CekFakta #36 Skor Kebebasan Internet Indonesia Turun

Reporter

Angelina Anjar

Senin, 30 Desember 2019 11:53 WIB

Aliansi SAFEnet saat menggelar aksi solidaritas di depan Kementerian Informatika dan Komunikasi di Jl Tanah Merdeka, Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2019. Menurut petisi ini, tindakan pemblokiran yang dilakukan Kominfo malah membuat masyarakat di luar Papua tidak bisa mencari kebenaran peristiwa yang terjad TEMPO/Hilman Fathurrahman W
  • Sebuah organisasi independen internasional merilis laporan yang menyatakan bahwa kebebasan berinternet di Indonesia turun. Laporan itu menyebutkan salah satu penyebab mundurnya kebebasan berinternet di Indonesia adalah maraknya pendengung atau buzzer yang dipekerjakan oleh dua kandidat dalam Pemilihan Presiden 2019.
  • Akhir Oktober 2019, induk perusahaan WhatsApp, Facebook, menggugat sebuah perusahaan Israel yang menciptakan perangkat lunak untuk membobol data di ponsel seseorang. Perangkat lunak mata-mata atau spyware itu biasanya digunakan oleh pemerintah suatu negara untuk mengawasi para pengkritiknya.

Halo, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika membaca skor kebebasan berinternet di Indonesia turun? Mungkin Anda teringat pada pembatasan akses media sosial pada 22 Mei 2019 saat kericuhan meletus dalam demonstrasi yang menentang hasil pemilihan presiden. Mungkin juga Anda teringat pada pemblokiran internet di Papua saat kerusuhan terjadi dalam aksi protes atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Ya, kedua peristiwa itu merupakan penyebab mundurnya kebebasan berinternet di negeri ini selain maraknya buzzer. Namun, selain itu, sebenarnya masih banyak lagi hal yang menyebabkan kebebasan berinternet kita turun.

Apakah Anda menerima nawala edisi 8 November 2019 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

SKOR KEBEBASAN BERINTERNET INDONESIA TURUN

Media sosial memungkinkan kita untuk bersuara atas berbagai hal. Melalui media sosial kita bisa melontarkan berbagai pendapat, termasuk kritik, atas kebijakan pemerintah. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri media sosial juga marak sebagai arena para pendengung atau buzzer. Biasanya, buzzer dipekerjakan seseorang—termasuk politikus—untuk menghalau kritik-kritik yang disuarakan oleh publik. Hal ini mengancam demokrasi, termasuk kebebasan bersuara di dunia maya.

Advertising
Advertising

Fenomena ini terpantau oleh Freedom House, organisasi pengawas independen yang berfokus pada kebebasan dan demokrasi di dunia. Dalam laporannya yang berjudul “Freedom on the Net 2019”, kebebasan berinternet di Indonesia pada 2019 dinyatakan menurun. Skor kebebasan berinternet di Indonesia anjlok menjadi 51 dari skala 100 pada 2019 dari tahun sebelumnya 54 dari skala 100.

Menurut laporan itu, kebebasan berinternet di Indonesia memburuk lantaran pembatasan akses media sosial serta penggunaan konten manipulasi dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Selain itu, para pengkritik kebijakan pemerintah terus mendapat serangan melalui akun media sosial pribadi mereka, bahkan ada yang harus menghadapi tuntutan hukum. Berikut penjelasan dalam laporan “Freedom on the Net 2019” terkait beberapa penyebab turunnya kebebasan berinternet di Indonesia:

Memburuknya kebebasan berinternet ini menyebabkan Freedom House menempatkan Indonesia di antara 33 negara yang kebebasan internetnya turun pada tahun ini. Menurut laporan lembaga tersebut tersebut, penurunan skor kebebasan berinternet terbesar terjadi di Sudan dan Kazakhstan. Selain itu, kebebasan berinternet juga anjlok di Brasil, Bangladesh, dan Zimbabwe.

