Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

CekFakta #50 Deepfake di Ruang Pengadilan

image-gnews
Ilustrasi palu sidang pengadilan. legaljuice.com
Ilustrasi palu sidang pengadilan. legaljuice.com
Iklan
  • Konten manipulasi yang diciptakan dengan kecerdasan buatan, deepfake, mulai disalahgunakan sebagai bukti untuk menuntut seseorang. Tahun lalu, seorang pria di Inggris dituduh telah mengancam istrinya di telepon dan diseret ke meja hijau dengan barang bukti berupa rekaman audio palsu. Bagaimana kisahnya?
  • Sebuah survei yang digelar di Jabodetabek menunjukkan bahwa dompet digital mendorong generasi Z lebih konsumtif. Survei itu juga menyatakan bahwa hanya sepertiga dari jumlah responden yang merasa bisa mengelola keuangannya dengan baik. Persaingan sengit antar perusahaan dompet digital disebut sebagai biang keladinya.

Selamat hari Jumat, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Dalam edisi kali ini, saya ingin membagikan kisah dari seorang pria di Inggris yang dituntut ke pengadilan dengan barang bukti berupa rekaman audio manipulasi. Sebelumnya, kita pernah melihat deepfake yang digunakan untuk kepentingan politik. Ada pula deepfake yang disalahgunakan untuk memeras seseorang. Yang paling banyak adalah deepfake untuk konten-konten pornografi. Nah, bagaimana bisa sebuah deepfake menjadi barang bukti di pengadilan? Seperti apa akhirnya nasib pria itu?

Apakah Anda menerima nawala ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

DEEPFAKE DI RUANG PENGADILAN 

Konten manipulasi yang diciptakan dengan kecerdasan buatan alias deepfake semakin banyak beredar. Anda mungkin sudah pernah melihat deepfake yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik, atau yang paling sering untuk konten pornografi. Baru-baru ini, di Inggris, deepfake mulai disalahgunakan sebagai barang bukti persidangan. Beruntung, pengacara dari pria yang didakwa berdasarkan bukti palsu itu menyadarinya.

Seorang pengacara, Byron James, menceritakan kisah tersebut kepada Telegraph pada akhir Januari 2020. Menurut James, kliennya dituduh telah mengancam istrinya lewat telepon. Padahal, klien James tersebut bersikeras bahwa dia tidak pernah mengucapkan hal yang dituduhkan kepadanya. Baiknya James mulai menyadari kejanggalan bukti tersebut sebelum dibeberkan di persidangan.

Sistem peradilan Inggris mewajibkan pihak-pihak yang berseteru untuk menyerahkan barang bukti sebelum kasus mereka disidangkan. Menurut James, saat sebuah rekaman audio ditunjukkan oleh pihak penuntut, kliennya benar-benar terkejut.  Klien James kebingungan, bagaimana pihak penuntut bisa memiliki rekaman semacam itu, karena dia tidak merasa pernah mengucapkannya.

“Ini posisi yang paling sulit bagi pengacara, ketika Anda menjumpai bukti yang bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh klien Anda. Bagaimanapun, klien saya tetap bersikeras bahwa itu bukan dia meskipun dia setuju bahwa itu terdengar persis seperti dia, menggunakan kata-kata yang mungkin dia gunakan, serta intonasi dan aksen yang mirip dengannya. Apakah mungkin klien saya berbohong?” ujar James.

Untungnya, James bisa mendapatkan file rekaman audio itu dari persidangan dan mencari tahu metadatanya. Ternyata, rekaman itu sudah dimanipulasi. “Hakim sangat terkejut. Tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa peristiwa seperti ini bisa terjadi. Menurut saya, seluruh sistem hukum perlu mengejar ketertinggalan semacam ini,” kata James.

Ancaman deepfake terhadap sistem peradilan pernah disuarakan oleh Riana Pfefferkorn, direktur pengawasan dan keamanan siber di Stanford’s Center for Internet and Society. Ia menuliskannya dalam sebuah artikel yang berjudul “Too Good to be True” yang dipublikasikan oleh majalah milik Washington State Bar News, NW Lawyer, pada September 2019 lalu.

Pfefferkorn pun pernah memaparkan pandangannya mengenai pengaruh deepfake terhadp sistem hukum kepada website berita Axios. Ia mengatakan, “Deepfake berbahaya dalam konteks persidangan karena tujuan akhir pengadilan adalah mencari kebenaran.” Karena itu, dia menyarankan pengacara mempertanyakan keaslian sebuah rekaman ketika mencurigainya sebagai deepfake. Dengan begitu, pihak yang menyodorkan rekaman mesti membuktikan keotentikannya.

Pengacara senior Amerika Serikat, Theodore Claypoole, juga prihatin dengan fenomena masuknya deepfake ke ruang persidangan. Memang, terdapat aturan dalam mengotentikasi barang bukti. Namun, dia mengatakan, bisa saja pengecekan yang dilakukan gagal mengungkap asal-usul deepfake yang disodorkannya ke persidangan, sehingga rekaman palsu lolos ditetapkan sebagai barang bukti.

Dengan besarnya potensi penyalahgunaan deepfake di ruang persidangan tersebut, Claypoole mengusulkan pengadilan untuk memperketat aturan dalam menguji keaslian suatu bukti. “Karena, begitu dilihat atau didengar oleh juri, rekaman itu (baik audio maupun video) dapat mendominasi pikiran mereka, tidak peduli dengan apa yang dikatakan hakim,” ujarnya.

Yohan Misero, peneliti dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, mengakui bahwa regulasi akan selalu tertinggal oleh teknologi. “Tapi deepfake harus disikapi secara serius,” katanya. Di Indonesia saat ini belum ada aturan mengenai deepfake. Tapi Yohan meminta kepolisian untuk berani berinvestasi meningkatkan keahlian dalam hal kecerdasan buatan serta mempercanggih peralatan mereka, agar bisa menangani kasus-kasus yang melibatkan konten manipulasi.

Hingga saat ini, upaya untuk memerangi deepfake baru sebatas riset untuk menciptakan alat pendeteksinya. Beberapa perusahaan teknologi pun sekadar membagikan basis data video deepfake dengan harapan para peneliti bisa mencari celahnya. Artinya, ancaman deepfake, terutama ketika disalahgunakan untuk memenjarakan seseorang, mengintai kita semua.

GENERASI Z VS DOMPET DIGITAL

Apakah Anda termasuk generasi Z dan setia menggunakan dompet digital seperti OVO, Gopay, Dana, atau LinkAja? Atau Anda orang tua dari anak yang berusia 19-21 tahun? Jika jawabannya ya, Anda patut lebih awas terhadap pengeluaran Anda. Pasalnya, berdasarkan riset oleh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Stevanus Pangestu dan Erwin Karnadi, dompet digital mendorong generasi Z lebih konsumtif.

- Menurut survei yang dilakukan terhadap 405 responden berusia 18-21 tahun di wilayah Jabodetabek tersebut, 58,4 persen di antaranya merasa menjadi lebih rajin belanja. Hanya 30 persen responden yang merasa bisa mengelola keuangannya dengan baik, sementara 27 persen responden menyatakan sebaliknya. Berdasarkan survei itu, 90 persen responden memakai OVO, 86 persen Gopay, 56 persen Dana, dan 5 persen LinkAja. Artinya, satu responden bisa memiliki lebih dari satu dompet digital.

- Stevanus memaparkan beberapa alasan yang membuat generasi Z lebih konsumtif ketika menggunakan dompet digital. Menurut dia, persaingan sengit antar perusahaan dompet digital merebut pangsa pasar mendorong munculnya banyak promosi, seperti perang diskon yang dapat mengaburkan pemahaman atas konsep “hemat” dan mendorong perilaku konsumtif. “Masyarakat tergoda mengeluarkan uang untuk sesuatu yang sebetulnya tidak dibutuhkan, uang yang dapat dialokasikan untuk hal lain,” ujarnya.

- Di satu sisi, menurut Stevanus, besarnya konsumsi masyarakat dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Omzet Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) meningkat dengan naiknya permintaan konsumen berkat bantuan promosi oleh dompet digital. Namun, di sisi lain, konsumerisme yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan mental seseorang dan menjebak mereka ke masuk dalam lilitan utang.

