Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!
Pemerintah Australia sedang menggodok Undang-undang anti hoaks. Aturan ini nantinya bukan hanya bertujuan memberantas mis/disinformasi melalui media sosial, tetapi juga upaya memperbaiki aturan terkait pencemaran nama baik.
Dalam nawala ini, Tempo telah memeriksa pula sejumlah klaim dan menayangkan hasil pemeriksaan terhadap klaim tadi di kanal Cek Fakta Tempo. Klaim yang mendominasi pekan ini adalah klaim terkait konflik Rusia dan Ukraina.
Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo MediaLab
Baca juga:
Australia Godok UU Anti Hoaks untuk Medsos
Regulator media Australia tengah mengkaji aturan berupa Undang-Undang yang dapat memaksa perusahaan internet seperti Google, Meta dan TikTok memberikan data internal tentang bagaimana mereka menangani hoaks dan disinformasi. Hal ini dilakukan karena Otoritas Komunikasi dan Media Australia (ACMA) mencatat, empat perlima orang dewasa di Australia mendapatkan informasi yang salah tentang coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Laporan ACMA juga menunjukkan, penyebaran hoaks secara sengaja untuk memengaruhi politik atau menabur perselisihan. Facebook bahkan tercatat menghapus empat kampanye disinformasi di Australia selama 2019-2020.
Laporan itu mencatat, kelompok konspirasi sering mendesak orang untuk bergabung ke platform yang memiliki kebijakan moderasi lebih longgar, seperti Telegram. “Jika platform menolak pedoman konten yang ditetapkan industri, maka mereka dapat menghadirkan risiko yang lebih tinggi bagi komunitas Australia,” kata ACMA.
Selain itu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga ingin memperketat aturan bagi perusahaan teknologi. “Platform digital harus bertanggung jawab atas apa yang ada di situs mereka dan mengambil tindakan ketika konten berbahaya atau menyesatkan muncul,” kata Menteri Komunikasi Paul Fletcher dalam pernyataan pers seperti dikutip Reuters.
Menurut laporan dari ABC News Australia, aturan baru ini akan memaksa platform media sosial mengungkap identitas akun yang melakukan troll atau pencemaran nama baik. Kalau tidak, penyedia platform tersebut bisa terancam sanksi denda.
Tidak hanya itu, dengan aturan yang tengah digodok ini, perusahaan penyedia platform media sosial juga harus membuat sistem pengaduan yang mudah digunakan seseorang jika mereka merasa menjadi korban pencemaran nama baik.
Nantinya, jika ada aduan, akun yang memposting konten dengan potensi mencemarkan nama baik akan diminta untuk menghapusnya. Tetapi jika mereka menolak, atau jika korban tertarik untuk melakukan tindakan hukum, platform tersebut kemudian dapat secara legal meminta izin kepada pengunggah untuk mengungkapkan informasi kontak mereka.
“Jika platform tidak bisa mendapat persetujuan pengunggah, maka pemerintah akan mengungkap identitas pengunggah tanpa izin sesuai dengan aturan yang ada,” kata Morisson. Rencananya, rancangan undang-undang “anti troll” tadi selesai pekan ini.
Menanggapi rencana tersebut, DIGI, badan industri Australia yang mewakili Facebook, Google Alphabet, Twitter, dan TikTok, mengatakan bakal mendukung kebijakan Australia. Mereka juga menyatakan sudah menyiapkan sistem untuk memproses keluhan tentang informasi yang salah.
Waktunya Trivia!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini yang mungkin luput dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
WhatsApp menegaskan bahwa informasi yang viral di media sosial tentang cara atau langkah jika ingin meretas akun WhatsApp seseorang tidak benar. Informasi yang dimaksud adalah yang dibagikan di platform TikTok dengan narasi yang disertakan ‘Cara Ngebajak Wa Doi’ dan tersebar secara online. “WhatsApp berkomitmen untuk melindungi privasi pesan pribadi dan keamanan pengguna, sehingga kami tidak akan membangun fitur yang membahayakan komitmen tersebut,” ujar juru bicara WhatsApp di Indonesia, Esther Samboh, pada Kamis 17 Maret 2022.
Ilustrasi WhatsApp. shutterstock.com
Seorang hakim di Pengadilan Tverskoy Moskow telah memutuskan untuk melarang dua aplikasi Meta, Facebook dan Instagram, karena terlibat dalam kegiatan ekstremis, sebagaimana dilaporkan oleh outlet media milik negara Rusia, TASS. Larangan tersebut akan memblokir Meta dari melakukan bisnis atau membuka cabang baru di negara tersebut dan akan berlaku segera. Namun, larangan itu tidak termasuk WhatsApp.
Brasil menghentikan pemblokiran terhadap Telegram hanya dalam dua hari. Sebelumnya, Mahkamah Agung di negara tersebut meminta Telegram diblokir karena dianggap gagal memenuhi perintah pengadilan. Pemblokiran Telegram dicabut setelah aplikasi Telegram berjanji untuk melabeli postingan berisi informasi palsu yang dipromosikan sebagai informasi faktual. Telegram juga berjanji akan memerintahkan karyawannya mengawasi 100 channel Telegram paling populer di Brasil.
Gedung Putih Menyarankan Perusahaan Bisnis Swasta untuk Meningkatkan Pertahanan Siber, karena Mendapat Kabar Rusia Sedang Mempersiapkan Serangan Siber Terhadap AS. Saran tersebut diberikan sebagai bentuk antisipasi. Wakil penasihat keamanan nasional Gedung Putih untuk teknologi siber dan teknologi baru Anne Neuberger menekankan kepada wartawan bahwa tidak ada bukti rencana serangan siber khusus pada saat ini, tetapi perusahaan dan sektor yang diperkirakan menjadi sasaran menerima pengarahan rahasia pekan lalu.
Periksa Fakta Sepekan Ini
Dalam sepekan terakhir, klaim yang beredar di media sosial kembali didominasi oleh klaim terkait konflik Rusia dan Ukraina. Buka tautannya ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Tidak Terbukti, Covid-19 Berasal dari Laboratorium Ukraina
- Menyesatkan, Paten Sistem Cryptocurrency dari Tubuh Manusia Milik Microsoft Terkait dengan Simbol Iblis 666
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: