CekFakta #66 Ramai-ramai Boikot Iklan Facebook
Reporter
Angelina Anjar
Editor
Philipus Parera
Selasa, 7 Juli 2020 13:16 WIB
- Kampanye boikot iklan Facebook, #StopHateForProfit, semakin meluas. Tercatat lebih dari 500 perusahaan telah menyatakan dukungannya terhadap pemboikotan ini. Kampanye ini telah membuat harga saham Facebook anjlok meskipun mayoritas dari 100 pengiklan terbesar Facebook belum bergabung dalam kampanye tersebut. Lalu, apa langkah yang diambil perusahaan milik Mark Zuckerberg ini?
- TikTok dan puluhan aplikasi asal Cina lainnya diblokir oleh pemerintah India sejak 29 Juni 2020 lalu. Pemblokiran dilakukan menyusul memanasnya konflik yang di perbatasan India-Cina. Menurut pemerintah India, puluhan aplikasi itu berpotensi mengancam keamanan data negara.Tapi, pemblokiran tersebut juga diperkirakan bakal menimbulkan pemutusan hubungan kerja besar-besaran serta gagalnya investasi bernilai 1 miliar dolar Amerika Serikat.
Halo pembaca Nawala CekFakta Tempo! Dalam edisi kali ini, saya ingin membahas dua isu yang sedang ramai dalam beberapa hari terakhir, yang kebetulan berkaitan dengan kata “pembatasan”. Pertama adalah soal pemboikotan iklan Facebook oleh ratusan perusahaan akibat misinformasi dan ujaran kebencian yang beredar di platform tersebut. Yang kedua soal pemblokiran puluhan aplikasi asal Cina, salah satunya TikTok, oleh pemerintah India.
Apakah Anda menerima nawala edisi 3 Juli 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
RAMAI-RAMAI BOIKOT IKLAN FACEBOOK
Kampanye untuk memboikot iklan Facebook menguat beberapa hari terakhir. Hingga 1 Juli 2020, lebih dari 500 perusahaan mengumumkan bahwa mereka tidak akan beriklan di Facebook hingga raksasa media sosial yang dipimpin Mark Zuckerberg ini mengambil “tindakan yang berarti” untuk menangkal misinformasi dan ujaran kebencian. Dari ratusan perusahaan itu, beberapa di antaranya adalah korporasi besar, seperti Coca-Cola, Unilever, Volkswagen, Honda, Adidas danLevi Strauss.
Pemboikotan yang diberi nama #StopHateForProfit ini muncul hanya beberapa pekan setelah sejumlah karyawan Facebook menggelar mogok kerja virtual pada 1 Juni lalu. Mereka memprotes perusahaan yang memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa terhadap unggahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait demonstrasi atas pembunuhan seorang pria Afrika-Amerika, George Floyd, oleh polisi beberapa waktu lalu. Ketika itu, Trump menulis “ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai”. Narasi tersebut dianggap mengglorifikasi kekerasan.
Berbeda dengan Twitter yang menandai cuitan Trump yang sama dengan label peringatan, Facebook menyatakan bahwa unggahan itu tidak memenuhi syarat sebagai hasutan yang melanggar aturan platform. Tak lama kemudian, tepatnya pada 17 Juni, kampanye #StopHateForProfit diluncurkan. Gerakan ini diprakarsai oleh Anti-Defamation League, organisasi yang telah lama menentang anti-semitisme, bersama National Association for the Advancement of Coloured People (NAACP) dan kelompok-kelompok hak sipil.
Kampanye tersebut meminta para pengiklan untuk memboikot Facebook dan anak perusahaannya, Instagram, sepanjang Juli. Para aktivis itu mengkritik Facebook karena melakukan “penyebaran kebencian yang luas” di platformnya. Facebook juga dinilai membiarkan unggahan berisi hasutan untuk melakukan kekerasan terhadap demonstran. Kampanye ini menyerukan agar grup-grup pribadi di Facebook yang menjajakan kebencian, misinformasi, atau konspirasi dihapus. Facebook diminta untuk menyerahkan laporan dari auditor independen tentang tindakan yang telah diambil perusahaan.
