Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #122 Meragukan Proteksi Data PeduliLindungi

image-gnews
Calon penumpang memindai kode batang (QR Code) sebelum menaiki KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin, 6 September 2021. PT KAI Commuter mulai melakukan uji coba penggunaan aplikasi PeduliLindungi bagi pengguna KRL di 11 stasiun. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Calon penumpang memindai kode batang (QR Code) sebelum menaiki KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin, 6 September 2021. PT KAI Commuter mulai melakukan uji coba penggunaan aplikasi PeduliLindungi bagi pengguna KRL di 11 stasiun. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Iklan

Halo, pembaca nawala Cek Fakta Tempo!

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

____________________________________________________________________

Bagian ini ditulis oleh Inge Klara Safitri dari Tempo MediaLab

Meragukan Proteksi Data PeduliLindungi

Seorang warga mengakses aplikasi PeduliLindungi pada gawai miliknya di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 14 Januari 2021. ANTARA/Zabur Karuru.

Beberapa pekan terakhir, aplikasi PeduliLindungi menjadi bagian penting dari upaya pemerintah Indonesia mencegah penularan Covid-19. Aplikasi ini menjadi sarana untuk memantau pergerakan masyarakat. Sejumlah data, termasuk catatan perjalanan, sertifikat vaksin, dan hasil tes Covid-19 pengguna, terangkum di aplikasi yang dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika  itu. Namun, keamanan data pengguna dalam aplikasi tersebut belakangan diragukan.

Sebelumnya, sertifikat vaksinasi atas nama Presiden Joko Widodo atau Jokowi tersebar di Twitter. Sertifikat vaksinasi itu memuat nama data pribadi beserta nomor induk kependudukan (NIK) Jokowi. Sejumlah warganet kemudian mengaitkan bocornya data tersebut dengan aplikasi PeduliLindungi. Pasalnya, sertifikat vaksin di aplikasi PeduliLindungi hanya bisa diakses setelah pengguna melakukan login. Untuk login, pengguna mesti memasukkan alamat e-mail atau nomor telepon. Selanjutnya, PeduliLindungi akan mengirimkan kode OTP untuk mengakses akun hingga akhirnya pengguna bisa mengunduh sertifikat vaksin.

Konsultan keamanan siber sekaligus pendiri Ethical Hacker Indonesia, Teguh Aprianto, menilai situs-situs pemerintah rentan diserang. Bahkan, ada yang hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk diretas. Secara umum, peretas cukup memerlukan waktu kurang dari satu hari untuk menemukan celah situs pemerintahan. 

“Untuk pencarian yang bersifat acak, hanya dibutuhkan waktu 2 detik untuk mendapatkan data pribadi seperti NIK dan KK seorang WNI. Untuk pencarian yang ditargetkan, hanya butuh 5 detik untuk mendapatkan data pribadi orang yang kita cari,” tulis Teguh dalam tulisannya yang dimuat di situs Mojok.co yang berjudul “Hanya Budiman Sudjatmiko yang Bisa Wujudkan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia”. Teguh menyilakan Tempo untuk mengutip tulisan tersebut.

Terbaru, muncul pula modus penipuan pharming atau menyamarkan situs palsu seolah-olah situs resmi. Muncul situs pedulilindungia.com yang seolah-olah situs resmi PeduliLindungi. Padahal, situs yang asli adalah pedulilindungi.id.

Tak hanya rentan kebobolan, di aplikasi PeduliLindungi banyak izin yang sebetulnya tidak diperlukan. Menurut Kepala Divisi Keamanan Online dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Banimal, setidaknya ada tiga izin yang diminta aplikasi ini, yakni kamera, lokasi, dan storage (ruang penyimpanan). Menurut Banimal, rincian dari ketiga izin tersebut memunculkan keraguan terhadap keamanan data di aplikasi PeduliLindungi. “Izin akses kamera, video, foto, apa sebenarnya kegunaannya,” kata Banimal.

Permintaan agar aplikasi dapat memodifikasi dan menghapus konten di ruang penyimpanan ponsel, mengontrol akses jaringan secara penuh, serta mencegah ponsel dari mode hibernasi (sleep) juga dipertanyakan tujuannya.

Menanggapi hal tersebut, Menkominfo Johnny G. Plate mengklaim aplikasi PeduliLindungi aman. "Integrasi e-Hac ke aplikasi PeduliLindungi dan migrasi aplikasi PL, PCare, dan Silacak ke data center Kominfo baru saja dilakukan. Saat ini data PeduliLindungi di DC Kominfo aman," ujarnya.

Bagian ini ditulis oleh Siti Aisah, peserta Health Fellowship Tempo yang didukung oleh Facebook.

Efek Samping Guillain Barre Syndrome dan Vaksinasi Covid-19

Pekan ini beredar klaim di media sosial bahwa vaksin AstraZeneca memiliki efek samping Guillain Barre Syndrome (GBS), yakni gangguan kerusakan saraf yang langka. Baru-baru ini, otoritas obat Eropa atau EMA menambahkan daftar baru kemungkinan GBS sebagai efek samping dari vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca. 

Vaksin AstraZeneca menjadi satu di antara vaksin yang digunakan banyak negara termasuk Indonesia dalam melawan pandemi virus corona. Sarah Gilbert juga melepas hak paten dalam proses produksi vaksin tersebut, sehingga harga vaksin bisa lebih murah. Sarah dan sejumlah ilmuwan yang terlibat dalam pembuatan vaksin telah dianugrahi gelar kebangsawanan oleh Ratu Elizabeth II tahun ini. REUTERS

  • GBS adalah gangguan neurologis ketika sistem kekebalan tubuh merusak sel-sel saraf sehingga menyebabkan kelemahan otot atau dalam kasus yang paling parah, menyebabkan kelumpuhan. Berdasarkan analisis data Vaccine Adverse Event Reporting (VAERS), ada 100 laporan awal GBS setelah pemberian vaksinasi dengan Johnson & Johnson sebanyak 12,5 juta dosis. Dari laporan tersebut, sebanyak 95 di antaranya serius dan memerlukan rawat inap. Ada satu kematian yang dilaporkan. GBS juga telah diamati pada level yang meningkat terkait dengan vaksin tertentu, termasuk vaksin influenza musiman dan vaksin untuk mencegah herpes zoster. 
  • GBS berada di bawah pengawasan ketat Komite Penilaian Risiko Farmakovigilans EMA (PRAC). Pada September 2021, PRAC menilai data tambahan yang diminta dari pemegang izin edar dan hasil dari tinjauan literatur ilmiah. Sebanyak 833 kasus GBS telah dilaporkan dengan Vaxzevria (vaksin Covid-19 AstraZeneca) di seluruh dunia pada 31 Juli 2021. Sementara itu, sekitar 592 juta dosis Vaxzevria telah diberikan di seluruh dunia pada 25 Juli 2021. Berdasarkan penilaian data ini dan dengan mempertimbangkan saran ahli neurologis, PRAC menyimpulkan bahwa hubungan sebab akibat antara Vaxzevria dan GBS dianggap sebagai kemungkinan yang masuk akal. Oleh karena itu, GBS harus ditambahkan dalam informasi produk sebagai efek samping dari Vaxzevria dengan kategori frekuensi sangat jarang (terjadi pada kurang dari 1 dalam 10.000 orang). 
  • Mengingat efek samping GBS yang sangat jarang tersebut, EMA menekankan bahwa manfaat dari suntikan vaksin lebih besar daripada risikonya. Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS telah menambahkan peringatan tentang GBS sebagai kemungkinan efek samping dari suntikan Johnson & Johnson. AstraZeneca dan  Johnson & Johnson menggunakan teknologi yang sama dengan menggunakan vektor virus, dan juga telah dikaitkan dengan kasus pembekuan darah yang langka. EMA juga menandai beberapa efek samping lain yang tidak terlalu parah pada vaksin Johnson & Johnson, Moderna, dan AstraZeneca.
  • Otoritas Regulator Obat Australia, Therapeutic Goods Administration (TGA) sejauh ini menerima 89 laporan yang menyebutkan GBS terjadi setelah vaksinasi dengan Vaxzevria. Peringatan yang ditambahkan dalam informasi produk vaksin merupakan tindakan pencegahan dalam menanggapi kasus langka setelah vaksinasi di Australia dan internasional. Sementara hubungan kausal belum ditetapkan, tenaga kesehatan telah diberitahu agar waspada terhadap tanda dan gejala gangguan demielinasi, yakni gejala robeknya selubung mielin pada neuron, untuk memastikan diagnosis yang benar dan untuk menyingkirkan penyebab lain.
  • Kasus GBS telah dilaporkan pada program vaksinasi lain, dengan banyak penelitian berfokus pada GBS dan vaksin flu musiman. Data bervariasi dari musim ke musim, tetapi jika ada peningkatan risiko, berada di kisaran 1-2 kasus GBS tambahan per juta dosis vaksin flu yang diberikan. Bukti juga menunjukkan bahwa seseorang lebih mungkin terkena GBS setelah flu daripada setelah vaksinasi. Flu juga menyebabkan penyakit parah dan kematian dalam beberapa kasus. Per 11 Agustus 2021, di Inggris terdapat 383 laporan GBS setelah vaksinasi AstraZeneca. Selama periode ini 24,8 juta dosis pertama dan 23,9 juta dosis kedua vaksin AstraZeneca telah diberikan. Ada 42 laporan GBS setelah vaksinasi Pfizer/BioNTech dari pemberian 21 juta dosis pertama dan 24,7 dosis kedua vaksin Pfizer/BioNTech. Ada dua laporan setelah vaksinasi Moderna dari pemberian 1,4 juta dosis pertama dan 0,6 juta dosis kedua vaksin tersebut. 
  • Di Inggris, kasus GBS dilaporkan terjadi setelah pemberian vaksin AstraZeneca dosis pertama. Onset gejala terjadi pada periode 11 hingga 22 hari setelah vaksinasi. Berdasarkan empat kasus temuan tersebut, para peneliti menyarankan kewaspadaan untuk kasus bifacial weakness with paresthesias (BFP) setelah vaksinasi SARS-CoV-2. BFP merupakan subtipe dari sindrom GBS yang ditandai dengan diplegia (kelumpuhan) wajah. Studi juga menunjukkan bahwa program pengawasan pasca-vaksinasi memastikan pengambilan data yang kuat untuk menilai hubungan sebab akibat antara GBS dengan vaksinasi. 
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Waktunya Trivia!

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin luput dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

General Manager Asia Tenggara di perusahaan keamanan siber Kaspersky, Yeo Siang Tiong, membeberkan bagaimana aktivitas berbahaya kelompok hacker (peretas) bernama Honeymyte alias Mustang Panda atau Temp.Hex. Kaspersky sudah menerbitkan penelitian tentang Advanced Persistent Group (APT) itu sejak 2019. Siang Tiong mengatakan Mustang Panda telah aktif selama beberapa tahun. Terbaru, serangan dari kelompok asal Cina itu diduga menembus jaringan internal Badan Intelijen Negara (BIN) serta sembilan kementerian dan lembaga di Indonesia. Penyusupan itu ditemukan oleh Insikt Group, divisi penelitian ancaman siber Recorded Future.

Aplikasi NHS mengumpulkan dan menyimpan data verifikasi wajah dari warga Inggris dalam proses yang memicu kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas. Pengumpulan data berlangsung di bawah kontrak dengan perusahaan yang terkait dengan donor Tory bernama iProov, yang diberikan oleh NHS Digital pada 2019, yang belum dipublikasikan di situs pemerintah.

Ilustrasi Facebook (REUTERS)

Pemerintah Inggris Menawarkan $117.000 kepada Siapa pun yang Dapat Melewati Enkripsi End-to-End Facebook. Facebook mengatakan bahwa mereka membayar jutaan setiap tahun untuk peneliti keamanan giat dan peretas etis yang melaporkan kerentanan yang mereka temukan. Pemberian hadiah dari pemerintah merupakan hal yang tak biasa. Namun itulah yang ditawarkan oleh Menteri Dalam Negeri Inggris, yang menjanjikan hibah hingga $117.000 kepada perusahaan yang dapat menemukan cara untuk melewati enkripsi ujung-ke-ujung yang digunakan oleh sistem perpesanan Facebook dan WhatsApp.

Calon pengantin meninggal setelah ragu-ragu untuk divaksinasi akibat misinformasi yang beredar. Samantha Wendell dan Eskew memutuskan menunda vaksinasi Covid-19 mereka demi keinginannya menikah pada 21 Agustus. Keputusan itu diambil setelah beberapa rekan kerja Wendell mengatakan suntikan itu menyebabkan kemandulan. Klaim tidak berdasar yang semakin menguat ini beredar, meski kelompok kesehatan reproduksi terkemuka telah membantahnya. Akibatnya, alih-alih menghadiri pernikahanya, Wendell justru dimakamkan.

Periksa Fakta Sepekan Ini

Dalam sepekan terakhir, klaim yang masuk ke tim Cek Fakta tak lagi hanya seputar Covid-19, melainkan lebih beragam. Meski begitu, klaim seputar vaksin Covid-19 masih lebih banyak daripada isu lainnya.

Banyaknya klaim mengenai vaksin diduga berkaitan dengan fokus dunia dalam menanggulangi pandemi Covid-19 lewat program vaksinasi. Buka tautannya ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


CekFakta #256 Langkah Mengecek Transparansi Halaman Media Sosial

13 jam lalu

Logo twitter, facebook dan whatsapp. Istimewa
CekFakta #256 Langkah Mengecek Transparansi Halaman Media Sosial

Menelisik Motivasi di Balik Akun Medsos Penyebar Hoaks Melalui Transparansi Halaman


CekFakta #255 5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima

7 hari lalu

Ilustrasi internet. (abc.net.au)
CekFakta #255 5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima

5 Langkah Memahami Setiap Kabar yang Kita Terima


CekFakta #254 Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google

14 hari lalu

Logo Google. REUTERS
CekFakta #254 Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google

Empat Cara Mengecek Fakta Menggunakan Tools Baru Google


CekFakta #253 CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup

21 hari lalu

Ilustrasi hoaks atau fake news. Shutterstock
CekFakta #253 CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup

CrowdTangle, Alat Pantau Disinformasi di Media Sosial Tutup


CekFakta #252 Menyelami Kontroversi Hasil Pencarian TikTok dalam Menyebarkan Hoaks

28 hari lalu

Logo TikTok terlihat di smartphone di depan logo ByteDance yang ditampilkan dalam ilustrasi yang diambil pada 27 November 2019. [REUTERS / Dado Ruvic / Illustration / File Photo]
CekFakta #252 Menyelami Kontroversi Hasil Pencarian TikTok dalam Menyebarkan Hoaks

TikTok disorot sebagai sarang penyebaran misinformasi maupun disinformasi.


CekFakta #251 Yang Harus Diteliti Pada Website Saat Mencari Kebenaran Informasi

35 hari lalu

Ilustrasi wanita sedang browsing internet. Pixabay.com
CekFakta #251 Yang Harus Diteliti Pada Website Saat Mencari Kebenaran Informasi

Yang Harus Diteliti Pada Website Saat Mencari Kebenaran Informasi


Cekfakta #250 Ujaran Kebencian Menyangkut SARA Meningkat Selama Pemilu 2024

41 hari lalu

Ilustrasi Ujaran Kebencian. shutterstock.com
Cekfakta #250 Ujaran Kebencian Menyangkut SARA Meningkat Selama Pemilu 2024

Ujaran kebencian ini meningkat ketika hari pemungutan suara. Bahkan hoaks berbau etnis kembali mewarnai, mendaur ulang pola kebohongan.


CekFakta #249 Situs-situs Abal-abal Buatan AI Menyebar Hoaks dalam Berbagai Bahasa

48 hari lalu

Ilustrasi wanita sedang browsing internet. Pixabay.com
CekFakta #249 Situs-situs Abal-abal Buatan AI Menyebar Hoaks dalam Berbagai Bahasa

Situs-situs Abal-abal Buatan AI Menyebar Hoaks dalam Berbagai Bahasa


CekFakta #248 Memantau Ujaran Kebencian yang Meningkat Seputar Pemilu 2024

56 hari lalu

Ilustrasi Ujaran Kebencian. shutterstock.com
CekFakta #248 Memantau Ujaran Kebencian yang Meningkat Seputar Pemilu 2024

Memantau Ujaran Kebencian yang Meningkat Seputar Pemilu 2024


CekFakta #247 Bekerja Membendung Kabar Palsu Pemilu 2024

16 Februari 2024

Ilustrasi pemilu. REUTERS
CekFakta #247 Bekerja Membendung Kabar Palsu Pemilu 2024

Seperti apa gambaran mis/disinformasi yang turut mencemari informasi selama hari pemilu di negara kita?