TEMPO.CO, Jakarta - Debirokratisasi menjadi ciri pemerintahan Joko Widodo. Regulasi dan aturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak terbit dengan segera. Aturan-aturan lama yang mandek di masa lalu, meluncur secepat kilat. Seperti Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang terbit pertengahan bulan lalu.
Gagasan membuat aturan ini sudah ada sejak lama, sejak awal 2000-an, terutama setelah Menteri Perdagangan tak lagi membolehkan ekspor pasir laut. Penambangan pasir laut bahkan terlarang dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada 2007. Timbul-tenggelam dan tarik-ulur, di era periode kedua pemerintahan Jokowi aturan itu akhirnya diketok.
Judulnya berubah. Dulu namanya pemanfaatan pasir laut. Jika nama ini dipertahankan penolakan memang akan muncul segera. Dulu kenapa penambangan dan ekspor pasir laut dilarang karena daya rusaknya sangat masif terhadap ekosistem laut dan perairan kita. Apalagi tata kelolanya yang buruk membuat mereka yang bertanggung jawab bisa lolos dari hukum.
Tapi perubahan nama aturan tak mengubah substansinya. Meski namanya pemanfaatan sedimen laut, pengaturnya tetap tentang pasir laut untuk pembangunan infrastruktur, untuk reklamasi, bahkan bisa diekspor. Apa dampaknya?
Kita akan kembali ke masa dua dekade lalu. Padahal laut dan perairan kita menjadi andalan mitigasi krisis iklim. Mangrove dan padang lamun menjadi ekosistem karbon biru yang menyerap emisi gas rumah kaca lima kali lipat dibanding penyerapan karbon hutan daratan. Jika dikeruk, karbon yang terperangkap di sana tentu akan menguap ke atmosfer dan memicu pemanasan global kian parah.
Agaknya tinjauan ilmiah ini tak menjadi pertimbangan pembuatan PP 26/2023. Jangankan hal-hal gaib semacam gas rumah kaca dan pemanasan global, data-data dasar tentang sedimentasi, luas, potensi penambangan pasir belum ada data meyakinkan. Lalu siapa yang akan untung dengan regulasi baru ini?
Kami mengupas hal-hal di balik penerbitan PP itu. Dari tarik ulur, pemain besar yang berkecimpung dalam bisnis ini, hingga dampak buruknya bagi lingkungan. Maka debirokratisasi tak selamanya mendukung pemerintahan bersih. Apalagi jika debirokratisasi itu hanya untuk aturan-aturan menguntungkan penguasa dan para pendukungnya belaka.
Selain soal penambangan pasir laut, kami juga mengupas nasib Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Dengan pelbagai kasus hukum yang menjegal politikus partai pendukungnya, ia kemungkinan kehilangan dukungan partai yang menjadi tiketnya maju dalam pemilihan. Juga reportase Festival Film Cannes di Prancis yang bisa menjadi jeda bagi Anda dari hiruk-pikuk manuver politik hari-hari ini.
Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Redaktur Eksekutif
Bahaya Ekspor Pasir Laut
Tak hanya kepada lingkungan, juga kepada tata kelola pemerintahan yang baik.
Jejak Pegasus di Indonesia
Alat sadap buatan Israel ini kabarnya sudah dipakai di Indonesia. Buat apa?
Koalisi Anies Baswedan yang Terjepit
Bisakah ia maju dalam pemilihan presiden jika tak cukup tiket ambang batas pencalonan?
Realistiskah Proposal Prabowo?
Menteri Pertahanan ini mengajukan proposal damai kepada Ukraina. Selain mirip proposal Cina, gagasan Prabowo Subianto itu tak sesuai dengan sikap politik Indonesia yang mengecam invasi Rusia.