Turunnya kebebasan berinternet di Sudan, menurut laporan “Freedom on the Net 2019”, disebabkan oleh pemblokiran media sosial menyusul gelombang demonstrasi yang mendesak penggulingan Presiden Omar al-Bashir. Tak tanggung-tanggung, pemblokiran itu terjadi selama dua bulan, sejak 21 Desember 2018 hingga 26 Februari 2019. Pemerintah Sudan juga menempuh berbagai cara untuk mencegah mobilisasi demonstran lewat media sosial, salah satunya dengan melakukan sweeping terhadap ponsel para demonstran.

Skor kebebasan berinternet di Kazakhstan anjlok karena alasan yang serupa dengan Sudan. Mundurnya Presiden Nursultan Nazarbayev pada Maret 2019 dan terpilihnya presiden baru, Kassym-Jomart Yokayev, memicu protes masyarakat Kazakhstan. Untuk meredam demonstrasi itu, pemerintah Kazakhstan membatasi akses internet maupun media sosial. Situs-situs berita independen diblokir dan aktivis serta jurnalis ditahan lantaran aktivitas mereka di media sosial dianggap berbahaya.

Semakin Terancam oleh RUU Keamanan Siber

Rancangan Undang-Undang Keamanan Siber merupakan salah satu RUU yang sedang digodok oleh DPR. RUU ini disinyalir dapat menjadi ancaman bagi kebebasan berinternet. Meskipun dalam rancangan itu disebutkan bahwa penyelenggaraan keamanan siber mesti menghormati HAM, menurut Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar, RUU ini kental dengan nuansa pembatasan. Hal itu terlihat dari pemberian wewenang yang begitu besar terhadap Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memblokir konten atau aplikasi.

RUU Keamanan Siber menyatakan pemblokiran bisa dilakukan terhadap konten atau aplikasi yang berbahaya. Tapi, menurut Direktur Imparsial, Al Araf, tidak ada definisi dan kriteria yang jelas mengenai bahaya yang dimaksud. Di sisi lain, pemblokiran sudah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sehingga kalau dibiarkan ketentuan mengenai ini — termasuk kewenangan antar kementerian atau lembaganya —- akan tumpang tindih.

Menurut Ketua Internet Development Institute, Svaradiva Aurdea Devi, tampak dalam RUU itu keinginan untuk menjadikan BSSN sebagai lembaga super yang memiliki kewenangan eksekutif, legislatif, sekaligus yudikatif. Padahal, selama ini, fungsi keamanan siber sudah dijalankan oleh TNI, Polri, Badan Intelijen Negara, dan pihak swasta, seperti penyedia jasa internet dan pusat data, perusahaan antivirus, serta kelompok masyarakat sipil.

Jika RUU Keamanan Siber dipaksakan untuk disahkan, kata Svaradiva, perkembangan teknologi keamanan siber akan terhambat karena penelitian, pengembangan produk dan prototipe, izin, sertifikasi, serta akreditasi dikontrol oleh satu lembaga tanpa adanya pengawas. “Investor akan malas berinvestasi karena izin semakin banyak. Berbagai startup pun akan waswas karena ketidakjelasan tolok ukur konten yang melanggar UU,” ujarnya.

Pada 2018, International Telecommunication Union membuat panduan strategi keamanan siber nasional, salah satunya kerja sama pemerintah dan sektor swasta. DPR harus paham bahwa internet berkembang hingga semaju ini karena memiliki tiga DNA, yakni: mengedepankan proses partisipatif; memprioritaskan stabilitas dan integritas sistem; serta menjaga sifat terbuka dari teknologi yang mendasarinya. Seyogianya mereka tidak bersikukuh mengesahkan RUU Keamanan Siber yang mengancam kebebasan berinternet.

WHATSAPP GUGAT SPYWARE ISRAEL

Facebook, induk perusahaan WhatsApp, melayangkan gugatan terhadap sebuah firma siber, NSO Group, pada akhir Oktober 2019 lalu. Gugatan itu dilayangkan karena perusahaan asal Israel tersebut menciptakan perangkat lunak mata-mata atau spyware yang memungkinkan kliennya mencuri data dari ponsel seseorang melalui WhatsApp. Lewat panggilan video di aplikasi pesan ini, spyware yang dikenal dengan nama Pegasus itu ditanamkan ke ponsel seseorang. Setelah masuk ke dalam ponsel, spyware tersebut bisa mengambil semua data, baik password, kontak, pesan, lokasi, kalender, maupun rekaman audio dari panggilan di WhatsApp.

- Gugatan Facebook menyatakan bahwa, dalam waktu dua minggu antara April hingga Mei 2019, Pegasus telah digunakan untuk menyerang 1.400 ponsel. Menurut gugatan tersebut, ada sekitar seratus pihak yang menjadi target serangan spyware itu, di antaranya jurnalis, aktivis Hak Asasi Manusia, pengacara, juga oposisi, diplomat, serta pejabat kantor perwakilan negara lain.

- Facebook tidak menuduh pemerintahan negara tertentu. Namun, menurut majalah Forbes, pemerintah Arab Saudi termasuk yang diduga menggunakan Pegasus untuk memata-matai oposisi, termasuk jurnalis senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi, yang terbunuh pada Oktober 2018.

- Lembaga Amnesty International mensinyalir pemerintah Bahrain, Uni Emirat Arab dan Meksiko juga menggunakan Pegasus. Dalam gugatan Facebook, pengguna WhatsApp di ketiga negara itu disebut ikut menjadi korban peretasan spyware tersebut. Amnesty International juga menemukan bahwa serangan Pegasus ditargetkan kepada dua aktivis HAM asal Maroko, Maati Monjib dan Abdessadak El Bouchattaoui.

- Menanggapi gugatan itu, NSO Group menyatakan Pegasus dikembangkan untuk membantu aparat intelijen dan penegak hukum pemerintah yang menjadi kliennya, untuk memerangi terorisme dan kejahatan serius. Dalam pernyataan resminya, NSO Group menulis, “Teknologi ini telah membantu menyelamatkan ribuan nyawa dalam beberapa tahun terakhir.”

- NSO Group menyatakan aplikasi pesan terenkripsi seperti WhatsApp bisa digunakan oleh para pedofil, gembong narkoba dan teroris untuk melanggengkan aktivitas mereka. Menurut mereka, tanpa Pegasus yang bisa menembus enkripsi WhatsApp, penegak hukum bakal menemui hambatan dalam menindak aktivitas-aktivitas kriminal itu.

Lalu, bagaimana cara untuk mengetahui apakah ponsel terserang Pegasus? Menurut pakar keamanan siber Symantec, Domingo Guerra, kita mesti awas dengan selalu mendeteksi perubahan pada ponsel. Daya tahan baterai yang berbeda dari biasanya bisa menjadi tanda bahwa ponsel telah dibobol. “Karena menerima dan mengirim banyak data,” ujar Guerra. Dia menyarankan pengguna ponsel untuk rajin memperbarui WhatsApp ataupun sistem operasi ke versi terbaru.

Berbeda dengan Guerra, pakar keamanan siber Kaspersky Lab, Jay Rosenberg, berpendapat masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap merebaknya spyware itu. Kenapa? Menurut dia, Pegasus merupakan jenis spyware yang sangat mahal, harganya jutaan dolar Amerika Serikat, dan hanya dijual kepada pemerintah. “Kecuali jika Anda merupakan salah satu target pemerintah, Anda baru perlu merasa khawatir,” kata Rosenberg.

WAKTUNYA TRIVIA!

Berikut beberapa kabar soal disinformasi dan upaya menangkalnya pekan ini yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Investigasi BBC mengungkap para pekerja rumah tangga (PRT) Kuwait diperjualbelikan secara ilegal di media sosial. Beberapa transaksi yang ditemukan BBC terjadi di Instagram. Penjual mempromosikan para PRT itu melalui tagar-tagar tertentu, sementara negosiasi dilakukan melalui pesan pribadi. Terdapat pula transaksi jual-beli PRT Kuwait di aplikasi yang bernama 4Sale. Lewat aplikasi itu, pembeli bisa mencari PRT berdasarkan ras, harga, dan sebagainya.

- Video propaganda Cina tentang demonstrasi Hong Kong viral di YouTube. Video yang berjudul “Who’s behind Hong Kong protests?” itu berisi narasi bahwa agen-agen Amerika Serikat yang memicu aksi tersebut. Hingga kini, video yang diunggah oleh stasiun televisi Cina, China Global Television Network, itu telah ditonton hingga lebih dari 500 ribu kali. Salah satu hal yang membuat video itu viral, menurut data AlgoTransparency, adalah karena algoritma YouTube merekomendasikan video itu enam kali lebih banyak dari video lainnya ketika pengguna mencari “demonstran Hong Kong” pada 24 Agustus 2019.

- Sekelompok pembuat konten YouTube memprotes rencana Komisi Perdagangan Federal AS untuk membuat aturan baru atas video anak-anak di platformnya. Menurut kelompok itu, aturan tersebut akan merugikan mereka secara finansial. Pada September 2019 lalu, komisi mendenda YouTube dan induk perusahaannya, Google, karena melanggar aturan privasi dengan melacak kebiasaan pengguna anak-anak. YouTube pun diminta untuk tidak lagi menjalankan iklan pada video anak-anak.

- Twitter akhirnya membuat kebijakan baru yang melarang iklan politik di platformnya. Ketentuan itu diumumkan oleh CEO Twitter, Jack Dorsey, di akun Twitter pribadinya pada 31 Oktober 2019. Menurut Dorsey, pesan politik dikatakan menjangkau sasaran ketika pengguna memutuskan me-retweet pesan itu atau bahkan mengikuti akun pembuat pesan itu. “Membayar iklan untuk memperoleh jangkauan itu akan meniadakan proses pengambilan keputusan pengguna tadi,” kata Dorsey.

- Facebook mengkonfirmasi bahwa kebijakannya yang memungkinkan politikus menayangkan iklan yang berisi informasi palsu akan diperluas ke Inggris. Perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg itu menyatakan tidak akan mengecek fakta iklan-iklan yang ditayangkan oleh partai politik Inggris. Pemeriksaan fakta juga dikecualikan dari iklan ribuan kandidat yang mencalonkan diri dalam pemilihan anggota House of Commons Inggris pada Desember 2019 mendatang.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Awal pekan ini, lini masa media sosial ramai dengan isu bahwa kerusakan mata penyidik KPK, Novel Baswedan, rekayasa belaka. Isu itu muncul seiring dengan beredarnya video NET yang memperlihatkan Novel tengah berada di atas kursi roda. Kondisi Novel dalam video itulah yang membuat para penyebar isu tadi melontarkan pertanyaan: mengapa mata Novel saat itu tidak berselaput putih dan mengapa kulit wajah Novel tidak rusak.

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video NET itu diunggah pada 20 April 2017 atau sembilan hari setelah peristiwa penyiraman air keras terhadap Novel pada 11 April 2017. Saat itu, menurut laporan medis Novel, ia sudah berada di Singapura untuk menjalani perawatan. Berdasarkan laporan itu, terdapat luka bakar ringan dan sedang pada wajah, hidung, dan kelopak mata Novel. Sedangkan kedua mata Novel cedera parah.

Saat dihubungi Tempo, Novel mengatakan bahwa video NET itu diambil sebelum ia menjalani operasi osteo odonto-keratoprosthesis (OOKP) pada mata kirinya. Sebelum operasi, menurut dia, matanya memang tidak terlihat merah, tapi bening seperti kelereng. "Saat itu, bila orang melihat mata kiri saya, seperti tidak sakit,” ujarnya. Padahal, banyak sel-sel mata Novel yang sebenarnya sudah mati. Fungsi penglihatan Novel pun sudah sangat berkurang.

Bagaimana temuan Tempo terkait mata Novel yang tidak berselaput putih dalam video NET itu? Bagaimana pula hasil penelusuran Tempo mengenai wajah Novel yang tidak rusak? Simak penjelasan lengkapnya di sini.

Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta atas beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Berita terkait

Cara Buat Nada Dering WA Sebut Nama Tanpa Aplikasi Tambahan

1 jam lalu

Cara Buat Nada Dering WA Sebut Nama Tanpa Aplikasi Tambahan

Nada dering WA bisa dicustom sesuai keinginan. Berikut cara buat nada dering WA sebut nama yang bisa Anda lakukan tanpa tambahan aplikasi.

Baca Selengkapnya

Partai Demokrat AS Kirim Surat ke Joe Biden, Minta Cegah Serangan Israel di Rafah

2 jam lalu

Partai Demokrat AS Kirim Surat ke Joe Biden, Minta Cegah Serangan Israel di Rafah

Puluhan anggota Partai Demokrat AS menyurati pemerintahan Presiden Joe Biden untuk mendesak mereka mencegah rencana serangan Israel di Rafah.

Baca Selengkapnya

10 Negara dengan Paket Internet Termurah, Indonesia Nomor Berapa?

2 jam lalu

10 Negara dengan Paket Internet Termurah, Indonesia Nomor Berapa?

Berikut ini deretan negara dengan tarif internet termurah per satu gigabyte, di antaranya Israel dan India yang unggul dengan teknologinya.

Baca Selengkapnya

DPR AS Loloskan RUU Kontroversial soal Definisi Anti-Semitisme, Apa Maksudnya?

2 jam lalu

DPR AS Loloskan RUU Kontroversial soal Definisi Anti-Semitisme, Apa Maksudnya?

Kelompok HAM memperingatkan bahwa definisi baru Anti-Semitisme tersebut dapat semakin membatasi kebebasan berpendapat.

Baca Selengkapnya

Amnesty International Temukan Pasokan Teknologi Pengawasan dan Spyware Masif ke Indonesia

2 jam lalu

Amnesty International Temukan Pasokan Teknologi Pengawasan dan Spyware Masif ke Indonesia

Amnesty International menyiarkan temuan adanya jaringan ekspor spyware dan pengawasan ke Indonesia.

Baca Selengkapnya

Blinken Sebut AS Tak Dukung Serangan Israel ke Rafah

3 jam lalu

Blinken Sebut AS Tak Dukung Serangan Israel ke Rafah

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan dia belum melihat rencana efektif dari pihak Israel untuk melindungi warga sipil sebelum operasi militer di Rafah.

Baca Selengkapnya

Kolombia Putuskan Hubungan dengan Israel karena Genosida di Gaza

5 jam lalu

Kolombia Putuskan Hubungan dengan Israel karena Genosida di Gaza

Presiden Gustavo Petro mengumumkan Kolombia akan memutus hubungan diplomatik dengan Israel atas genosida di Gaza.

Baca Selengkapnya

Filmografi Gal Gadot Tak Hanya Wonder Woman, Bikin Film Kontroversi Bearing Witness To the October 7th Massacre

5 jam lalu

Filmografi Gal Gadot Tak Hanya Wonder Woman, Bikin Film Kontroversi Bearing Witness To the October 7th Massacre

Gal Gadot aktor asal Israel yang sukses berkiprah dalam dunia industri hiburan Hollywood. Berikut beberapa filmnya, bukan hanya Wonder Woman.

Baca Selengkapnya

39 Tahun Gal Gadot, Pemeran Film Wonder Woman yang Bela Israel Asal Negaranya

6 jam lalu

39 Tahun Gal Gadot, Pemeran Film Wonder Woman yang Bela Israel Asal Negaranya

Artis Hollywood Gal Gadot belakangan menuai banyak sorotan karena aksi bela Israel yang dilakukannya. Ini perjalanan karier pemeran film Wonder Woman.

Baca Selengkapnya

Menlu AS Cek Bantuan ke Gaza Diiringi Suara Tembakan Tank

7 jam lalu

Menlu AS Cek Bantuan ke Gaza Diiringi Suara Tembakan Tank

Menlu AS Antony Blinken mengunjungi pintu masuk bantuan ke Gaza didampingi para pejabat Israel.

Baca Selengkapnya