Soedjatmoko adalah pemikir Indonesia yang melewati banyak zaman. Putra dokter keraton ini dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena ikut melawan Jepang. Ia mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Proklamasi dan aktif di Partai Sosialis Indonesia. Ketika pemerintah Orde Lama mulai otoriter, Soedjatmoko tak segan mengkritik Sukarno.
Setelah zaman berganti, ia tetap vokal. Soedjatmoko, yang ketika itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, rutin menyurati Presiden Soeharto untuk menyampaikan kabar perkembangan politik di Amerika Serikat.
Bung Koko—sapaan akrabnya—juga penulis yang produktif. Ia menuangkan pemikirannya ke ratusan tulisan yang relevan hingga kini. Tulisannya tak semata menawarkan definisi, tapi peran kebudayaan yang vital dan komprehensif bagi perubahan dan pembangunan manusia.
Ia aktif di Club of Rome—organisasi informal beranggotakan tokoh-tokoh dunia yang peduli terhadap isu kemanusiaan dan lingkungan. Ia juga berperan di sejumlah organisasi kebudayaan, seperti American Academy of Arts and Sciences, Siam Society Bangkok, dan Akademi Jakarta.
Dituduh mendalangi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari pada 15 Januari 1974, Soedjatmoko sempat dicegah keluar dari Indonesia. Pada 1978, ia menerima Ramon Magsaysay Award for International Understanding dan dua tahun kemudian menjadi Rektor United Nations University di Tokyo.
Mengenang seabad usia Soedjatmoko, yang meninggal pada 1989, kami menyuguhkan cerita perjalanan hidupnya di rubrik Selingan. Selamat membaca.
Soedjatmoko rutin menulis surat kepada Presiden Soeharto saat menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika. Apa tanggapan Soeharto?
Debat Soedjatmoko versus Boejoeng Saleh
Tulisan kebudayaan Soedjatmoko pernah ditanggapi oleh Boejoeng Saleh, sastrawan putra tokoh Partai Komunis Indonesia Banten, Poeradisastra. Apa yang mereka perdebatkan?