TEMPO.CO, Jakarta - Kemajuan bioteknologi memungkinkan organ binatang dicangkokkan ke organ manusia, meskipun prosedur ini masih diperdebatkan dari sudut pandang etika. Namun, desakan agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat menyetujui uji klinis transplantasi sel, jaringan atau organ dari satu spesies ke spesies lain atau dikenal dengan xenotransplantation, kian menguat.
Dalam pertemuan komite penasihat FDA, pejabat lembaga, dan para dokter pada akhir Juni lalu, mayoritas hadirin menyetujui uji klinis xenotransplantation.
Perlunya uji klinis xenotransplantation itu juga mendapat dorongan dari beberapa keberhasilan prosedur transplantasi oleh para ahli bedah kepada pasien yang mati otak. Misalnya, pada September dan November 2021, Robert Montgomery, ahli bedah New York University-Langone Transplant Institute melakukan transplantasi ginjal babi rekayasa genetika ke dua pasien yang kedua ginjalnya tidak diangkat. Dalam tes selama 54 jam, ginjal babi itu bisa memproduksi urine.
Paige Porrett dari University of Alabama di Birmingham juga melakukan transplantasi ginjal babi ke pasien yang mati otak yang kedua ginjalnya diangkat dulu. Porrett menemukan ada sedikit reaksi kekebalan dan ginjal babi itu memproduksi urine, tapi tidak memproses kreatinin. Namun, keterbatasan pengetahuan yang diperoleh dari pasien mati otak itu membuat Porrett berargumen pentingnya percobaan pencangkokan organ babi ke pasien hidup.
Akankah berjalan mulus? Akankah ilmu pengetahuan jadi solusi kematian organ-organ manusia? Selamat membaca.
Dody Hidayat
Redaktur Utama
ILMU DAN TEKNOLOGI
Transplantasi Antarspesies
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat berencana mengizinkan xenotransplantation. Apa itu xenotransplantation?
OLAHRAGA
Mengandalkan Atlet Paralimpiade
Indonesia mengandalkan para peraih medali Paralimpiade untuk menjadi juara umum ASEAN Para Games 2022. Medali emas dari atletik, para renang, para tenis meja, para bulu tangkis, dan catur.