- Pertengahan Agustus 2019 lalu, banyak beredar informasi sesat seputar penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya dan kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Sampai-sampai, Kementerian Komunikasi dan Informatika membatasi internet di sejumlah wilayah di Papua untuk meredam kabar-kabar hoaks itu. Apa saja berita hoaks yang viral soal Papua? Saya merangkumnya untuk Anda.
- Kita sering kali percaya dengan informasi-informasi palsu yang viral di media sosial. Kabar-kabar hoaks itu kerap dibumbui dengan foto yang sudah dimanipulasi agar tampak lebih tepercaya. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia membagikan tipsnya agar kita bisa terhindar dari “penipuan” berita-berita hoaks.
Halo pembaca nawala CekFakta Tempo. Pertengahan Agustus kemarin, lini masa berbagai media sosial dipenuhi dengan berita tentang Papua. Berbagai kabar hoaks seputar Papua pun merajalela. Banyak yang mungkin terkecoh dengan informasi-informasi itu. Tak terkecuali Kominfo yang sempat keliru dengan menyatakan cuitan pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman, sebagai disinformasi. Nah, dalam nawala kali ini, saya merangkum kabar-kabar hoaks terkait Papua sekaligus memberikan jurus-jurus agar Anda tidak mudah terkecoh kabar kibul.
Apakah Anda menerima nawala edisi 26 Agustus 2019 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
DISINFORMASI SEPUTAR PAPUA
Anda tentu masih ingat pada keputusan pemerintah membatasi akses media sosial setelah kerusuhan 21-22 Mei di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta. Saat itu, Facebook dan Instagram benar-benar down. Sementara WhatsApp tidak bisa digunakan untuk mengirim foto dan video. Kali ini, pembatasan semacam itu berulang di Papua. Bedanya, kali ini yang dibatasi bukan cuma media sosial, tapi seluruh penggunaan internet.
Pembatasan internet di beberapa wilayah di Papua, seperti Manokwari, Jayapura, Sorong, dan Fakfak, berlangsung sejak 21 Agustus 2019. Sebelumnya, pada 19-20 Agustus lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sempat melakukan pelambatan kecepatan internet pasca kerusuhan di sejumlah wilayah di Papua. Beberapa organisasi masyarakat sipil pun berunjuk rasa pada 23 Agustus kemarin dan menuntut Kominfo segera membuka akses internet di Papua.
Tapi, apa sebenarnya yang membuat kerusuhan itu terjadi sampai-sampai internet di Papua harus dibatasi?
Kita mesti flashback terlebih dahulu ke kejadian pada Jumat siang, 16 Agustus 2019 lalu. Berdasarkan kronologi dari Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Sandi Nugroho, saat itu, beberapa ormas berkumpul di depan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Surabaya. Mereka menuding mahasiswa Papua di sana merusak tiang bendera dan membuang tiang yang masih ada benderanya itu ke selokan.
Keesokan harinya, polisi mendatangi para mahasiswa di asrama tersebut untuk meminta klarifikasi. Menurut Sandi, para mahasiswa itu menolak keluar. Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 17.00, polisi menerobos masuk ke asrama dan menangkap 43 mahasiswa Papua di sana.
Namun, dalam video yang diduga diambil di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, beberapa orang berseragam TNI juga terlihat berkumpul di depan asrama itu. Dalam video itu, terlihat pula sebuah tiang bendera–terletak di pinggir selokan–yang patah. Di tiang bendera itu, tergantung bendera Merah Putih. Namun, bendera itu belum sepenuhnya jatuh ke tanah, hanya ujungnya yang sudah menyentuh tanah dan sesekali mengarah ke selokan ketika tertiup angin.
Dalam video tersebut juga terdengar teriakan “monyet” beberapa kali. Tidak jelas siapa yang meneriakkan kata-kata tersebut. Video itu sontak memicu kemarahan masyarakat Papua. Hanya dua hari setelah HUT ke-74 RI, aksi unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan terjadi di Manokwari, Papua Barat. Namun, kepolisian berdalih kerusuhan itu dipicu oleh hoaks soal intimidasi mahasiswa Papua di Surabaya, bukan oleh ucapan bernada rasisnya.
Belakangan, Kodam V Brawijaya menyelidiki enam anggotanya yang diduga terlibat dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua dan berteriak rasis. Mahasiswa Papua yang ditangkap pun sudah dipulangkan karena tidak terbukti bersalah. Hanya saja, pemerintah tetap membatasi internet di Papua karena Kominfo menemukan ada 62 konten di Facebook, Instagram, maupun WhatsApp yang memuat berita bohong dan provokasi terkait kerusuhan di Papua.
Mis dan Disinformasi Seputar Papua
- Mahasiswa Papua di Surabaya Tewas Dipukuli Polisi dan Anggota TNI
Melalui akun Instagram-nya, Divisi Humas Polri menyatakan bahwa foto itu adalah hoaks. Menurut penjelasan mereka, foto tersebut adalah foto korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal di Jalan Trikora, Jayapura, pada 19 Februari 2019.
- TNI akan melakukan operasi militer di Papua setelah kerusuhan Manokwari
Dalam keterangan tertulisnya, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan bahwa kabar itu adalah hoaks. Dia membantah TNI bakal menyerang Papua pasca kerusuhan Manokwari.
- Barisan Ansor Serbaguna (Banser) ingin membebaskan Papua, tapi tidak mendapat anggaran dari pemerintah
Beredar tulisan opini di Facebook yang berisi narasi tentang terjunnya Banser ke Papua untuk menyelamatkan kedaulatan negara. Namun, rencana itu batal karena pemerintah tidak memberikan anggaran kepada Banser. Tulisan itu dilengkapi dengan foto tangkapan layar dari berita berjudul “Gus Yaqut: Kami NKRI dan kami tidak takut ke Papua. Tapi maaf, anggaran tidak ada dari pemerintah”. Gus Yaqut merupakan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor. Faktanya, foto tersebut merupakan hasil suntingan dari foto tangkapan layar berita yang berjudul “Gus Yaqut: Lepas Ego Politik Jangka Pendek, Saatnya Rekonsiliasi.” Adapun tulisan opini dalam unggahan itu yang diklaim sebagai karya blogger Nasrudin Joha tidak ditemukan di Facebook ataupun blognya.
- Brimob Papua tidak punya senjata seperti ketika menghadapi pendemo pada 21-22 Mei di Jakarta
Beredar video di Twitter yang memperlihatkan seorang polisi yang tergeletak di pinggir jalan. Video itu dilengkapi dengan narasi, “Apakah Brimob Papua tdk punya senjata seperti ketika menghadapi pendemo 21-22 di Jakarta?” Faktanya, video itu merupakan video pada 2006 yang berisi rekaman bentrokan antara polisi dengan pengunjuk rasa di Universitas Cendrawasih.
Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid menilai langkah Kominfo memperlambat internet untuk mencegah penyebaran hoaks tidak akan efektif. Jika internet dibatasi, masyarakat malah tidak bisa mengakses berita. Padahal, media massa, terutama yang tercatat dan terverifikasi oleh Dewan Pers, adalah sumber informasi yang lebih valid ketimbang sumber lainnya.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid juga mengkritik kebijakan itu. Tanpa akses internet yang normal, masyarakat akan sulit memantau kinerja aparat pengamanan. Usman khawatir hal itu malah membuat aparat lebih leluasa melakukan pelanggaran ketika menangani massa. Hal itu juga mendorong masyarakat keluar rumah. Padahal, saat itulah potensi konflik meningkat.
JURUS MENANGKAL HOAKS
Kita mungkin hampir setiap hari menemukan berita hoaks yang berseliweran di media sosial. Ada berita hoaks seputar dunia hiburan, kesehatan, agama, dan yang paling sering politik. Menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi masyarakat sipil yang fokus memerangi berita hoaks, produksi kabar bohong di Indonesia mulai marak sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Penyebaran hoaks semakin meningkat saat Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, dan yang terbaru, Pemilihan Presiden 2019.
Sebenarnya, apa yang membuat berita hoaks begitu laris?
- Menurut Jonah Berger, profesor bidang pemasaran dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat, muatan kontenlah yang mempengaruhi kecepatan penyebaran konten tersebut. Konten bernada marah paling cepat viral. Tak heran, konten yang memancing kemarahan, yang biasa dipakai dalam berita hoaks, lebih mudah menyebar.
- Dalam konteks psikologi, semakin minim pengetahuan seseorang terhadap suatu hal, justru semakin tinggi rasa percaya dirinya akan hal tersebut. Dengan longgarnya filter atas suatu berita, orang yang awam pengetahuan lebih mudah mempercayai informasi yang mereka terima. Mereka pun dengan pede membagikannya ke orang lain.
- Menurut peneliti Populi Center, Rafif Pamenang Irawan, media soial merupakan pasar bebas lantaran informasi di dalamnya tidak tersaring. Kondisi itu diperburuk dengan hilangnya etika ketika menyampaikan pendapat di media sosial. Media sosial pun sedikit demi sedikit menggerus peran media massa sebagai acuan.
- Menurut Mafindo, banyak situs penyebar berita palsu yang punya motif ekonomi. Dengan tingginya traffic, pendapatan masuk dari para pengiklan. Dengan kurs rupiah saat ini, yakni Rp 14.178 per dolar AS, satu berita hoaks nilainya bisa mencapai Rp 1,41 juta. Nominal itu akan bertambah jika berita tersebut viral dan banyak orang yang menyebarkannya.
Lalu, apa yang harus kita perbuat untuk menyaring berbagai berita hoaks yang seabrek itu? Mungkin cara-cara berikut ini bisa membantu Anda untuk mengidentifikasi mana berita hoaks dan mana berita asli:
- Hati-hati dengan judul provokatif. Berita hoaks sering memakai judul yang provokatif, misalnya menudingkan jari ke pihak tertentu secara langsung. Isinya bisa saja diambil dari media massa, tapi diubah-ubah.
- Cermati alamat situs berita yang dicantumkan. Jika situs itu merupakan situs media yang belum terverifikasi sebagai institusi pers, misalnya menggunakan domain blog, Anda patut meragukan informasi yang ada di dalamnya.
- Periksa fakta. Perhatikan dari mana berita itu berasal, apakah dari institusi pemerintah atau dari pegiat organisasi masyarakat, tokoh politik, atau pengamat. Perhatikan juga keberimbangan sumber berita. Jangan lupa cermati apakah berita tersebut dibuat berdasarkan fakta atau opini.
- Cek keaslian foto. Ada kalanya pembuat berita hoaks melampirkan foto yang sudah dimanipulasi untuk memprovokasi pembaca. Untuk mengecek keaslian foto, Anda bisa memanfaatkan mesin pencari Google Images.
- Ikut grup diskusi anti hoaks. Di Facebook, terdapat sejumlah grup diskusi yang fokus memerangi berita-berita hoaks, seperti Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax, Indonesian Hoax Buster, Indonesian Hoaxes, dan sebagainya. Anda bisa bertanya di situ apakah sebuah informasi merupakan hoaks atau bukan.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut ini beberapa informasi sekilas yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Google News Initiative, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi bekerjasama menggelar pelatihan literasi media untuk mengidentifikasi informasi palsu di internet. Program ini menyasar kaum muda dan ibu rumah tangga di 17 kota di Indonesia.
- Google menonaktifkan 210 akun YouTube pada awal pekan lalu karena akun-akun itu dianggap menyebarkan disinformasi terkait protes Hong Kong. Facebook dan Twitter juga melakukan hal serupa karena menemukan ribuan akun yang diduga dioperasikan oleh pemerintah Cina untuk menumbuhkan keraguan tentang protes Hong Kong. Akun-akun tersebut menyamarkan asal-usulnya dengan menggunakan VPN.
- Global Disinformation Index mengeluarkan laporan yang mengungkapkan bahwa situs-situs penjaja disinformasi dan konten ekstremis menghasilkan setidaknya US$ 235 juta per tahun dari pendapatan iklan.
- Seorang insinyur perangkat lunak dan ahli bahasa komputasi, Fatemeh Torabi Asr, menyatakan ilmu linguistik dapat digunakan untuk mendeteksi berita palsu. Biasanya, berita palsu menggunakan narasi ujaran kebencian serta kata-kata yang berhubungan dengan seks, kematian, dan kecemasan. Dengan kecenderungan seperti itu, mesin dapat diajari untuk mendeteksi berita palsu.
- Facebook memperluas jangkauannya ke Instagram dalam upaya pengecekan fakta. Saat ini, pengguna Instagram dapat menandai konten palsu yang mereka temukan di platform tersebut. Hanya saja, konten yang ditandai itu tidak akan dihapus, melainkan diperkecil kemungkinannya untuk dilihat oleh pengguna Instagram lainnya.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Kementerian Komunikasi dan Informatika diprotes oleh pengacara hak asasi manusia sekaligus pendamping mahasiswa Papua di Surabaya, Veronica Koman. Pasalnya, Kominfo menganggap salah satu cuitan Veronica di akun Twitter miliknya sebagai hoaks. Protes itu bermula setelah Kominfo menerbitkan artikel dalam situsnya yang mengkategorikan informasi “Polres Surabaya Menculik Dua Orang Pengantar Makanan untuk Mahasiswa Papua” sebagai disinformasi pada 19 Agustus 2019. Menurut artikel tersebut, informasi itu berasal dari cuitan Veronica pada 17 Agustus 2019. Veronica membantah telah menyebut kata “penculikan” dalam cuitannya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, cuitan Veronica memang tidak menyebutkan kata “penculikan”, melainkan “ditangkap”. Pencantuman gambar tangkapan layar cuitan Veronica oleh Kominfo dan kemudian menghubungkannya dengan kabar penculikan adalah tidak tepat.
Selain artikel kekeliruan Kominfo di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta atas beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Metallica memainkan lagu Indonesia Raya pada 17 Agustus 2019
- Polres Tangerang menyebarkan pesan tentang modus penggunaan obat Progesterex dalam pemerkosaan
- Video yang bernarasi Organisasi Papua Merdeka menyerang TNI pada Agustus 2019
- Banser ingin membebaskan Papua tapi tidak mendapat anggaran dari pemerintah
Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: