TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia dikaruniai kekayaan alam melimpah. Setelah kayu, minyak bumi, batu bara, minyak sawit, kini nikel. Dunia sedang membutuhkan energi baru dan terbarukan. Salah satunya teknologi baterai yang lebih sedikit melepaskan emisi gas rumah kaca ketika dipakai, dibanding minyak, gas, apalagi batu bara. Bahan baku baterai adalah bijih nikel.
Dengan komoditas-komoditas sumber daya alam itu, dalam dua tahun ekonomi Indonesia terselamatkan. Setidaknya, ketika krisis global akibat pandemi dan perang Rusia-Ukraina, neraca perdagangan Indonesia malah surplus. Sejak 2020, nilai ekspor Indonesia tercatat 29 kali lebih besar dibanding nilai impor. Penolong neraca perdagangan itu adalah komoditas nonmigas seperti batu bara, minyak sawit, termasuk nikel.
Akibat neraca perdagangan surplus, setidaknya nilai tukar rupiah kita tidak terus tertekan. Juga, seharusnya, nilai ekspor itu tecermin dalam nilai cadangan devisa kita. Tapi, dibandingkan 2021, nilai cadangan devisa 2022 justru turun sekitar US$ 8 miliar. Apa gerangan yang terjadi? Siapa penikmat nilai ekspor besar itu?
Berbasis angka-angka itu, kami menelusuri ke lapangan, ke pusat nikel Indonesia, yakni Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Di sini, puluhan perusahaan pertambangan nikel mengeruk emas baru Indonesia itu secara masif. Tapi mengejutkan bahwa mereka tak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
Para penambang itu mengklaim mereka menambang di area penggunaan lain yang tak perlu izin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tapi ketika dianalisis lewat citra satelit, lokasi tambang mereka di kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Artinya, penambang mestinya punya izin.
Menambang di dalam hutan juga masuk akal karena kandungan nikel paling banyak di sini. Kadarnya 1,8 persen ke atas. Artinya, tiap satu ton tanah yang dikeruk mengandung 18 kilogram bijih nikel. Selama tiga tahun terakhir 5.000 hektare hutan dikeruk nikelnya. Deforestasi masif.
Maka, jika nikel akan mencegah krisis iklim, penambangannya oksimoron karena membabat hutan sama juga menciptakan penyebab krisis iklim: tak ada lagi penyerap emisi karbon. Jika nilai ekspor tak dinikmati Indonesia dalam cadangan devisa lalu lingkungan juga rusak, nilai apa yang kita dapatkan dari anugerah sumber daya ala mini?
Kita mesti belajar dari Amerika Serikat abad 19 ketika kekayaan alam dan nilai ekonomi dinikmati oleh para “robber baron”, orang kaya yang bisa mengakali hukum. Jangan sampai Indonesia lebih parah karena semua pelanggaran itu terlindungi oleh Peraturan Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja yang mengedepankan sanksi administratif ketimbang pidana.
Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Redaktur Eksekutif
Pencahar Nikel Ilegal
Bagaimana perusahaan penambang mengakali nikel ilegal menjadi legal?
Para Elite di Jalan Tambang
Siapa saja elite yang membuka pertambangan tanpa syarat komplet?
Nilai Ekonomi Nikel
Selain menciptakan lapangan kerja baru, nikel menumpas tradisi. Para nelayan berhenti melaut. Bukan karena menjadi penambang lebih menjanjikan, tapi laut sudah tumpas akibat limbah penambangan masuk ke teluk.
Tangkapan layar video memperlihatkan bentrok antara pekerja Indonesia dan TKA asal Cina di Morowali, Sulteng di pabrik peleburan nikel di PT GNI (Reuters).
Bentrok GNI
Mengapa terjadi bentrok pekerja tambang nikel di Morowali? Apa akar masalahnya?
Wawancara Menteri Energi
Pemerintah baru membentuk unit penegakan hukum mencegah penambang ilegal. Tiga tahun ke mana saja?
OPINI
Orang Kuat Nikel Ilegal