- Di tengah mewabahnya virus Corona Covid-19, platform-platform media sosial menghadapi tantangan berat dalam memoderasi unggahan para penggunanya. Di satu sisi, mereka mesti merumahkan para moderator konten untuk menahan penyebaran virus. Namun, di sisi lain, teknologi kecerdasan buatan yang menggantikan moderator-moderator itu belum cukup mumpuni dalam mendeteksi konten yang melanggar ketentuan.
- Pemerintah mengimbau masyarakat untuk membatasi aktivitas di luar rumah dengan semakin merebaknya virus Corona. Para pekerja kantoran dan anak-anak sekolah pun mulai bekerja dan belajar dari rumah masing-masing. Sejumlah platform memberikan layanan gratis bagi mereka. Para raksasa teknologi tak mau ketinggalan, mereka meluncurkan berbagai inisiatif untuk menghadapi pandemi ini.
Selamat hari Jumat, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apa saja aktivitas Anda selama pemberlakuan social-distancing beberapa hari terakhir? Apakah penggunaan media sosial Anda meningkat? Jangan lupakan bahwa ada para moderator konten yang setia menjaga platform-platform media sosial yang Anda gunakan dari unggahan-unggahan negatif. Sayangnya, di tengah pandemi ini, jumlah mereka berkurang karena sebagian dirumahkan. Sebagian pekerjaan mereka diambil alih oleh sistem. Tapi seberapa efektifkah sistem yang berbasis teknologi kecerdasan buatan ini menjaga platform-platform tersebut?
Apakah Anda menerima nawala edisi 20 Maret 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
MODERASI KONTEN MEDSOS DI TENGAH WABAH CORONA
Para pengguna Facebook mengalami masalah saat akan mengunggah tautan artikel dari sejumlah situs pada Rabu, 18 Maret 2020, lalu. Tautan-tautan itu diblokir karena dianggap sebagai spam dan menyalahi standar komunitas platform. Padahal, tautan itu berasal dari situs berita kredibel yang berisi sejumlah informasi, termasuk soal penyakit virus Corona 2019 atau Covid-19. Di Facebook masalah ini muncul sehari setelah mereka memulangkan para moderator kontennya dan mengandalkan sistem kecerdasan buatan untuk mengawasi unggahan pengguna.
Dalam cuitannya di Twitter, Vice President of Product Management Facebook, Guy Rosen, mengatakan bahwa hal itu terjadi karena adanya bug dari sistem anti-spam Facebook. “Tidak terkait dengan perubahan apapun pada moderator konten kami,” ujarnya. Tapi saat mengumumkan akan lebih bergantung pada kecerdasan buatan dalam moderasi konten, Facebook telah mewanti-wanti bahwa sistem tersebut bisa membuat “lebih banyak kesalahan”.
Lalu, apa yang memaksa Facebook mengandalkan sistem yang belum sempurna untuk moderasi konten? Tak lain dan tak bukan, epidemi Covid-19. Wabah virus Corona yang telah menyebar di seluruh belahan bumi membuat semua orang mesti membatasi pergerakannya guna memotong penyebaran virus. Hal ini juga berlaku bagi para moderator konten Facebook, yang diharuskan bekerja dari rumah atau work from home (WFH).
Masalahnya, tidak semua moderator merupakan pekerja penuh waktu alias full-time. Banyak moderator yang berstatus pekerja outsourcing. Menurut laporan Wired, pada akhir 2018, Facebook memiliki sekitar 15 ribu moderator konten. Sebagian besar moderator itu merupakan karyawan outsourcing yang dipekerjakan oleh sejumlah firma, seperti Accenture dan Cognizant. Mereka inilah yang mengawasi unggahan-unggahan yang mengandung kekerasan, eksploitasi anak, spam, dan konten yang tidak pantas lainnya.
Nah, para pegawai outsourcing ini dibatasi oleh sejumlah aturan yang lebih ketat ketimbang karyawan full-time. Menurut jurnalis senior The Verge, Casey Newton, moderator outsourcing hanya boleh bekerja di “lantai produksi” yang telah ditentukan. Mereka juga tidak diizinkan membawa perangkat pribadi apapun, termasuk mengambil foto diam-diam atau mencuri data dengan cara lain. “Mereka kerap dipecat karena tidak sengaja membawa ponsel ke lantai produksi,” ujar Newton.