Meski demikian, menurut Pathmatics, mayoritas dari 100 pengiklan terbesar Facebook belum bergabung dalam pemboikotan itu. Bahkan, dari 25 pengiklan terbesar Facebook tahun lalu, hanya tiga korporasi yang telah menyatakan rencananya untuk menghentikan iklan mereka di Facebook. Ketiganya adalah Microsoft, Starbucks, dan Pfizer. Meskipun begitu, kampanye ini telah membuat harga saham Facebook anjlok. Bahkan, pada 26 Juni lalu, harga saham Facebook turun lebih dari 8 persen, senilai sekitar 56 miliar dolar AS.
Setelah harga saham Facebook jeblok, Zuckerberg sempat memberi tahu karyawannya dalam sebuah rapat virtual bahwa perusahaan tidak akan mengubah pendekatannya pada ujaran kebencian. “Kita tidak akan mengubah pendekatan kita pada apa pun karena ancaman terhadap sebagian kecil pendapatan kita, atau terhadap berapa pun pendapatan kita,” ujarnya. “Saya menduga semua pengiklan itu akan segera kembali ke platform.” Namun, Zuckerberg juga menilai pemboikotan ini berpengaruh terhadap reputasi perusahaan.
Facebook akan tetap berada di tengah sorotan. Publik menuntut mereka untuk responsif, meskipun perusahaan-perusahaan yang mengikuti kampanye #StopHateForProfit diduga lebih termotivasi oleh peningkatan citra daripada keinginan untuk menangkal misinformasi dalam iklan Facebook. “Dengan menarik iklan di Facebook, mereka bisa berhemat sekaligus membuat pernyataan berisiko rendah yang menghasilkan publisitas positif,” kata konsultan strategi komunikasi Gerard Francis Corbett.
Pada akhirnya, Facebook mengambil jalan tengah dengan mengumumkan bahwa mereka bakal memberikan label pada unggahan politikus yang melanggar kebijakan platform namun dinilai masih layak tayang. Keputusan ini berpegang pada prinsip-prinsip kebebasan berbicara yang dianut Facebook. Tapi sebagian orang menilai itu dilakukan untuk menghindari kemarahan Trump. Zuckerberg meyakini bahwa, untuk menangkal ujaran yang berbahaya, diperlukan “more speech”, bukan penyensoran. Karena itu, ujaran kebencian yang beredar cuma diberi label, tidak dicabut.
Terkait konten-konten yang lebih ekstrem, Facebook berjanji bakal menghapusnya. Zuckerberg mengatakan bahwa unggahan yang “mengarah pada kekerasan atau menghilangkan hak orang untuk memilih” tidak akan ditoleransi, walaupun dibuat oleh politikus. Facebook pun menulis surat terbuka yang menyatakan mereka “tidak mendapatkan profit dari kebencian”. Facebook berargumen bahwa mereka menghapus ujaran kebencian lebih cepat ketimbang YouTube dan Twitter. “Tidak ada insentif bagi kami untuk melakukan apa pun selain menghapusnya,” kata Vice President of Global Affairs Facebook, Nick Clegg.
Tapi langkah-langkah itu tidak membuat kampanye #StopHateForProfit terhenti. Bahkan, survei World Federation of Advertisers memprediksi sepertiga pengiklan terbesar Facebook bakal segera bergabung dalam pemboikotan itu. Dengan meningkatnya eskalasi gerakan ini, langkah-langkah yang lebih berarti perlu diambil oleh Facebook. Apalagi, selama bertahun-tahun, Facebook terus berkutat pada masalah yang sama, yakni misinformasi dan ujaran kebencian.
BLOKIR INDIA ATAS TIKTOK
Pada 29 Juni 2020, pemerintah India memblokir 59 aplikasi asal Cina, salah satunya platform video TikTok. Keputusan ini diambil setelah memanasnya konflik di Ladakh, perbatasan India-Cina. Tercatat sekitar 20 tentara India tewas setelah bentrok dengan tentara Cina pada pertengahan Juni lalu. Selain TikTok, beberapa aplikasi populer, seperti aplikasi pesan instan WeChat dan aplikasi game Mobile Legends, diblokir. Menurut pemerintah India, puluhan aplikasi itu berpotensi mengancam keamanan data negara.
- Kementerian Informasi dan Teknologi India menyatakan TikTok dan puluhan aplikasi Cina itu diblokir mengingat informasi yang ada di sana merugikan kedaulatan dan integritas India serta, pertahanan dan keamanan negara. “Karena mencuri dan secara diam-diam mentransmisikan data pengguna secara tidak sah ke server yang berlokasi di luar India. Pada akhirnya, berdampak pada kedaulatan dan integritas India,” demikian pernyataan Kementerian Informasi dan Teknologi India.
- Pasca pemblokiran ini, aplikasi TikTok hilang dari toko aplikasi Google Play Store dan Apple App Store India. Para pengguna yang sudah mengunduh TikTok di ponselnya tetap bisa mengakses aplikasi tersebut. Kendati demikian, mereka bakal mendapatkan pesan bahwa pemerintah India memblokir aplikasi itu. Saat membuka TikTok melalui situsnya pun, pengguna akan diarahkan ke halaman tiktok.com/notfound yang menampilkan pesan yang sama.
- TikTok membantah tuduhan bahwa platformnya telah membagikan data pengguna India kepada pemerintah Cina. Menurut Kepala TikTok India Nikhil Gandhi, TikTok selalu mematuhi persyaratan privasi dan keamanan data dalam hukum India serta tidak pernah membagikan informasi penggunanya di India kepada pemerintah mana pun, termasuk Cina. “Bahkan, jika nantinya kami diminta (untuk berbagi informasi), kami tidak akan melakukannya,” ujar Gandhi.
- Pemerintah Cina menyatakan pemblokiran 59 aplikasi buatan perusahaan-perusahaannya di India, berpotensi melanggar aturan World Trade Organization (WTO). Cina meminta pemerintah India menciptakan lingkungan bisnis yang terbuka dan adil. Juru bicara Kedutaan Besar Cina di New Delhi, Ji Rong, menyatakan tindakan pemerintah India tersebut sangat diskriminatif. Alasannya pun dinilai ambigu dan dibuat-buat.
- Menurut sejumlah pihak, pemblokiran TikTok tersebut diperkirakan akan berdampak besar terhadap bisnis platform yang dimiliki oleh raksasa teknologi Cina, ByteDance, tersebut. Pasalnya, TikTok memiliki basis pengguna terbesar di India. Jumlah unduhan TikTok di India menyumbang sekitar 30 persen dari total 2 miliar unduhan secara global. Pemblokiran ini juga kemungkinan bakal menggagalkan rencana ekspansi ByteDance ke India yang bernilai sekitar 1 miliar dolar Amerika Serikat.
- Firma analisis aplikasi Sensor Tower berpendapat, jika pemblokiran tersebut tidak dibatalkan, perusahaan-perusahaan pengembang 59 aplikasi itu bakal mengurangi operasi mereka di India. Hal itu berpotensi menimbulkan PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran. Adapun korban terbesar dari pemblokiran 59 aplikasi ini, menurut beberapa pihak, yakni ByteDance. Sejak tahun lalu, perusahaan pengembang TikTok ini telah mempekerjakan beberapa eksekutif senior dengan bayaran selangit.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Platform live streaming untuk pemain game, Twitch, menangguhkan saluran resmi milik Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara temporer. Alasannnya, meteka telah menayangkan konten yang memperlihatkan perilaku penuh kebencian. Menurut Twitch, konten tersebut kini telah dihapus. Salah satu konten yang dianggap menyebarkan kebencian adalah konten yang berisi pernyataan Trump bahwa Meksiko telah mengirim banyak pemerkosa ke AS. Twitch juga menandai komentar rasis yang diucapkan oleh Trump dalam kampanye di Tusla, Oklahoma, beberapa waktu lalu.
- Facebook melaporkan telah menghapus 220 akun di platformnya, 95 akun di Instagram, serta 28 halaman dan 106 grup yang terkait dengan gerakan Boogaloo. Menurut Facebook, kelompok bersenjata yang menunggangi demonstrasi atas kematian George Floyd itu secara aktif mempromosikan kekerasan terhadap warga sipil, penegak hukum, pejabat, dan lembaga pemerintah AS. “Anggota jaringan ini berusaha merekrut orang lain dalam gerakan yang lebih luas, berbagi konten yang sama secara online, dan mengadopsi tampilan offline yang sama dengan yang lain.”
- Facebook memperbarui cara pemeringkatan berita di News Feed platformnya. Perusahaan media sosial milik Mark Zuckerberg ini akan memprioritaskan laporan orisinal dengan penulis yang jelas. Menurut Vice President Global News Partnership Facebook Campbell Brown, langkah itu diambil karena berita orisinal memainkan peran penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat, mulai dari berita baru hingga laporan investigasi mendalam, serta berbagi kabar di saat krisis.
- Tim peneliti Disney bekerjasama dengan ETH Zurich menciptakan sebuah sistem face swap atau tukar wajah dengan metode neural networking. Sistem ini bisa menghasilkan output berupa video dengan resolusi tinggi. Menurut tim peneliti, temuan ini akan sangat bermanfaat bagi industri televisi dan film, di mana video resolusi tinggi adalah kunci utama untuk menghasilkan produk yang tampak sangat nyata. Saking nyatanya, penonton mungkin tak sadar bahwa sosok dalam video adalah hasil editan.
- Google mengumumkan kebijakan baru bahwa setelan default akan diatur secara otomatis untuk menghapus riwayat aktivitas pengguna setelah tersimpan selama 18 bulan. Sebenarnya, fitur hapus otomatis ini sudah tersedia sejak tahun lalu, namun pengguna diharuskan untuk mengaktifkannya secara manual. Di luar setelan default tersebut, Google juga menawarkan opsi untuk menghapus data lokasi setelah tiga bulan tersimpan. Namun, penghapusan ini tidak berlaku untuk produk seperti Gmail, Drive, dan Photos yang memang dirancang untuk menyimpan data.
- Microsoft menemukan kasus malware dan ransomware di dunia siber Indonesia sepanjang 2019 lebih tinggi ketimbang rata-rata kasus di kawasan Asia Pasifik pada periode yang sama. Menurut Presiden Direktur Microsoft Indonesia, Haris Izmee, pada 28 Juni 2020, kasus malware yang tinggi ini sering kali berkorelasi dengan tingkat pembajakan dan keamanan dunia maya secara keseluruhan. “Yang mencakup patching dan pembaruan perangkat lunak secara berkala,” ujar Haris.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Sejumlah foto yang diklaim sebagai foto-foto Front Pembela Islam (FPI) dan Barisan Serba Guna (Banser) NU saat menggeruduk kantor PDIP di Purwokerto, Jawa Tengah, beredar di Facebook. Dalam empat foto tersebut, memang terlihat sejumlah pria berpakaian dan berpeci putih serta berseragam loreng khas Banser. Dalam salah satu foto, mereka tampak berada di depan kantor PDIP yang bercat merah dengan spanduk yang memuat foto Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Foto-foto ini beredar setelah sebelumnya menyebar video pembakaran bendera berlogo palu arit dan bendera PDIP dalam demonstrasi yang menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan gedung DPR pada 24 Juni 2020.
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, keempat foto itu bukanlah foto-foto FPI dan Banser yang menggeruduk kantor PDIP setelah adanya demonstrasi yang menolak RUU HIP pada 24 Juni lalu. Foto-foto itu merupakan foto-foto saat Banser dan FPI menggeruduk kantor PDIP Banyumas pada 26 Juni 2018. Mereka memprotes tindakan pengurus PDIP Banyumas yang melaporkan sejumlah kiai karena diduga melakukan politik uang berupa pembagian berkat.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah ini foto-foto aksi penolakan RUU HIP di berbagai penjuru Indonesia?
- Benarkah ini foto Titiek Soeharto saat demonstrasi tolak RUU HIP di DPR?
- Benarkah pria di foto ini meninggal akibat bersepeda pakai masker?
- Benarkah ini foto-foto FPI dan Banser yang geruduk kantor PDIP untuk tolak RUU HIP?
- Benarkah Risma sujud ke IDI karena warga Surabaya tak diterima di RSUD dr. Soetomo?
- Benarkah tiga remaja di video ini terkena TikTok Syndrome?
- Benarkah Covid-19 singkatan dari Certificate of Vaccination ID dan konsep new normal bermuatan LGBT?
- Benarkah pembakar bendera PDIP dalam demo RUU HIP adalah simpatisan PDIP yang menyamar?
- Benarkah ini video demo di Amerika saat pandemi Covid-19?
- Benarkah Kapuspen TNI sebut mahasiswa bisa minta didampingi Kodam saat demo?
- Benarkah ini foto-foto Tommy Soeharto saat evaluasi demo tolak RUU HIP?
- Benarkah ini video FKPPI Bandung yang kumpul di Monas untuk tolak RUU HIP?
- Benarkah pria di samping Bung Karno dalam foto ini ayah Rizieq Shihab?
- Benarkah MPR usul Presiden Jokowi pimpin Indonesia hingga 2027?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: