EKONOMI
8 Februari 2022
Sawit: Seperti Memelihara Anak Macan
Sebetulnya tidak ada rencana kami menulis laporan panjang tentang kenaikan harga minyak goreng sawit. Soal ini sudah banyak dikupas media online dan koran. Kami yang terbit mingguan tentu akan ketinggalan ketika mengangkat isu yang sudah habis beritanya ini. Apa yang baru?
Isu minyak goreng diputuskan rapat redaksi setelah kami mendengar ada seorang narasumber yang memberitahu bahwa ada yang tak beres dalam subsidi komoditas ini. Ya, pemerintah berusaha menurunkan harga minyak goreng dengan menyuntikkan subsidi. Selisih harga acuan keekonomian dengan harga eceran tertinggi minyak goreng akan ditambal dengan uang publik memakai dana pungutan ekspor sawit. Ini cara yang sama ketika pemerintah menyubsidi biodiesel, yang dinikmati oleh perusahaan sawit.
Berbekal info awal itu, kami membuka lagi kronik geger minyak goreng ini. Kok bisa negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia malah kedodoran mengendalikan harga minyak goreng yang terbuat dari sawit itu?
Seperti biasa, kami menemui beberapa narasumber, meriset, dan mempelajari semuanya. Dari sana kami temukan harga minyak goreng berbanding lurus dengan harga minyak sawit dunia. Selama ini harga minyak goreng lebih jarang menjadi buah mulut—seperti beras yang sering naik dan bikin geger—karena harga sawit relatif stabil, bahkan kerap rendah. Ketika harga sawit melompat-lompat tak terkendali sejak pertengahan 2020 hingga akhir 2021, semua mulai sadar, ada yang “keliru” dalam tata niaga minyak goreng kita.
Di tengah jalan pengumpulan bahan, karena satu lain hal, kami menggeser fokus. Yang mulanya ingin mengorek “main-main” di subsidi, kami belok ke upaya menjawab mengapa minyak goreng naik, bagaimana respons pemerintah, dan lain-lain.
Rupanya sawit ini seperti anak macan. Pemerintah membesarkan anak macan dengan aneka kemudahan: dibela mati-matian, dibikinkan program biodiesel B30, hingga menyubsidinya. Ternyata kebijakan itu membuat harga sawit tak jadi jatuh. Naik terus. Namun, ketika harga tak terkendali, pemerintah seperti lupa narik rem.
Ada minyak goreng yang harganya tergantung sawit. Jika sawit mahal, minyak goreng mengikuti. Pemerintah baru sadar ketika harga minyak goreng naik jauh, membuat rakyatnya mengaduh, baru kemudian pemimpinnya mengeluh. Karena pelbagai kebijakan diabaikan penugsaha yang sedang meraup cuan dari harga ekspor sawit. Polisi juga memperingatkan pemakaian pungutan ekspor sawit sebagai sumber subsidi.
Setelah didorong dari sana-sini, baru pemerintah menerapkan kebijakan kunci: mengatur harga sawit dalam negeri, sambil mengancam pengusaha tak bisa ekspor jika tak memberikan jatah untuk pasokan dalam negeri. Efektifkah kebijakan ini? Kami menyajikan lintang-pukang pemerintah meredam harga minyak goreng akibat terlalu murah hati kepada baron-baron sawit.
Selamat membaca.
Khairul Anam
Redaktur
Bumerang Subsidi Sawit
Pemerintah kelimpungan meredam harga minyak goreng. Tiga kebijakan gagal menekannya. Apa saja penyebab harga minyak goreng melambung?
Jurus Kempes Meredam Harga
Untuk meredam harga minyak goreng, pemerintah menerapkan satu harga dan memaksa eksportir sawit memberikan jatah ekspor untuk pasokan dalam negeri. Akankah pengusaha mematuhinya?
Wawancara Menteri Perdagangan
Muhammad Lutfi membuat beberapa kebijakan yang berganti hampir setiap pekan karena gagal meredam harga minyak goreng. Mengapa ia yakin jurus terakhir akan ampuh?
LAPORAN UTAMA PEKAN SEBELUMNYA
Deforestasi Nikel Sulawesi
Pulau Sulawesi mengandung 3 miliar ton cadangan nikel. Pengusaha berlomba-lomba menambangnya dengan menghidupkan izin lama memakai hukum yang lemah. Suap dan permainan izin nikel membuat hutan Sulawesi hancur.
Duet Maut Industri Hijau
Pengusaha Boy Thohir—kakak Menteri BUMN Erick Thohir—menjadi komandan proyek mercusuar kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. Menteri Investasi Luhut Pandjaitan berada di belakangnya.
Bara Batu Bara
Pengusaha sedang menikmati bonanza harga batu bara di pasar luar negeri akibat dunia krisis gas. Mereka abai dengan kewajiban memasok kebutuhan PLN. Pemerintah pun melarang ekspor batu bara, tapi dianulir lagi. Mengapa membuat kebijakan seperti tanpa dasar?