Ketika pandemi Covid-19 terjadi, Facebook dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Jika membiarkan moderator outsourcing bekerja secara normal di “lantai produksi”, Facebook bakal berkontribusi dalam penyebaran virus. Tapi jika mereka membiarkan para moderator itu bekerja dari rumah, ada potensi pencurian data yang begitu besar. Facebook tampaknya masih trauma dengan skandal Cambridge Analytica. Mereka akhirnya memilih merumahkan para moderator outsourcing itu, serta akan tetap membayar mereka.
Para moderator yang absen inilah yang digantikan oleh sistem kecerdasan buatan Facebook. Perusahaan milik Mark Zuckerberg tersebut bakal lebih bersandar pada sistem kecerdasan buatan dalam memoderasi unggahan-unggahan pengguna. Sejumlah moderator tetap diizinkan bekerja dari rumah, tapi hanya menangani konten-konten yang tidak sensitif—seperti melatih sistem pembelajaran mesin untuk melabeli konten. Sementara penanganan konten-konten yang lebih sensitif dialihkan kepada moderator full-time.
YouTube dan Twitter menerapkan hal serupa. Malah, mereka mengumumkannya sebelum Facebook, yakni pada 16 Maret lalu. Mereka menyatakan akan merumahkan para pekerja kontraknya dan bakal lebih mengandalkan sistem kecerdasan buatan. “Sementara waktu ini, kami akan meningkatkan ketergantungan pada sistem otomatis. Tujuan kami adalah terus bertindak cepat menghapus konten yang melanggar pedoman komunitas kami,” demikian bunyi rilis dari Google, induk perusahaan YouTube.
Tapi YouTube juga memperingatkan bahwa beberapa kesalahan bakal terjadi. “Lebih banyak video yang akhirnya dihapus, termasuk beberapa video yang mungkin tidak melanggar kebijakan.” Pembuat video tetap bisa mengajukan banding atas video yang telah dihapus. Namun, YouTube mengingatkan bahwa proses banding bisa tertunda karena berkurangnya moderator konten.
Twitter menyatakan hal senada. Lantaran terdapat peningkatan penggunaan pembelajaran mesin dan automasi, sistem bisa saja tidak mempertimbangkan konteks dari sebuah cuitan, seperti yang bisa dikenali oleh para moderator konten. Hal ini dapat menyebabkan sistem membuat kesalahan. “Karena itu, kami tidak akan menangguhkan suatu akun berdasarkan sistem penegakan aturan otomatis kami,” demikian pernyataan Twitter dalam situsnya.
Profesor dari St. John’s University Law School, Kate Klonick, menuturkan bahwa sistem otomatis Facebook, YouTube, Twitter, dan kawan-kawannya bekerja dengan prinsip yang sama, mulai dari penggunaan kata kunci, pemindaian gambar, serta tanda-tanda lain yang akan menunjukkan bahwa sebuah unggahan itu melanggar ketentuan. Tapi ada hal yang tidak, atau mungkin belum, mampu dikenali oleh teknologi tersebut, yakni konteks. Jadi, bersiaplah wahai netizen jika hal seperti yang dialami Facebook pada Rabu lalu terulang.
TAK BERHENTI KARENA PANDEMI
Semakin merebaknya virus Corona Covid-19 mendorong pemerintah mengeluarkan imbauan bagi masyarakat untuk membatasi pergerakan mereka. Sejak 16 Maret 2020, para pegawai kantor pun mulai bekerja dari rumah atau work from home (WFH) dan anak-anak sekolah belajar dari rumah masing-masing. Hal ini mendorong sejumlah platform memberikan layanan gratis bagi masyarakat selama mengisolasi diri. Para raksasa teknologi memunculkan berbagai inisiatif untuk menghadapi pandemi.
- UNICEF Indonesia menyediakan chatbot WhatsApp untuk menyebarkan informasi terkait virus Corona. Anda dapat menyimpan nomor 08119004567. Kemudian, kirim pesan ke nomor itu lewat WhatsApp berisi kata “Corona”. Di awal, chatbot ini akan memberikan update mengenai jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia serta jumlah pasien yang sembuh dan meninggal. Lalu, Anda boleh memilih informasi seputar virus Corona yang diketahui, mulai dari cara penyebaran, gejala, berbagai hoaks mengenai virus tersebut, hingga informasi soal masker.
- Selain UNICEF, LINE juga berinisiatif memberikan informasi terkini mengenai virus Corona dengan menghadirkan akun resmi LINE Siaga. Akun ini bakal menyajikan update terkait Covid-19, informasi kasus, nomor panggilan darurat yang bisa dihubungi, daftar rumah sakit yang menyediakan fasilitas bagi pasien Covid-19, berbagai langkah pencegahan, dan sebagainya.
- Mesin pencari milik Microsoft, Bing, meluncurkan peta penyebaran Covid-19 yang diperbarui secara real-time. Platform ini mengumpulkan data dari berbagai sumber resmi, mulai dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit Eropa (ECDC), dan sebagainya. Ketika pengguna memilih kota, platform tersebut bakal memunculkan data terbaru serta artikel berita dari sumber yang terpercaya mengenai kota tersebut.
- Sejumlah platform belajar online menyediakan akses gratis bagi para siswa agar bisa melakukan pembelajaran secara daring. Kelas Pintar misalnya, menggratiskan fasilitas belajar online selama satu bulan ke depan. Ruangguru pun demikian. Para siswa bisa mengikuti sekolah online gratis pada pukul 08.00-12.00 WIB untuk semua mata pelajaran. Google dan Microsoft tak mau ketinggalan. Google dengan G Suite for Education dan Microsoft dengan Office 365 menyediakan fitur yang memungkinkan proses belajar-mengajar berlangsung dari jarak jauh.
- Tokopedia menggelar promo bebas ongkos kirim (ongkir) bagi seluruh pengguna hingga Rp 40 ribu. Menurut bos Tokopedia, William Tanuwijaya, langkah itu diambil agar pengguna dapat memenuhi kebutuhan bahan pokok lewat Tokopedia tanpa terbebani ongkir. William mengatakan belanja online bisa menjadi solusi untuk mengurangi risiko penularan virus Corona Covid-19. Bukalapak pun membuat promo gratis ongkir khusus untuk produk kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar pengguna dapat membeli produk kesehatan untuk melindungi diri dari virus Corona dengan harga terjangkau.
- Apple menyumbangkan dana hingga US$ 15 juta untuk membantu merawat pasien Covid-19 dan mengurangi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi ini. Sedangkan Facebook meluncurkan matching fund untuk mendorong publik menyumbangkan uangnya bagi penanganan virus Corona. Hingga kini, Facebook telah berkomitmen hingga US$ 20 juta untuk melawan pandemi ini. Sementara di dalam negeri, Shopee memberikan donasi hingga Rp 1 miliar kepada Palang Merah Indonesia (PMI) untuk menanggulangi virus tersebut.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Misinformasi seputar Covid-19 membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) turun tangan. WHO merilis daftar hoaks seputar Covid-19 yang telah beredar luas itu, mulai dari mandi air panas dan makan bawang putih dapat mencegah virus Corona, menyemprotkan alkohol ke seluruh tubuh bisa mematikan virus Corona, virus Corona dapat menular lewat gigitan nyamuk, virus Corona bisa dibunuh dengan mesin pengering tangan (hand dryer) dan lampu ultraviolet, vaksin pneumonia dapat melindungi diri dari virus Corona, dan sebagainya.
- Presiden Amerika Serikat Donald Trump hanya mengikuti 47 akun di Twitter. Cuitan-cuitan yang dilihatnya di tengah pandemi virus Corona Covid-19 adalah bahwa pandemi tersebut merupakan kesalahan Cina; Trump telah mengambil langkah yang lebih baik ketimbang Joe Biden saat berhadapan dengan wabah virus H1N1 (flu babi) pada 2009; serta bahwa media sengaja memicu kepanikan warga dan membantu China menyebarkan propaganda.
- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memberikan wewenang kepada agen keamanan internal negaranya untuk memanfaatkan data ponsel warganya. Langkah itu diambil agar pemerintah bisa melacak pergerakan orang-orang yang mengidap Covid-19. Informasi yang didapatkan dari ponsel warga itu memungkinkan pemerintah Israel mengidentifikasi siapa saja yang harus dikarantina karena telah melanggar batas aman dengan pembawa virus Corona.
- Instagram menghapus filter foto berbasis AR yang bertema virus Corona, mulai dari filter yang memprediksi datangnya virus maupun filter yang diklaim mampu menyembuhkan virus. Instagram juga tidak akan menyetujui filter foto baru bertema virus Corona yang diajukan oleh pengembang pihak ketiga. Sebagai informasi, Instagram memang mengizinkan siapa pun untuk membuat filter foto yang bisa digunakan oleh seluruh pengguna. Saat ini kebijakan pembatasan dibuat untuk menghentikan lelucon soal virus Corona yang mengandung konten sensitif.
- WhatsApp sedang bersiap menghadirkan fitur pesan yang bisa terhapus sendiri atau self-destructing messages. Fitur ini masih dalam tahap uji coba untuk dua versi WhatsApp beta. Dalam dua versi beta itu, WhatsApp menawarkan fitur yang memungkinkan pengguna menentukan waktu untuk menghapus pesan secara otomatis, mulai dari satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan satu tahun. Setelah pesan dikirim, pengguna nanti dapat melihat keterangan berapa lama pesan itu akan bertahan sebelum terhapus secara otomatis.
- Dalam laporan The Intercept, TikTok disebut menginstruksikan moderatornya untuk membatasi penyebaran konten milik pengguna yang dianggap berwajah atau berpenampilan buruk. TikTok juga meminta moderatornya untuk membatasi konten yang dibuat oleh penyandang disabilitas. Menurut dokumen itu, alasan aturan ini sinuat adalah agar pengguna lain betah, serta untuk menarik minat pengguna baru sebanyak mungkin. TikTok memperkirakan, semakin banyak konten dari pengguna yang berpenampilan menarik, semakin banyak orang yang akan menonton.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Berbagai klaim mengenai cara menangkal Covid-19 terus beredar di media sosial seiring dengan semakin banyaknya pasien yang positif terjangkit virus tersebut. Salah satu klaim yang ramai beberapa hari terakhir adalah bahwa minum alkohol bisa membunuh virus yang bermula di Kota Wuhan, China, tersebut. Klaim itu dilengkapi dengan gambar tangkapan layar sebuah video berita yang berjudul “Alcohol kills coronavirus”. Dalam gambar itu, terdapat pula logo stasiun televisi asing CNN dan foto news anchor senior-nya, Wolf Blitzer.
Tapi setelah ditelusuri oleh Tim CekFakta Tempo, gambar itu merupakan hasil manipulasi. Tempo menemukan gambar itu di sejumlah situs pembuat template meme, yang sengaja diproduksi untuk dipakai sebagai parodi. Sementara terkait klaim “minum alkohol bisa membunuh virus Corona”, WHO menyatakan bahwa klaim itu tidak benar. Menurut WHO, menyemprotkan alkohol ke sekujur badan setelah virus Corona memasuki tubuh, ataupun meminumnya, tidak akan bisa membunuh virus tersebut.
Sayangnya, sejumlah warga Iran mempercayai klaim itu. Hal ini diketahui setelah sebuah rumah sakit di Teheran, Iran, menerima banyak pasien yang keracunan karena minum alkohol dengan harapan dapat mencegah Covid-19. Hingga 10 Maret 2020, sebanyak 44 warga Iran di Khuzestan dan Alborz tewas akibat keracunan alkohol. Mereka meminum alkohol yang berasal dari industri yang biasa, yang digunakan sebagai sanitizer, mengingat Iran melarang warganya mengkonsumsi minuman beralkohol.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah penumpang KRL ini kejang-kejang karena terinfeksi virus Corona?
- Benarkah Cina mengakui dokter Palestina sebagai penemu vaksin virus Corona?
- Benarkah ada pengemudi Gojek yang positif terinfeksi virus Corona kabur dari rumah sakit?
- Benarkah novel “The Eye of Darkness” telah memprediksi munculnya Covid-19 sebagai senjata biologis dari China?
- Benarkah orang-orang dalam video ini berjatuhan karena terinfeksi virus Corona?
- Benarkah pesan berantai soal pemberlakuan karantina di 10 daerah ini berasal dari Presiden Jokowi?
- Benarkah formula hand sanitizer buatan ini manjur untuk mencegah penularan Covid-19?
- Benarkah pesepak bola Cristiano Ronaldo mengubah hotel miliknya menjadi rumah sakit bagi pasien Covid-19?
- Benarkah ini foto warga yang jalan-jalan di tengah kebijakan sekolah libur karena wabah Covid-19?
- Benarkah deteksi Covid-19 bisa dilakukan dengan menahan napas selama 10 detik?
- Benarkah Presiden Jokowi akan menjual separuh Kalimantan Timur untuk pemindahan ibu kota?
- Benarkah pemerintah Singapura periksa air liur pendatang dari Indonesia di Bandara Changi?
- Benarkah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memberikan hadiah laptop kepada seorang siswa karena menonton video porno?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: