TEMPO.CO, Jakarta - Sampah plastik telah menjadi momok lingkungan kita. Menurut kajian Pew Charitable Trusts dan Systemiq pada 2019, jika tanpa tindakan apa pun sampah plastik ke laut akan hampir tiga kali lipat jumlahnya pada 2040, menjadi 29 juta ton per tahun atau setara dengan 50 kilogram plastik untuk setiap meter garis pantai di seluruh dunia.
Untuk mencegah prediksi itu terjadi, Majelis Lingkungan Hidup PBB dalam sidang ke-5 di Nairobi, Kenya, pada 2 Maret 2022, pun menyepakati untuk mengakhiri polusi plastik. Sidang ini dihadiri oleh perwakilan 175 negara. Indonesia termasuk di dalamnya. Majelis menyepakati pembentukan Komite Negosiasi Antar-pemerintahan yang akan bekerja mulai tahun ini.
Komite itu akan merumuskan draf perjanjian internasional yang mengikat secara hukum soal penanggulangan polusi plastik dalam satu siklus penuh, mulai dari sumbernya sampai ketika berakhir di laut. Draf perjanjian internasional itu diharapkan rampung pada akhir 2024.
Indonesia mau tidak mau mengikuti arus utama dunia ini. Apalagi, polusi plastik Indonesia sudah terbilang ekstrem. Menurut laporan World Economic Forum, polusi plastik di Indonesia akan meningkat menjadi 6,1 juta ton pada 2025 dengan jumlah sampah plastik ke laut mencapai 780 ribu ton.
Berdasarkan audit merek oleh gerakan Pawai Bebas Plastik dengan melakukan aksi bersih pantai di 11 pantai pada 10 provinsi sepanjang Juni lalu, kemasan plastik sekali pakai merupakan jenis sampah yang paling banyak ditemukan di laut. Jumlahnya 79,7 persen dari total sampah plastik.
Kemasan sekali pakai atau saset sangat sulit terurai oleh proses alam karena terdiri atas banyak lapisan. Tiap lapisan merupakan jenis plastik yang berbeda. Jenis kemasan ini menjadi favorit produsen barang konsumsi sehari-hari di Asia Tenggara. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, menyebutkan produsen harus bertanggung jawab atas sampah produk atau kemasan yang tidak bisa atau sulit terurai oleh proses alam.
Ketiadaan sanksi atau lemahnya penegakan hukum ini yang membuat pemberantasan sampah plastik di Indonesia tak ke mana-mana. Para produsen barang konsumsi pun tidak membuka peta jalan pengurangan sampah mereka, meski diwajibkan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 tahun 2019.
Dalam aturan itu, pada 2029, produsen plastik dan barang konsumsi harus mengurangi sampah plastik hingga 30 persen. Sampai Mei lalu, baru 33 produsen yang menyampaikan peta jalan pengurangan plastik kemasan produk mereka. Padahal, menurut data Kementerian Perindustrian, jumlah perusahaan manufaktur skala besar dan menengah pada 2021 mencapai 29 ribu.
Di tengah usaha mitigasi krisis iklim, aturan hanya jadi macan kertas. Tanpa penegakan hukum, sampah akan menjadi momok lingkungan dan menggagalkan program pemerintah sendiri. Jika karena alasan ekonomi pemerintah dan swasta ogah-ogahan menangani limbah, sudah saatnya konsumen bergerak menyetop konsumsi komoditas yang mengandung plastik. Keputusan ada di tangan Anda.
Dody Hidayat
Redaktur Utama
OPINI
Akhiri Polusi Plastik Sekali Pakai
Produksi kemasan plastik sekali pakai sudah saatnya diakhiri. Konsumen sepantasnya memboikot produk yang tak ramah lingkungan.
LINGKUNGAN
Menanti Pengurangan Sampah Plastik dari Hulu
Komitmen pemerintah dan produsen menanggulangi sampah plastik lemah. Belum menyentuh akar persoalan di hulu.
Botol Bekas Jadi Botol Baru
Pelaku usaha daur ulang sampah plastik makin banyak. Bahan baku sedikit.
Apa Itu Kredit Plastik
Pemerintah menggadang-gadang kredit plastik sebagai gagasan baru mengatasi sampah plastik. Tak mengatasi persoalan dari hulu.
OLAHRAGA
Menanti Konsistensi Juara Remaja Asia
Lifter putri Sarah merebut tiga medali emas di Kejuaraan Angkat Besi Remaja dan Junior Asia 2022. Penampilannya belum konsisten.