolak. Penolakan ini direspons pemerintah Singapura dengan meminta Facebook mencantumkan pemberitahuan koreksi pada unggahan yang berisi artikel itu di halaman States Times Review.
Aturan Anti-Hoaks Terketat di Dunia
Meskipun undang-undang anti-hoaks Singapura terlihat sudah sangat ketat, masih ada aturan lain yang jauh lebih keras, yakni yang berlaku di negeri tirai bambu. Menurut data Poynter, Cina memiliki hukum terketat di dunia terkait hoaks. Pada 2016, pemerintah Cina menerbitkan undang-undang yang dapat menjerat para penyebar rumor yang “merusak tatanan ekonomi dan sosial”.
Pada 2017, media diwajibkan untuk memuat ulang informasi yang diterbitkan oleh kantor berita yang diakui oleh pemerintah Cina. Platform media sosial dilarang mempublikasikan artikel yang dibuat sendiri oleh mereka ataupun menyebarkan informasi tanpa atribusi. Media sosial juga diwajibkan untuk memuat ulang atau menautkan artikel dari media yang terdaftar.
Awal tahun lalu, pemerintah Cina memberlakukan regulasi baru yang mengharuskan penyedia layanan microblogging membentuk mekanisme anti-rumor. Sementara pada akhir Agustus 2018, pemerintah Cina meluncurkan sebuah platform sebagai tempat bagi masyarakat untuk melaporkan hoaks di internet. Platform itu menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi informasi palsu yang dilaporkan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus tentang hoaks. Masih ingat kasus Ratna Sarumpaet? Pada 11 Juli 2019, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Ratna atas tuduhan menyebarkan berita bohong.
Hakim menggunakan pasal tentang berita bohong yang menyebabkan keonaran untuk menjatuhkan hukuman terhadap Ratna. Aturan ini tercantum dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Namun, Undang-Undang ini adalah Undang-Undang tentang Peraturan Hukum Pidana yang tidak secara khusus mengatur peredaran hoaks di internet.
Selain pasal tersebut, UU Peraturan Hukum Pidana juga memiliki Pasal 15 yang mengatur berita bohong. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan kabar yang tidak pasti, berkelebihan, atau tidak lengkap, yang menyebabkan keonaran dihukum dengan hukuman penjara maksimal dua tahun.
Untuk menjerat penyebar hoaks di internet aparat hukum sering menggunakan Pasal 28 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal ini melarang setiap orang, dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Bagaimana dengan seseorang yang menyebarkan berita bohong di internet yang tidak menyebabkan kerugian konsumen? Tetap bisa dipidana dengan UU ITE, tergantung dari isi konten yang disebarkan.
- Jika melanggar kesusilaan, dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.
- Jika menyangkut perjudian, dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 2 UU ITE.
- Jika berisi penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
- Jika berisi pemerasan dan/atau pengancaman, dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 4 UU ITE.
- Jika berisi rasa kebencian berdasarkan SARA, dapat dijerat dengan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
- Jika berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, dapat dijerat dengan Pasal 29 UU ITE.
Pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, saat Menteri Komunikasi dan Informatika dijabat oleh Rudiantara, pemerintah menyatakan akan ada peraturan pemerintah yang memberikan sanksi denda bagi platform yang tidak berperan dalam menangkal hoaks. Namun, hingga kini, aturan itu tak kunjung diterbitkan. Aparat makin sering menggunakan UU ITE, yang celakanya malah cenderung menjadi alat untuk membungkam kebebasan berpendapat.
Sambil berharap aturan anti-hoaks tidak menjadi alat pembungkam kebebasan bicara, saya tidak akan pernah lelah mengingatkan Anda untuk selalu berhati-hati dalam bertutur kata, terutama di media sosial. Jangan sampai Anda juga terciduk gara-gara kedapatan mengedarkan kabar bohong.
FACEAPP MATA-MATA RUSIA?
FBI, biro investigasi Amerika Serikat, baru saja rampung menyelidiki FaceApp, aplikasi yang bisa mengubah foto seseorang menjadi lebih tua, sesuai umurnya di masa depan. Pada Juli 2019 lalu, FBI diminta oleh senator AS, Chuck Schumer, untuk menggelar investigasi keamanan terhadap aplikasi buatan perusahaan Rusia, Wireless Lab, tersebut. Menurut penyelidikan FBI, FaceApp berpotensi menjadi ancaman kontra-intelijen. Apa maksudnya?
- Dalam suratnya kepada parlemen AS, FBI menyatakan tidak menemukan bukti bahwa FaceApp menyediakan data kepada pemerintah Rusia. Meski demikian, keleluasaan pemerintah Rusia untuk mengakses seluruh komunikasi dan server para penyedia layanan internet di Rusia membuat aplikasi apapun yang dibuat di sana, termasuk FaceApp, berisiko. “Badan intelijen Rusia memiliki kewenangan eksploitasi siber yang kuat,” kata FBI.
- Sejak 2015, Rusia telah mewajibkan seluruh perusahaan internet yang beroperasi di sana untuk menyimpan data pribadi penggunanya. Selain itu, otoritas keamanan Rusia memiliki kekuatan untuk memaksa perusahaan media sosial menyediakan akses ke data penggunanya.
- Merespons surat FBI itu, senator AS, Chuck Schumer, menyatakan: “Dengan adanya peringatan dari FBI soal FaceApp, serta aplikasi serupa yang dibuat di Rusia, yang berpotensi menjadi ancaman kontra-intelijen, saya mendesak seluruh warga negara Amerika untuk segera menghapus aplikasi semacam FaceApp dan lebih berhati-hati ketika mengunduh aplikasi yang dibuat di sana. Data pribadi yang dikumpulkan FaceApp dari perangkat pengguna dapat berakhir di tangan dinas intelijen Rusia.”
- Selain FaceApp, parlemen AS juga tengah mengawasi TikTok, aplikasi video buatan perusahaan Cina, ByteDance. Menurut mereka, TikTok berpotensi mengancam keamanan nasional AS. Beberapa senator AS pun menulis surat kepada Direktur Keamanan Nasional AS untuk menilai potensi risiko TikTok. “Dengan lebih dari 110 juta unduhan di AS saja, TikTok adalah potensi ancaman kontra-intelijen yang tidak dapat kita abaikan,” kata para senator AS dalam surat itu.
- Pada 17 Juli 2019, FaceApp sempat mengeluarkan pernyataan resmi untuk menanggapi permintaan investigasi dari senator AS kepada FBI. Mereka menyatakan bahwa penyuntingan foto yang diunggah pengguna dilakukan di server cloud. FaceApp juga menuturkan bahwa foto yang tersimpan di galeri ponsel pengguna tidak mereka pindahkan ke server. Foto unggahan pengguna pun akan dihapus dari server cloud dalam waktu 48 jam. Selain itu, FaceApp menyatakan bahwa tidak ada data pengguna yang ditransfer ke Rusia. Mereka menggunakan infrastruktur server cloud yang berbasis di luar Rusia.
- Ahli keamanan siber, Ian Thornton-Trump, mengingatkan pengguna internet untuk tidak begitu saja mempercayai peringatan FBI. “Saya merasa ini adalah peluang politik untuk memunculkan narasi bahwa perusahaan teknologi Rusia itu buruk dan perusahaan teknologi AS baik,” katanya. Perusahaan teknologi AS pun mengumpulkan begitu banyak data pribadi pengguna, seperti Google, Facebook, Apple, dan sebagainya.
Meskipun FaceApp tidak terbukti telah menyediakan data kepada pemerintah Rusia, kita tetap harus waspada terhadap aplikasi ini serta aplikasi lain yang serupa dengan FaceApp. Anda bisa membaca tips dari Raj Samani, kepala ilmuwan di perusahaan keamanan siber McAfee. Kuncinya, hati-hati dalam memberikan akses terhadap data pribadi kita pada sebuah aplikasi.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang disinformasi dan upaya menangkalnya pekan ini yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin, mengumumkan pengunduran diri mereka pada 3 Desember 2019 kemarin lewat surat yang ditulis di blog Google. Sebelum mundur, Page merupakan CEO Alphabet, perusahaan induk Google. Sementara Brin merupakan Presiden Alphabet. CEO Google saat ini, Sundar Pichai, akan mengambil alih posisi Page. Adapun posisi Presiden Alphabet akan dihilangkan. Page dan Brin bakal tetap aktif sebagai pendiri, pemegang saham, sekaligus anggota dewan Google.
- Hakim federal Amerika Serikat memutuskan bahwa Facebook tidak perlu membayar ganti rugi kepada 29 juta pengguna yang informasi pribadinya dicuri dalam kasus pembobolan data pada September 2018 lalu. Saat itu, Facebook mengakui bahwa peretas telah memanfaatkan celah di platformnya untuk mencuri informasi pribadi dari sekitar 29 juta pengguna. Menurut hakim federal, pengguna hanya bisa meminta Facebook untuk mengimplementasikan pemantauan keamanan otomatis.
- Cina menerbitkan aturan yang mewajibkan pemakai kartu SIM baru untuk melakukan pemindaian wajah saat mendaftar. Aturan yang juga berlaku bagi pelanggan layanan internet itu mulai diimplementasikan pada 1 Desember 2019. Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi Cina menyatakan kebijakan itu dimaksudkan untuk melindungi kepentingan warga negaranya di dunia maya. Beberapa pihak menilai aturan ini merupakan bagian dari upaya Cina untuk mengawasi warga negaranya.
- Otoritas Vietnam menangkap seorang jurnalis sekaligus blogger, Pham Chi Dung, 53 tahun, atas tuduhan telah melakukan propaganda anti pemerintah. Kementerian Keamanan Publik Vietnam, menuduh Pham Chi Dung menyimpan, membuat, dan menyebarkan informasi yang menentang pemerintah Vietnam. Dia juga dianggap bekerja sama dengan media asing. Pham Chi Dung merupakan kontributor media VOA, NBC News, serta Nikkei. Dia terancam hukuman penjara antara 5-20 tahun.
- Radio Free Asia (RFA), radio yang bermarkas di Washington DC, AS, meminta pemerintah Kamboja mengizinkan mereka kembali mengudara di sana. Tapi pemerintah Kamboja mengajukan syarat, yakni RFA mesti berhenti menggunakan istilah “rezim Phnom Penh” dalam siarannya. Juru bicara Kementerian Informasi Kamboja menyatakan istilah “rezim Phnom Penh” merupakan bentuk penghinaan bagi Kerajaan Kamboja. RFA sudah berhenti beroperasi di Kamboja sejak 2017.
- Twitter baru saja mengubah pengaturan keamanannya dengan mengizinkan pengguna memakai fitur two-factor authentication atau autentikasi dua langkah tanpa harus memberikan nomor telepon. Caranya: pengguna mengaktifkan fitur keamanan kode login; lalu mengirim kode itu melalui aplikasi security key, seperti Google Authenticator, Authy, Duo Mobile, dan 1 Password. Artinya, pengguna mesti terlebih dahulu mengunduh aplikasi security key di Google Play Store atau Apple App Store dan menghubungkannya ke Twitter.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Isu mengenai ikan beracun yang tercemar logam berat memenuhi lini massa media sosial sejak beberapa pekan lalu. Menurut sejumlah akun yang mengunggah informasi itu, orang yang memakan ikan tersebut akan terserang penyakit kulit. Agar meyakinkan, narasi itu dilengkapi dengan sejumlah foto. Pertama, foto ikan yang mengandung butiran mirip telur, yang disebut sebagai racun akibat tercemar logam berat. Kedua, foto pria yang diklaim terkena penyakit kulit karena memakan ikan tersebut.
Berdasarkan pemeriksaan fakta oleh Tempo, narasi yang menyatakan bahwa ikan dalam foto di atas tercemar logam berat, sehingga membuat orang yang memakannya terkena penyakit kulit, keliru. Butiran yang mirip telur dalam perut ikan itu adalah parasit Glugea sardinellensis. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, parasit ini tidak menginfeksi manusia dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi jika ikan yang ditempeli oleh parasit tersebut dibersihkan, dicuci, dan direbus dengan benar.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta atas beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah Yusuf Mansur menyebut salat di Monas dosa karena riya?
- Benarkah TNI sediakan sarapan gratis untuk peserta Reuni 212?
- Benarkah ada putri duyung yang terdampar di Pantai Nepa, Banyuates, Madura?
- Benarkah pesawat ini disewa untuk mengantar peserta Reuni 212?
- Benarkah binatang transparan ini hidup dalam air minum?
- Benarkah warga Jakarta diharuskan ganti KK baru?
- Benarkah Imam Besar FPI Rizieq Shihab telah kembali ke Indonesia menjelang Reuni 212?
- Benarkah ulama Arab Saudi, Ali Al-Jufri, datang ke Reuni 212 di Monas?
- Benarkah Presiden Jokowi ancam copot Prabowo sebagai Menteri Pertahanan karena kalah pamor?
- Benarkah bayi di India ini memakan usus ibunya sampai habis?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: