TEMPO.CO, Jakarta - Setidaknya butuh dua jam bagi pengemudi truk pengangkut sampat agar bisa masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Cipayung di Kota Depok, Jawa Barat. Sejak 2018, timbunan sampah di tempat pembuangan seluas 11,2 hektare itu sudah melebihi daya tampungnya. Kapasitas dua kolam penampung sampah sebesar 1,3 juta meter kubik kini sudah terisi 2,5 juta meter kubik sampah. Setiap hari, masuk 900 ton sampah ke TPA itu. Akibatnya, gunung sampah sudah setinggi 25 meter dan rawan longsor.
Longsor terakhir terjadi pada 19 Oktober tahun lalu yang membuat TPA Cipayung terendam banjir. Sampah pun menumpuk di kota karena TPA ditutup sementara. Kejadian longsor itu mengingatkan pada Tragedi TPA Leuwigajah di Kota Cimahi, Jawa Barat. Kala itu, dinihari 21 Februari 2005, gunung sampah sepanjang 200 meter dan tinggi 60 meter longsor dan menimpa dua kampung. Sebanyak 157 orang meninggal dunia tertimbun sampah. Tanggal hari itu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional karena pertama dalam sejarah seratusan jiwa meninggal tertimbun sampah.
Kejadian longsor sampah TPA Leuwigajah tak membuat perubahan signifikan dalam mengelola sampah. Hampir seluruh kota dan kabupaten di Indonesia masih mengoperasikan TPA secara terbuka (open dumping) karena dana pengelolaan sampah hanya 0,6 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana operasional pengolahan sampah itu hanya 20 ribu rupiah per ton. Padahal, biaya operasioanl pengolahan sampah yang ideal Rp 130 ribu-900 ribu per ton.
Pemerintah kota dan kabupaten yang masih mengoperasikan TPA open dumping tidak mendapatkan sanksi. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, TPA open dumping harus ditutup paling lambat pada 2014. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang seharusnya mengawasi dan membina pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. KLHK malah menyatakan izin pembangunan TPA baru masih akan diberikan hingga 2030.
Pembangunan TPA regional yang dipakai bersama beberapa kota dan kabupaten pun tidak berjalan mulus. Contohnya, pembanguan dua Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka di Kabupaten Bandung dan Lulut Nambo di Kabupaten Bogor. Penyelesaian pembangunan dua proyek tersebut molor karena terkendala finansial. Total investasi TPPAS Lulut Nambo yang memiliki fasilitas mengolahan sampah menjadi RDF (refuse derived fuel) yang semula Rp 600 miliar membengkak menjadi Rp 800 miliar.
Pengolahan sampah menjadi RDF atau bahan bakar jumputan padat digadang-gadang pemerintah sebagai solusi alternatif mengurangi timbunan sampah di TPA. Beberapa TPA sudah memiliki fasilitas RDF, seperti TPA Jabon dan Banjarbendo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang di Kota Bekasi, Jawa Barat. Namun, kapasitas produksi yang masih kecil dan menimbulkan permasalahan baru membuat pengolahan sampah menjadi RDF dianggap sebagai solusi semu.
Lalu bagaimana? Kami menganalisis manajemen sampah di edisi ini. Selamat membaca.
Dody Hidayat
Redaktur Utama
Seribu Cara Mengolah Sampah
Hampir semua tempat pemrosesan tak cukup menampung sampah. Apa solusinya?
Bahan Bakar Sampah Tak Menyelesaikan Masalah
Sejumlah daerah menjadikan teknologi RDF sebagai solusi alternatif pengurangan sampah. Dianggap solusi semu.
Apa itu Fasilitas RDF
KOLOM
Solusi Menangani Sampah
Sampah merugikan secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Solusi menanganinya.
OPINI
Tak Cukup Menyebut Darurat Sampah
Indonesia darurat sampah. Perlu strategi komprehensif dari hulu ke hilir untuk menanganinya.