Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #181 Hati-hati dengan Untaian Kata Pemantik Emosi

Reporter

image-gnews
Ilustrasi hoax atau hoaks. shutterstock.com
Ilustrasi hoax atau hoaks. shutterstock.com
Iklan

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Taktik licik yang biasa digunakan oleh penebar mis/disinformasi adalah bahasa yang memantik emosi. Kata-kata yang memancing amarah maupun ketakutan sengaja dipilih agar si pembaca segera bertindak mengajak orang lain tanpa berpikir jernih.

Sebelum Anda memutuskan meneruskan informasi tersebut, mari mempelajari taktik satu ini melalui Prebunking Series bagian 3 oleh Tim Cek Fakta Tempo.

Dalam nawala ini pula, Tempo telah memeriksa pula sejumlah klaim dan menayangkan hasil pemeriksaan terhadap berbagai klaim tadi di kanal Cek Fakta Tempo. Pekan ini, aneka klaim yang beredar memiliki isu yang sangat beragam, mulai dari isu politik, sosial dan kesehatan.

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Bagian ini ditulis oleh Artika Rachmi Farmita dari Tim Cek Fakta Tempo

Prebunking series (3)
Hati-hati dengan Untaian Kata Pemantik Emosi 

Emosi adalah alat persuasi yang kuat. Penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan kata-kata emosional, terutama yang membangkitkan emosi negatif seperti ketakutan atau kemarahan, meningkatkan potensi viral konten media sosial. Penggunaan kata-kata emosional bernuansa negatif untuk memanipulasi ini biasa disebut sebagai fearmongering (menyebar ketakutan).

Ada dua kunci agar informasi mengandung bahasa emosional. Pertama, dengan membumbui foto atau video dengan kata-kata yang bermuatan emosional. Kedua, pilihan kata yang niscaya membangkitkan emosi secara kuat dan negatif. 

Kata-kata yang bermuatan negatif dan emosional, digunakan agar menarik perhatian kita untuk membaca. Bahkan, supaya kita turut menyebarkan konten misinformasi tersebut. Taktik penggunaan bahasa emosional ini bisa Anda rasakan dalam beberapa unggahan hoaks yang dibongkar oleh Tim Cek Fakta Tempo baru-baru ini:

“Selamat Jalan Putri Candrawathi, Karma Brigadir J Menjemputmu”

Tangkapan layar video yang beredar di Facebook dengan narasi Putri Candrawathi bunuh diri

“Jangan pernah makan ke-4 makanan ini karena dapat menyebabkan kematian secara mendadak”

Lima tahun jadi gubernur, Anies nggak ngapa-ngapain. Heru, penggantinya walau baru beberapa hari telah berhasil menyulap Jakarta jadi semoderen ini. Jauh banget ...jangan emosi”.

“Aslmkm, imbauan utk semua bpk2 dan ibu2 yg ada di grup atau yg di luar grup, kejadian kemarin sore di cibereum. Seorang anak sedang asyik bermain hp disaat hujan deras di sambar petir hingga kritis. Tolong kasih tau anak2 kota agar jngn main hp di saat hjn di manapun berada walau dlm rumah sekalipun. Sayangi klrga kita, mudah2 info ini bermanfaat utk semuanya. Trima ksh. slm mj semua.”

Nah, apakah perasaan Anda berkecamuk usai membacanya? Jika ya, ingatlah untuk berhati-hati. Sebab, kemungkinan ada pihak lain yang memang sengaja mempermainkan emosi Anda.

______________________________________________________________________________

Bagian ini ditulis oleh Safira Amni Rahma dari Tim Magang Merdeka Cek Fakta Tempo

Cara Cerdas Memilah Informasi di Masa Pemilu

Informasi palsu atau hoaks biasanya semakin marak jelang pemilu presiden dan pilkada serentak. Hoaks serta black campaign bertebaran dan tidak bisa dikontrol bila hanya mengandalkan sumbernya. Untuk mengantisipasi paparan hoaks, masyarakat harus bisa memilah informasi mana yang sesuai fakta. Dalam konteks pemilu, mengetahui informasi yang benar ini penting karena akan menentukan siapa pilihan kita nantinya.

Penelitian Shin dan Thorson yang dipublikasi tahun 2017 berjudul “Partisan Selective Sharing: The Biased Diffusion of Fact-Checking Messages on Social Media” mengumpulkan data dari para pendukung di Twitter untuk melihat keberpihakan, pola berbagi link, dan pemeriksaan fakta mereka. Hasilnya, partisan secara selektif membagikan pesan pengecekan fakta yang sesuai selera mereka seperti mendukung kandidat mereka sendiri dan merendahkan kandidat partai lawan. Kemudian, partisan pengguna internet juga tertangkap beberapa kali tidak memeriksa fakta untuk berita yang menyesatkan, provokatif, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Padahal nyatanya, sebelum pencoblosan, masyarakat disuguhi dengan berbagai informasi seperti rekam jejak kandidat dan apa yang mereka lakukan untuk kampanye. Informasi itu bisa merupakan informasi yang benar, keliru, atau menyesatkan. Namun, berdasarkan penelitian Garrett yang dipublikasi pada 2009, individu cenderung dimotivasi oleh keinginan untuk membenarkan opini politiknya saat menggunakan media. Motivasi ini menunjukkan bahwa individu tersebut terperangkap dalam konfirmasi bias. Perilaku konfirmasi bias adalah kecenderungan untuk mendukung informasi yang mendukung asumsi dan pemikiran awal seseorang daripada menilik informasi dengan cara yang lebih ilmiah dan netral.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara itu, algoritma media sosial, misalnya TikTok yang naik daun akhir-akhir ini, akan menyarankan sesuai pertimbangan preferensi pengguna. Preferensi tadi berdasarkan interaksi unggahan seperti disukai, dibagikan, komentar, ataupun mengikuti akun. Ini akan menjadi sangkar tersendiri bagi simpatisan yang merupakan calon pemilih.

Di era di mana calon pemilih merupakan pengguna internet, terdapat cara untuk memilih dengan bijak dan meminimalisir subjektivitas ketika menilai kandidat pemilu, baik calon presiden maupun anggota legislatif.

Sebuah metode dari Karl Raimund Popper, yakni metode falsifikasi merupakan koreksi dari metode ilmiah yang berkembang sebelumnya, yakni verifikasi. 

Prinsip verifikasi sekadar mengumpulkan fakta-fakta yang sesuai dengan apa yang diyakini sebelumnya. Bagi Popper, jika hanya ini yang digunakan, justru mengantarkan kepada kesimpulan yang subjektif dan kesalahan yang fatal. Verifikasi serupa dengan cara yang ditempuh simpatisan-simpatisan politikus, yaitu mencari bahan atau informasi yang mendukung kehebatan jagoannya. Sebaliknya juga terjadi, simpatisan tersebut akan mudah membenarkan informasi yang menilai buruk lawan dari jagoannya.

Sementara, untuk menilai secara objektif selain mencari kebenaran sebuah informasi adalah prinsip falsifikasi yaitu mencari fakta yang kontra dari apa yang menjadi keyakinan awal.

Dengan falsifikasi, maka fanatisme akan berkurang karena masing-masing partisan akan menemukan poin cela dan manis dari masing-masing kandidat dengan lebih fair. Maka, dari bobot plus dan minus itu, simpatisan yang juga calon pemilih dapat menimbang dengan certmar mana kandidat yang lebih baik untuk dipilih.

Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo Media Lab

Waktunya Trivia!

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini yang mungkin luput dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

Instagram sempat down dan pengikutnya berkurang. Ramai kabar aplikasi Instagram mengalami masalah di Indonesia pada Senin malam, 31 Oktober 2022. Pengguna mengeluh tidak bisa masuk ke akun miliknya, serta ada yang mengeluh jumlah pengikut turun drastis. Pemilik akun mengeluh di Twitter yang membuat tagar instagram down menjadi trending. Berdasarkan pantauan di Downdetector, keluhan meningkat tajam sekitar pukul 20.00 WIB kemudian bergerak turun.

Logo Instagram. Kredit: TechCrunch

Perusahaan media sosial telah mengumumkan rencana untuk menangani informasi yang salah dalam pemilihan paruh waktu 2022, tetapi perusahaan bervariasi dalam pendekatan dan efektivitasnya. Muncul desakan kepada para ahli di media sosial untuk menilai seberapa siap Facebook, TikTok, Twitter, dan YouTube untuk menangani tugas tersebut.

Periksa Fakta Sepekan Ini

Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial memiliki isu yang sangat beragam, mulai dari isu politik, sosial dan kesehatan. Buka tautannya ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini. Ingin mengecek fakta dari informasi atau klaim yang anda terima? Hubungi ChatBot kami.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Telegram

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Definisi Kesehatan Mental Menurut Psikolog, Perlu Dimiliki Setiap Orang

1 hari lalu

Ilustrasi wanita bahagia. Unsplash.com
Definisi Kesehatan Mental Menurut Psikolog, Perlu Dimiliki Setiap Orang

Kesehatan mental lebih dari sekadar gangguan atau kecacatan mental yang diderita seseorang. Psikolog beri penjelasan.


CekFakta #255 5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima

6 hari lalu

Ilustrasi internet. (abc.net.au)
CekFakta #255 5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima

5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima


CekFakta #254 Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google

13 hari lalu

Logo Google. REUTERS
CekFakta #254 Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google

Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google


Perempuan Lebih Rentan Terserang Burnout, Berikut Saran Psikoterapis

13 hari lalu

Ilustrasi perempuan alami social burnout. Foto: Freepik.com/Jcomp
Perempuan Lebih Rentan Terserang Burnout, Berikut Saran Psikoterapis

Perempuan disebut lebih rentan terserang burnout. Psikoterapis membagi tips untuk meredakannya.


CekFakta #253 CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup

20 hari lalu

Ilustrasi hoaks atau fake news. Shutterstock
CekFakta #253 CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup

CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup


4 Dampak Buruk Kecanduan pada Kognitif Anak

24 hari lalu

Ilustrasi video game. Sumber: Korea e-Sports Association via Facebook/asiaone.com
4 Dampak Buruk Kecanduan pada Kognitif Anak

Kecanduan game atau media sosial sangat buruk terhadap kemampuan kognitif anak. Berikut empat dampak jeleknya.


Psikiater Ungkap Penyebab Remaja Rentan Alami Kecanduan

24 hari lalu

Ilustrasi livestreaming game. Foto : EV
Psikiater Ungkap Penyebab Remaja Rentan Alami Kecanduan

Remaja rentan mengalami kecanduan karena kondisi perkembangan otak yang belum sempurna atau matang. Simak penjelasannya.


CekFakta #252 Menyelami Kontroversi Hasil Pencarian TikTok dalam Menyebarkan Hoaks

26 hari lalu

Logo TikTok terlihat di smartphone di depan logo ByteDance yang ditampilkan dalam ilustrasi yang diambil pada 27 November 2019. [REUTERS / Dado Ruvic / Illustration / File Photo]
CekFakta #252 Menyelami Kontroversi Hasil Pencarian TikTok dalam Menyebarkan Hoaks

TikTok disorot sebagai sarang penyebaran misinformasi maupun disinformasi.


Dituduh Bikin Sepatu Bergambar Bendera Israel, Ini Kata Nike

33 hari lalu

Foto tangkapan layar video hoaks tentang sepatu Nike buat sepatu bergambar bendera Israel, 15 Maret 2024. (Reuters)
Dituduh Bikin Sepatu Bergambar Bendera Israel, Ini Kata Nike

Sebuah video memperlihatkan sepasang sepatu Nike bergambar bendera Israel menjadi viral disertai seruan untuk memboikot produsen alat olahraga itu.


CekFakta #251 Yang Harus Diteliti Pada Website Saat Mencari Kebenaran Informasi

34 hari lalu

Ilustrasi wanita sedang browsing internet. Pixabay.com
CekFakta #251 Yang Harus Diteliti Pada Website Saat Mencari Kebenaran Informasi

Yang Harus Diteliti Pada Website Saat Mencari Kebenaran Informasi