TEMPO.CO, Jakarta -Sejak didirikan pertengahan 2015, postur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) aneh. Mengakomodasi jeritan pengusaha sawit karena harga minyak sawit mentah (CPO) anjlok, negara membuat afirmasi dengan menyediakan pasarnya. Agar terkesan mulia, tujuan pendiriannya digabungkan dengan program lain, yakni penurunan emisi karbon yang memicu krisis iklim. Juga: mengayomi petani sawit.
Indonesia membawa proposal menurunkan gas rumah kaca sebanyak 29-41% dari prediksi emisi 2,87 miliar setara CO2 pada 2030 dalam Konferensi Iklim di Paris akhir 2015. Maka lahirlah biodiesel. Ini bahan bakar campuran minyak sawit dengan solar. Karena dari tumbuhan, emisinya memang lebih kecil dibanding solar yang digali dari bumi.
Pemerintah mungkin tak menghitung biodiesel juga memicu emisi gas rumah kaca. Penurunan emisi dari biodiesel terlalu kecil jika dibandingkan emisi dari kehilangan hutan karena berubah menjadi perkebunan. Studi David Gaveau di jurnal PLOS One akhir Maret 2022 menunjukkan kenaikan harga CPO berkorelasi dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada 2001-2019.
Apalagi, proporsi sawit sebagai campuran biodiesel terus dinaikkan. Dari B5, B20, kini B30, dan kabarnya akan menjadi B40, atau 40 persen rasionya, untuk menyerap minyak sawit yang melimpah sekaligus menurunkan emisi. Indonesia sudah menyalip Malaysia dalam hal produksi sawit. Perkebunannya 16,8 juta hektare, terluas di dunia.
Masalahnya, biodiesel sebagai program nasional terancam jika harga CPO sedang naik di pasar global seperti sekarang. Pengusaha lebih senang mengekspornya ketimbang memenuhi pasokan lokal. Itu kenapa minyak goreng langka dan harganya selangit. Untuk mencegah siklus pasar itu, BPDPKS akan menyubsidinya agar pengusaha sawit tetap mau memasoknya untuk produksi biodiesel.
Sumber uangnya dari pungutan tiap ton CPO yang diekspor. Karena disebut pungutan, bukan pajak, ratusan triliun uang ini tak masuk APBN. Dari sini subsidi biodiesel jadi rumit. Subsidi dinikmati oleh pemasok besar yang tak lain korporasi sawit besar. Pengayoman petani terabaikan. Itu pun prosesnya tidak alamiah karena penentuan subsidi di rapat Komite Pengarah BPDPKS yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian melibatkan banyak pengusaha.
Kami coba memetakan konflik kepentingan tersebut di edisi ini. Lebih jauh dari temuan Tempo, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan mensinyalir ada potensi kerugian negara triliunan rupiah. Artinya, ada korupsi.
Liputan ini merupakan seri deforestasi hutan hujan tropis bersama 19 media di Asia, Amazon, dan Kongo yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. Liputan dana sawit bekerja sama dengan Jikalahari, Greenpeace Indonesia, dan Yayasan Auriga Nusantara. Selamat membaca.
Bagja Hidayat
Redaktur Eksekutif
Dana Sawit: Kroni, Emisi, Deforestasi
Bagaimana pengusaha sawit mendapatkan porsi terbesar subsidi biodiesel?
Sejarah BPDPKS
Petani Terlilit Utang
Alih-alih mendapat subsidi, petani sawit malah terjerat utang. Mengapa?
Dampak Biodiesel
Wawancara Direktur Utama BPDPKS
Mengapa subsidi ke pengusaha biodiesel diutamakan?
Wawancara Eksekutif Wilmar Group
Petinggi Wilmar Group-dibalik subsidi biodiesel BPDPKS
OPINI: Subsidi Biodiesel
Bagaimana agar dana BPDPKS lebih transparan sehingga tak hanya menguntungkan pengusaha besar.