- Laporan Washington Post menyebutkan, selama tiga tahun menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump telah membuat 16.241 klaim yang salah atau menyesatkan. Tapi banyak warga Amerika tetap mendukung Trump. Mengapa seseorang tetap percaya terhadap politikus yang gemar menyebarkan hoaks? Apakah mereka mengabaikan fakta-fakta yang mengungkap kebohongan itu?
- Membanjirnya informasi mengenai virus Corona Wuhan dimanfaatkan oleh peretas untuk menyebarkan perangkat lunak jahat alias malware. Menurut temuan sebuah firma keamanan siber, malware tersebut menyamar dalam bentuk file dokumen ataupun video. Nama-nama file itu menyiratkan bahwa mereka berisi informasi seputar virus Corona Wuhan, yang sebenarnya palsu.
Selamat hari Jumat, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah laporan dari Washington Post bahwa Donald Trump telah melontarkan lebih dari 16 ribu klaim palsu selama 1.095 hari ia memerintah Amerika. Artinya, dalam satu hari, Trump membuat 14-15 hoaks. Angka yang begitu fantastis, namun ternyata tidak mempengaruhi kepercayaan para pendukungnya. Menurut sebuah survei, elektabilitas Trump stabil dalam tiga tahun terakhir ini. Banyak pula Republikan yang masih menganggapnya jujur. Kok bisa?
Apakah Anda menerima nawala edisi 7 Februari 2020 ini dari teman dan bukan dari e-mail Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
KENAPA POLITIKUS PENYEBAR HOAKS MASIH DIPERCAYA?
Upaya pemakzulan yang diajukan oleh DPR Amerika Serikat sejak Desember 2019 lalu—yang akhirnya gagal karena Presiden Donald Trump diselamatkan para rekannya sesama politikus Partai Republik yang menguasai Senat—ternyata tidak berdampak signifikan terhadap citra Trump. Survei terbaru yang dirilis kantor berita Reuters menyatakan 42 persen warga Amerika puas dengan kinerja Trump dan 54 persennya tidak. Angka ini tidak jauh berbeda dengan survei pada September 2019 di mana 43 persen warga Amerika puas dan 53 persennya tidak.
Survei-survei lain pun menunjukkan hal serupa. Approval rating Trump cenderung stabil di angka 30-40 persen selama tiga tahun ia memerintah. Sebanyak 77 persen Republikan menganggapnya jujur. Padahal, menurut laporan Washington Post, sejak Trump menjabat pada 20 Januari 2017 hingga 19 Januari 2020 (1.095 hari), Trump telah membuat 16.241 klaim yang salah atau menyesatkan. Jika dirata-rata, dalam sehari, Trump melontarkan 14-15 hoaks. Wow! Kenapa warga Amerika tetap mendukung dan mempercayai Trump?
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Stephan Lewandowsky, peneliti dari University of Bristol, Inggris, pendukung Trump bukannya tidak mau tahu dengan berbagai koreksi atas kebohongan Trump. Mereka responsif, dan ketika tahu bahwa sebuah klaim itu salah, tingkat kepercayaan terhadap klaim tersebut berkurang. Namun, menurut riset itu pula, tidak ada hubungan antara berkurangnya kepercayaan tersebut dan perasaan mereka terhadap Trump. Dukungan publik tetap stabil, walaupun mereka menyadari pernyataan Trump tidak akurat.
Menurut Lewandowsky, pemilih bisa jadi memahami dengan baik bahwa seorang politikus yang didukungnya berbohong. Tapi mereka mungkin mengabaikan itu. “Para pemilih itu tampaknya menerima dibohongi, sehingga tidak ada dampaknya pada kandidat favorit mereka,” ujar Lewandowsky.
Riset oleh sekelompok peneliti dari Carnegie Mellon University, Amerika, menjelaskan alasan mengapa seseorang tetap menerima politikus yang kerap berbohong. Orang yang merasa kehilangan haknya dan terpinggirkan dari sebuah sistem politik cenderung menerima kebohongan dari politikus yang mengklaim diri “membela rakyat” dan “melawan kemapanan atau kelompok elite”.