- Demi memanjakan pengguna dengan promosi, perusahaan dompet digital memang rela “bakar uang”. Mereka tidak segan menggelontorkan duitnya untuk memberikan diskon sebesar-besarnya buat menggaet konsumen. “Strategi seperti ini digunakan perusahaan untuk mengakuisisi mitra, supaya mereka (mitra) mau pakai (dompet digital),” kata Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia Ignatius Untung.

- Menurut data Bank Indonesia, hingga Agustus 2019, terdapat 38 dompet digital yang beroperasi di Indonesia. Pada 2018, transaksi melalui dompet digital mencapai US$ 1,5 miliar, didominasi oleh dua merek besar, yakni Gopay dan OVO. Per Februari 2019, transaksi melalui Gopay menembus US$ 6,3 miliar atau sekitar Rp 89,5 triliun. Sementara itu, selama semester I 2019, transaksi melalui OVO mencapai sekitar Rp 20,8 triliun. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

- Untuk meminimalisir sifat konsumtif, perencana keuangan Agustina Fitria Aryani menyarankan agar pengguna tidak menyimpan uang terlalu banyak di dompet digital. Saldo yang berlimpah bukan tidak mungkin membuat pengguna tergiur, apalagi jika ada tawaran diskon. Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya memberikan saran serupa. Apalagi, menurut dia, pengguna dompet digital tak lepas dari risiko pembobolan akun dan pencurian dana.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- Dua akun Twitter milik Facebook, @Facebook dan @Messenger, diambil alih sementara oleh sekelompok peretas pada 7 Februari 2020 lalu. Para peretas itu dijuluki OurMine dan diduga berasal dari Arab Saudi. OurMine membajak kedua akun itu melalui Khoros, sebuah platform media sosial pihak ketiga. “Hai, kami adalah OurMine. Ya, bahkan Facebook bisa diretas. Tapi setidaknya keamanan mereka lebih baik daripada Twitter,” demikian yang tertulis dalam cuitan akun @Facebook. Tapi unggahan itu hilang dalam beberapa menit.

- Investigasi koran Inggris The Telegraph menemukan bahwa Facebook sebenarnya mengetahui celah keamanan yang memungkinkan peretas mencuri data pribadi penggunanya. Sembilan bulan sebelum pembobolan data pribadi 29 juta pengguna Facebook pada 2018, menurut sejumlah dokumen hukum, perusahaan milik Mark Zuckerberg tersebut telah berulang kali diperingatkan baik oleh karyawannya maupun orang luar, mengenai celah keamanan tersebut. Akan tetapi Facebook gagal memperbaikinya.

- Apple dikenai denda sebesar Rp 25 juta euro atau sekitar Rp 374 miliar oleh regulator Perancis, DGCCRF. Apple didenda karena tidak menginformasikan kepada para pengguna iPhone lawas bahwa pembaruan atau update sistem operasi iOS (versi 10.2.1 dan 11.2) pada 2017 lalu bisa memperlambat perangkat mereka. Adapun iPhone lawas yang dimaksud oleh DGCCRF adalah model iPhone 6, iPhone SE, dan iPhone 7. Menanggapi denda itu, Apple menyatakan, “Kami selalu ingin membuat produk yang aman dan membuat iPhone tetap awet selama mungkin.”

- Perusahaan keamanan siber Trend Micro baru saja merilis daftar malware yang menyamar sebagai aplikasi Android di Play Store yang mampu mengakses akun Facebook dan Google pengguna. Sebagian besar malware itu tersembunyi dalam aplikasi-aplikasi yang diklaim mampu mengoptimalkan performa ponsel dengan membersihkan file yang tidak berguna. Aplikasi itu antara lain Shoot Clean-Junk Cleaner, Phone Booster, CPU Cooler; Super Clean Lite-Booster, Clean & CPU Cooler; dan Rocket Cleaner.

- Kejaksaan Agung Amerika Serikat mengajukan dakwaan terhadap empat personel militer Cina terkait pembobolan jaringan komputer Equifax pada 2017. Equifax merupakan perusahaan pelaporan kredit konsumen yang bermarkas di Atlanta, Amerika. Menurut berkas dakwaan, keempat anggota Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) itu terlibat aksi peretasan terhadap data pribadi sekitar 145 juta orang. Kementerian Luar Negeri Cina membantah tuduhan itu dan menuding balik bahwa Cina yang sesungguhnya menjadi korban pencurian data oleh Amerika.

- Komisi Privasi Nasional (NPC) Filipina melarang tiga sistem pemrosesan data pribadi Grab karena dianggap melanggar hak privasi pelanggan. Langkah ini diambil setelah NPC menemukan kelemahan dalam sistem verifikasi wajah Grab serta uji coba sistem perekaman audio dan video dalam kendaraan. Sistem perekaman video misalnya, memungkinkan Grab memantau situasi, bahkan mengambil foto, situasi di dalam kendaraan setelah pengemudi menekan tombol darurat.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Hoaks seputar virus Corona baru, 2019-nCoV, seakan tak ada habisnya, termasuk narasi yang mengaitkan virus yang bermula di Wuhan, Cina, ini dengan agama. Salah satunya adalah kabar bahwa warga Cina berlomba-lomba ikut salat berjamaah karena takut terhadap virus Corona. Sebuah video memperlihatkan ratusan orang sedang salat berjamaah di halaman sebuah masjid. Tampak di seberang masjid itu deretan toko dengan nama berhuruf Cina.

Untuk mendapatkan lokasi masjid itu, Tim CekFakta Tempo bekerja sama dengan Taiwan Fact-Check Center. Berbekal petunjuk nama toko berhuruf Cina yang berada di seberang masjid itu, ditemukan bahwa dua toko tersebut adalah “Rental Mobil Huida” dan “Grosir Gandum, Daging Sapi, dan Kambing” dengan alamat Jiangbin West Road Nomor 111, Yiwu, Kota Jinhua, Provinsi Zhejiang, Cina. Lewat maps Baidu, terlihat bahwa dua toko itu memang terletak di seberang Masjid Yiwu. Saat lokasi masjid itu diklik, terlihat bahwa arsitektur Masjid Yiwu identik dengan arsitektur masjid dalam video yang beredar di media sosial.

Berbekal petunjuk lokasi itu, Tempo menelusuri asal-usul video tersebut di YouTube dan menemukan video berbahasa Malayalam (bahasa resmi salah satu negara bagian India, Kerala) yang identik. Video itu diunggah oleh kanal Deshabhimani, salah satu surat kabar India, pada 7 Juni 2019. Menurut Deshabhimani, video tersebut diambil saat salat Idul Fitri di Masjid Yiwu, Cina. Dengan demikian, video itu tidak terkait dengan virus Corona Wuhan karena diambil sebelum munculnya virus tersebut pada Desember 2019 lalu.

Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:

Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.

Ikuti kami di media sosial:

Facebook

Twitter

Instagram

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Kominfo Klaim Take Down Ribuan Akun dan Konten Deepfake

1 jam lalu

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kemenkominfo, Prabu Revolusi, dalam diskusi upaya pemerintah dalam 'menyehatkan' sosial media, di Kantor Kemenkominfo, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 September 2024. TEMPO/Bagus Pribadi
Kominfo Klaim Take Down Ribuan Akun dan Konten Deepfake

Penghapusan konten dan akun deepfake dilakukan baik dari inisiatif Kemenkominfo maupun platform-platform yang kedapatan mengandung konten deepfake.


Alasan MRT Jakarta Gandeng Bank DKI untuk Luncurkan Sistem Pembayaran Martipay

7 hari lalu

Penumpang MRT Jakarta antre keluar di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 23 Juni 2024. PT MRT Jakarta menerapkan tarif layanan khusus Rp1 selama dua hari untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-497 Kota Jakarta. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Alasan MRT Jakarta Gandeng Bank DKI untuk Luncurkan Sistem Pembayaran Martipay

Dua BUMD DKI, MRT Jakarta dan Bank DKI berkolaborasi meluncurkan sistem pembayaran digital bernama Martipay


Kesaksian Perempuan Prancis yang Dibius Suami Selama 10 Tahun untuk Diperkosa 50 Orang

7 hari lalu

Gisele Pelicot, tengah, selama persidangan suaminya yang dituduh membiusnya selama hampir 10 tahun dan mengundang orang asing untuk memperkosanya di rumah mereka. Cuplikan video REUTERS
Kesaksian Perempuan Prancis yang Dibius Suami Selama 10 Tahun untuk Diperkosa 50 Orang

Gisele Pelicot, memberikan kesaksian pertama dalam persidangan Prancis dimana suaminya membiusnya agar dia diperkosa 50 orang selama satu dekade


Paus Fransiskus yang Punya Riwayat Pendidikan Kimia dan Prihatin pada Dampak AI dalam Top 3 Tekno

8 hari lalu

Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus saat menyapa umat katolik di Gereja Katedral Jakarta, Rabu, 4 September 2024. Paus akan bertemu dengan para uskup, imam, diakon, biarawan-biarawati, seminaris, dan katekis di Gereja Maria Diangkat ke Surga, Gereja Katerdral. TEMPO/Subekti.
Paus Fransiskus yang Punya Riwayat Pendidikan Kimia dan Prihatin pada Dampak AI dalam Top 3 Tekno

Dua artikel mengenai Paus Fransiskus, masing-masing terkait riwayat kimiawan dan perhatiannya soal dampak AI, mengisi Top 3 Tekno, 5 September 2024.


Park Gyu Young Jadi Korban Deepfake, Agensi Tegaskan Ambil Langkah Hukum

8 hari lalu

Park Gyu Young dalam drama Celebrity. Dok. Netflix
Park Gyu Young Jadi Korban Deepfake, Agensi Tegaskan Ambil Langkah Hukum

Agensi Park Gyu Young menegaskan akan mengambil langkah hukum terkait penyebaran konten deepfake yang menargetkan aktrisnya.


JYP Entertainment akan Laporkan Pembuat dan Penyebar Video Deepfake TWICE

13 hari lalu

TWICE. Foto: Instagram/@twicetagram
JYP Entertainment akan Laporkan Pembuat dan Penyebar Video Deepfake TWICE

Selain TWICE, sejumlah idol K-pop lainnya juga turut menjadi korban video deepfake yang sedang marak di Korea Selatan.


Pengadilan Perintahkan Jaringan Media Sosial X di Brasil Dibekukan Sementara

13 hari lalu

Elon Musk. Instagram
Pengadilan Perintahkan Jaringan Media Sosial X di Brasil Dibekukan Sementara

Musk menilai hakim mencoba memaksakan sensor yang tidak adil, namun hakim berkeras media sosial X perlu punya aturan soal ujaran kebencian


Deepfake dan Kejahatan Seksual, Korea Selatan Waspadai sebagai Ancaman Baru

13 hari lalu

Ilustrasi pornografi.[Sky News]
Deepfake dan Kejahatan Seksual, Korea Selatan Waspadai sebagai Ancaman Baru

Deepfake adalah video palsu yang dihasilkan menggunakan perangkat lunak digital, pembelajaran mesin, dan teknologi pertukaran wajah.


Presiden Korea Selatan Tindak Tegas Pornografi Deepfake, Apa Itu?

15 hari lalu

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol menghadiri pertemuan bilateral dengan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg (tidak terlihat di foto) selama pertemuan puncak peringatan 75 tahun NATO di Washington, AS, 11 Juli 2024.(REUTERS/Yves Herman)
Presiden Korea Selatan Tindak Tegas Pornografi Deepfake, Apa Itu?

Merespons epidemi kejahatan seks digital Presiden Korea Selatan pada Selasa lalu menyerukan penyelidikan terhadap pornografi deepfake. Apa itu?


Pengadilan AS Putuskan TikTok Harus Hadapi Tuntutan Hukum atas Kematian Anak 10 Tahun

15 hari lalu

Bendera AS dan logo TikTok terlihat melalui pecahan kaca dalam ilustrasi yang diambil pada 20 Maret 2024. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo
Pengadilan AS Putuskan TikTok Harus Hadapi Tuntutan Hukum atas Kematian Anak 10 Tahun

Pengadilan banding AS terima gugatan terhadap TikTok oleh ibu dari seorang anak perempuan berusia 10 tahun yang meninggal akibat tantangan viral