Jakarta--Menjelang pemerintahannya berakhir, Presiden Jokowi buru-buru menuntaskan janji kampanyenya pada 2014. Yaitu, menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat masa lalu. Alih-alih menugaskan Kejaksaan Agung untuk menyeret para pelaku kejahatan kemanusiaan ke pengadilan, Jokowi memilih penyelesaian non-yudisial.
Pada Rabu, 11 Januari lalu, ia mengakui dan menyesalkan 12 pelanggaran HAM berat. Sikap Jokowi itu menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama para korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya. Setelah delapan tahun lebih berkuasa, Jokowi malah memilih jalur non- yudisial. Pun, kepala negara tak menyampaikan maaf kepada para korban dan keluarganya.
Sepanjang pekan lalu, kami mewawancarai anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu. Dari mereka kami mendapat informasi bahwa Jokowi juga sempat ragu menyampaikan penyesalannya. Namun ia akhirnya setuju memenuhi sebelas rekomendasi yang dibikin oleh Tim PPHAM.
Ihwal permintaan maaf ini juga menjadi perdebatan panjang di Tim PPHAM. Sebagian menganggap bahwa Presiden cukup menyampaikan penyesalan dan tak perlu meminta maaf. Sejumlah narasumber yang diajak berdiskusi oleh anggota Tim PPHAM pun juga menolak jika negara menyampaikan maaf. Terutama yang terkait dengan pembantaian 1965-1966.
Penyelesaian non-yudisial, tanpa pengungkapan kebenaran dan peran pelakunya, tentu sulit menghadirkan rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Mereka pun cemas keputusan Jokowi akan memberi legitimasi bahwa negara telah menuntaskan pelanggaran HAM berat. Bagi mereka, keadilan hanya tercipta jika pelaku mendapat hukuman setimpal di pengadilan.
Niat Presiden untuk tidak menempuh jalur pengadilan sesungguhnya bisa dibaca sejak periode pertama pemerintahannya. Ia dikelilingi oleh para purnawirawan yang namanya kerap disebut dalam berbagai pelanggaran HAM berat. Hingga sekarang, baru kasus Paniai yang dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. Satu-satunya terdakwa divonis bebas.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tentu harus mampu memberi keadilan bagi korban dan keluarganya. Ia tak bisa ditukar oleh pemberian kompensasi atau charity. Tanpa pemenuhan rasa keadilan, janji kampanye Presiden hanya basa-basi belaka. Selamat membaca.
Stefanus Pramono
Redaktur Pelaksana
----------
NASIONAL
Menabur Garam Menolak Maaf
Presiden Jokowi akhirnya memilih jalur non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Kenapa ia menolak minta maaf dan ogah menempuh jalur pengadilan?
Payung Hitam hingga Pengadilan
Korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya mengecam sikap Presiden Jokowi. Tetap menuntut pelaku kejahatan diseret ke pengadilan.
Kolonel Renta di Ruang Sidang
Sejumlah negara mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di pengadilan. Ada mekanisme yang jelas untuk merehabilitasi korban dan keluarganya.
OPINI
Lubang Penyelesaian Kasus HAM Berat
Presiden Jokowi terburu-buru menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Tak menghapus noda kental kejahatan kemanusiaan.
Wawancara Tempo dengan Ketua Tim PPHAM Makarim Wibisono terkait penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu.
WAWANCARA
Makarim Wibisono
Bagaimana seharusnya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat?
----------
HUKUM
Alibi Cerita Magelang
Jaksa meyakini istri Ferdi Sambo, Putri Candrawathi, berselingkuh dengan Brigadir Yosua. Diduga kuat menjadi motif pembunuhan.
Vonis Sambo di Luar Pengadilan
Video pernyataan hakim yang mengadili perkara Ferdy Sambo beredar ke mana-mana. Perekamnya dekat dengan petinggi kepolisian. Untuk apa?
OPINI
Waspadai Mafia Peradilan Kasus Sambo
Pernyataan hakim perkara Sambo bisa memantik prasangka publik soal permainan mafia peradilan. Penegak hukum perlu memeriksa perekam video.