Dalam keadaan khusus ini, perilaku politikus yang berseberangan dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok elite, seperti kejujuran atau keadilan, dapat menjadi sinyal bahwa politikus tersebut adalah “pejuang rakyat yang melawan kemapanan”. Oleh karena itu, tindakan Trump yang jelas-jelas mengabaikan fakta justru membuatnya terlihat otentik di mata pendukungnya.
Selain itu, menurut riset oleh Daniel Effron, peneliti dari London Business School, Inggris, seseorang dapat diarahkan untuk memaafkan orang yang berbohong, menggunakan pemikiran kontrafaktual dan imajinasi yang bisa membuat kebohongan terasa benar. Misalnya, untuk mempertahankan klaim palsu bahwa lebih banyak orang yang menghadiri pelantikan Trump daripada pelantikan Presiden Amerika sebelumnya, Barack Obama, juru bicara Trump menyatakan bahwa kerumunan Trump akan lebih besar jika cuaca lebih baik.
Anda masih ingat istilah firehose of falsehood? Trump juga menggunakan teknik ini, tepatnya sejak kampanye Pemilihan Presiden Amerika pada 2016 lalu. Pada dasarnya, metode ini menggunakan kebohongan tersurat atau obvious lies untuk membangun ketakutan. Cara ini dinilai sangat efektif sebab mempengaruhi amygdala, bagian otak yang bertugas mendeteksi rasa takut.
Kalau pun kebohongannya terbongkar, alih-alih mengoreksi, Trump malah berdalih bahwa informasi yang dilontarkannya adalah fakta alternatif. Menurut sejumlah penelitian, perilaku Trump ini membuat warga Amerika bimbang dan pada akhirnya mempercayai informasi yang dibagikan Trump. Walaupun pengecekan fakta sudah dilakukan, keyakinan pendukung Trump tidak akan berubah dengan mudah.
Lalu, bagaimana agar seseorang tidak lagi mempercayai politikus yang kerap berbohong? Jawabannya tentu saja membuat mereka tidak lagi merasa terpinggirkan dari sistem politik. Menurut sekelompok peneliti Amerika, ketika seseorang telah menganggap sistem politik di negaranya sah dan adil, mereka bakal menolak politikus yang berbohong. Mereka pun akan benci dibohongi.
ADA MALWARE DI BALIK ISU CORONA
Kabar tentang virus Corona jenis 2019-nCoV begitu menyita perhatian kita beberapa pekan terakhir. Berbagai informasi terkait virus itu pun kita terima dengan senang hati mengingat masih hijaunya pemahaman kita mengenai virus Corona jenis baru ini. Penjelasan mengenai virus yang pertama kali dilaporkan di Kota Wuhan, Cina, itu pun kita telan begitu saja, baik yang berupa tulisan, foto, audio, maupun video. Tapi tahukah Anda bahwa kencangnya mobilisasi informasi soal virus ini dimanfaatkan oleh para peretas untuk menyebarkan perangkat lunak jahat alias malware?
- Perusahaan keamanan siber Kaspersky menemukan berbagai file berbahaya yang menyamar sebagai informasi mengenai virus Corona Wuhan. File berbahaya itu menyebar dalam berbagai bentuk, baik PDF, DOCX, MP4, dan sebagainya. Adapun nama-nama file tersebut menyiratkan bahwa file itu berisi instruksi tentang cara melindungi diri dari virus, informasi terkini seputar ancamannya, bahkan prosedur deteksi virus, yang sebenarnya palsu.
- Menurut analis Kaspersky, Anton Ivanov, file berbahaya tersebut berisi berbagai ancaman, mulai dari Trojan hingga Worm, yang bisa menghancurkan, memblokir, memodifikasi, atau menyalin data serta mengganggu jaringan komputer. Untuk menghindari file berbahaya tersebut, Kaspersky menyarankan untuk tidak menyentuh tautan mencurigakan yang menjanjikan konten eksklusif. Selain itu, lihat ekstensi file yang diunduh. File dokumen atau video seharusnya tidak dibuat dalam format .exe atau .lnk.
- Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengatakan bahwa salah satu saluran yang digunakan peretas untuk menyebarkan malware yang menyamar sebagai informasi mengenai virus Corona Wuhan adalah e-mail. Hal ini terjadi di Jepang. Dalam e-mail yang dikirimkan ke korban, peretas menyisipkan malware berekstensi .txt, .pdf, atau .exe. Korban diminta untuk mengunduh dan membuka file tersebut, yang kemudian membuat peretas mendapatkan akses ke sistem komputer korban.
- Selain e-mail, menurut Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangarepan, malware juga dapat disebarkan melalui aplikasi pesan, khususnya WhatsApp. Semuel menuturkan, peretas kerap memanfaatkan isu yang sedang hangat untuk melancarkan aksinya. Keingintahuan mengenai virus Corona Wuhan dapat membuat masyarakat dengan mudah terpancing untuk membuka pesan yang sebenarnya berisi malware.
- Menurut Semuel, malware tersebut menempel pada hoaks-hoaks yang beredar. “Yang memang bisa memancing orang untuk membukanya,” ujarnya. Sejak 23 Januari hingga 3 Februari 2020, Kominfo mencatat 54 hoaks mengenai virus Corona Wuhan yang tersebar di media sosial maupun aplikasi pesan. Hoaks-hoaks itu antara lain menyebutkan bahwa sudah ada pasien di Indonesia yang meninggal akibat virus Corona serta khasiat bawang putih dalam menyembuhkan pasien yang terinfeksi virus ini.
- Berdasarkan pantauan Kominfo, sebaran hoaks yang berkaitan dengan virus Corona Wuhan cenderung meningkat. Pada 31 Januari 2020, Kominfo mencatat 36 hoaks mengenai virus Corona. Tiga hari kemudian, jumlahnya sudah bertambah 18 menjadi 54 hoaks. Hal ini mendorong Kominfo untuk lebih proaktif memblokir konten-konten yang berisi hoaks dan mendorong aparat penegak hukum untuk menindak para pelaku penyebaran hoaks terkait virus Corona tersebut.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Kaspersky menemukan lebih dari 30 ribu file berbahaya yang menggunakan nama-nama artis yang masuk dalam nominasi Grammy Awards 2020 untuk menyebarkan malware. Menurut Kaspersky, terdapat 12 judul lagu dari artis-artis tersebut yang digunakan peretas untuk menyebarkan malware, di antaranya 7 Rings (Ariana Grande), Bad Guy (Billie Eilish), Hey, Ma (Bon Iver), Always Remember Us This Way (Lady Gaga), Sunflower dan Swae Lee (Post Malone), serta Lover (Taylor Swift).
- Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat menyatakan bakal terus mengandangkan seluruh armada drone miliknya, kecuali dalam keadaan darurat, seperti pemadaman kebakaran atau misi penyelamatan. Hingga Oktober 2019, AS telah menghentikan operasi lebih dari 800 drone. Menurut AS, drone, khususnya yang dibuat oleh Cina, bisa mengancam keamanan nasional. Mereka khawatir aksi mata-mata serta serangan siber Cina dilakukan melalui drone. Produsen drone asal Cina, DJI, mengaku kecewa atas larangan itu karena meragukan kinerja, keamanan, dan keandalannya.
- Kebijakan Apple untuk menempatkan privasi pengguna di atas kepentingan pemerintah di berbagai negara menyebabkan perusahaan yang didirikan oleh Steve Jobs ini bersitegang dengan sejumlah negara. Saat ini Apple tengah berkonflik dengan Rusia lantaran undang-undang baru terkait internet di negara itu memaksa perusahaan teknologi, termasuk Apple, untuk memilih: berhenti beroperasi di negara tersebut atau mengubah kebijakannya tentang privasi pengguna.
- Pendiri Telegram, Pavel Durov, mengkritisi kelemahan WhatsApp menyusul bobolnya ponsel bos Amazon, Jeff Bezos, karena diduga menerima malware dari akun WhatsApp Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman. Menurut Durov, terdapat tiga kelemahan dalam sistem keamanan WhatsApp. Pertama, terkait backup data chat pengguna di cloud yang tak lagi terlindungi enkripsi. Kedua, soal celah backdoor yang sengaja dipasang. Dan ketiga, soal tidak adanya pihak ketiga yang bisa mengecek bahwa keamanan enkripsi benar-benar dilakukan oleh WhatsApp.
- Menjelang Pemilu AS 2020, YouTube memaparkan rencana besarnya dalam memerangi hoaks. YouTube bakal melarang video yang bertujuan menyesatkan seseorang tentang pemilu. YouTube juga akan melarang video manipulasi ataupun deepfake. YouTube menyatakan akan menegakkan kebijakannya itu tanpa memperhatikan keberpihakan politik video tersebut.
- Pada November 2019, firma keamanan siber Check Point menemukan celah keamanan pada aplikasi video TikTok. Celah itu memungkinkan peretas mengambil alih akun TikTok seseorang hanya dengan mengirimkan tautan “jebakan” lewat SMS. Menurut juru bicara TikTok, Luke Deshotels, celah berbahaya itu telah ditambal sepenuhnya. Dia mengatakan celah tersebut ditemukan pada aplikasi TikTok versi lama. “Sebelum diungkap ke publik, pihak Check Point sudah setuju bahwa semua masalah yang dilaporkan telah ditambal dalam versi terbaru dari aplikasi kami,” katanya.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Hoaks seputar virus Corona baru 2019-nCoV masih terus menyebar di dunia maya. Mirisnya, kabar palsu terkait virus Corona yang bermula di Wuhan, Cina, itu akhirnya memakan korban. Karena termakan hoaks bahwa kucing dan anjing dapat menularkan 2019-nCoV, sejumlah warga Cina melempar kucing dan anjing peliharaannya dari apartemen mereka.
Berdasarkan artikel cek fakta Tempo pada 4 Januari 2020, beberapa kucing dan anjing di Cina dibuang oleh para pemiliknya setelah munculnya wawancara China Central Television dengan ahli epidemiologi Li Lanjuan. Menurut dia, hewan peliharaan mesti dikarantina jika melakukan kontak dengan suspect virus Corona Wuhan. Namun, oleh media lokal Cina yang bernama Zhibo China, kata-kata Lanjuan diubah menjadi “kucing dan anjing dapat menyebarkan virus Corona”. Rumor itu menyebar cepat setelah Zhibo China mengunggahnya di media sosial Weibo. Untuk melusurkan rumor tersebut, China Global Television Network memuat penjelasan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan binatang peliharaan seperti kucing dan anjing dapat menularkan virus Corona Wuhan.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta terhadap beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Benarkah kepolisian Yogyakarta menerbitkan daftar titik rawan kejahatan jalanan klitih?
- Benarkah WHO menyerukan untuk mengisolasi Cina karena virus Corona Wuhan?
- Benarkah pemerintah Australia berencana membunuh 2 juta kucing liar dengan sosis beracun?
- Benarkah ada 40 ribu TKA asal Cina di Morowali yang dikarantina terkait virus Corona Wuhan?
- Benarkah masjid dalam foto ini sengaja dibakar?
- Benarkah virus Corona Wuhan bisa menular lewat keringat pekerja pabrik di Cina yang menempel pada makanan kaleng?
- Benarkah foto ini terkait dengan korban virus Corona Wuhan yang disebut dikremasi secara diam-diam?
- Benarkah ada lima pasien suspect virus Corona Wuhan di Semarang yang salah satunya meninggal dunia?
- Benarkah virus Corona Wuhan bisa menular lewat game Free Fire dan ponsel Xiaomi?
- Benarkah rumah sakit khusus virus Corona Wuhan di Cina dibangun dalam waktu dua hari?
- Benarkah puluhan orang yang tergeletak dalam foto ini adalah warga Cina yang terkena virus Corona Wuhan?
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: