- Sebuah organisasi independen internasional merilis laporan yang menyatakan bahwa kebebasan berinternet di Indonesia turun. Laporan itu menyebutkan salah satu penyebab mundurnya kebebasan berinternet di Indonesia adalah maraknya pendengung atau buzzer yang dipekerjakan oleh dua kandidat dalam Pemilihan Presiden 2019.
- Akhir Oktober 2019, induk perusahaan WhatsApp, Facebook, menggugat sebuah perusahaan Israel yang menciptakan perangkat lunak untuk membobol data di ponsel seseorang. Perangkat lunak mata-mata atau spyware itu biasanya digunakan oleh pemerintah suatu negara untuk mengawasi para pengkritiknya.
Halo, pembaca Nawala CekFakta Tempo! Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika membaca skor kebebasan berinternet di Indonesia turun? Mungkin Anda teringat pada pembatasan akses media sosial pada 22 Mei 2019 saat kericuhan meletus dalam demonstrasi yang menentang hasil pemilihan presiden. Mungkin juga Anda teringat pada pemblokiran internet di Papua saat kerusuhan terjadi dalam aksi protes atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Ya, kedua peristiwa itu merupakan penyebab mundurnya kebebasan berinternet di negeri ini selain maraknya buzzer. Namun, selain itu, sebenarnya masih banyak lagi hal yang menyebabkan kebebasan berinternet kita turun.
Apakah Anda menerima nawala edisi 8 November 2019 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.
Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.
SKOR KEBEBASAN BERINTERNET INDONESIA TURUN
Media sosial memungkinkan kita untuk bersuara atas berbagai hal. Melalui media sosial kita bisa melontarkan berbagai pendapat, termasuk kritik, atas kebijakan pemerintah. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri media sosial juga marak sebagai arena para pendengung atau buzzer. Biasanya, buzzer dipekerjakan seseorang—termasuk politikus—untuk menghalau kritik-kritik yang disuarakan oleh publik. Hal ini mengancam demokrasi, termasuk kebebasan bersuara di dunia maya.
Fenomena ini terpantau oleh Freedom House, organisasi pengawas independen yang berfokus pada kebebasan dan demokrasi di dunia. Dalam laporannya yang berjudul “Freedom on the Net 2019”, kebebasan berinternet di Indonesia pada 2019 dinyatakan menurun. Skor kebebasan berinternet di Indonesia anjlok menjadi 51 dari skala 100 pada 2019 dari tahun sebelumnya 54 dari skala 100.
Menurut laporan itu, kebebasan berinternet di Indonesia memburuk lantaran pembatasan akses media sosial serta penggunaan konten manipulasi dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Selain itu, para pengkritik kebijakan pemerintah terus mendapat serangan melalui akun media sosial pribadi mereka, bahkan ada yang harus menghadapi tuntutan hukum. Berikut penjelasan dalam laporan “Freedom on the Net 2019” terkait beberapa penyebab turunnya kebebasan berinternet di Indonesia:
- Dalam Pilpres 2019, kedua calon presiden menyewa ahli strategi kampanye daring yang memobilisasi buzzer untuk menyebarkan propaganda. Satu buzzer memimpin tim yang menjalankan 250 akun palsu di berbagai platform, seperti Facebook, WhatsApp, YouTube, dan Twitter. Akun-akun palsu itu menciptakan sekaligus memanipulasi berbagai tagar yang menguntungkan calon presiden dukungannya. Disinformasi pun merebak hingga pilpres rampung. Banyak unggahan mendengungkan kecurangan dalam pilpres. Tuduhan itulah yang memicu demonstrasi 22 Mei.
- Pasca Pilpres 2019, pemerintah membatasi akses media sosial dan aplikasi pesan WhatsApp selama dua hari pada Mei lalu. Langkah itu diambil pasca terjadinya kericuhan dalam demonstrasi 22 Mei yang menentang hasil Pilpres 2019 di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta. Pada akhir Agustus hingga awal September, pemerintah juga memblokir akses internet di Papua setelah kerusuhan meletus dalam demonstrasi yang memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
- Pada Januari 2019, aktivis Papua, Agustinus Yolemal, dipenjara selama satu tahun karena dianggap menyebarkan permusuhan terhadap negara. Tuduhan itu berangkat dari unggahan video di akun Facebook milik Yolemal yang memperlihatkan putranya menyanyikan lagu tentang kemerdekaan Papua. Selain itu, seorang wanita dihukum dipenjara selama 10 bulan dan didenda Rp 500 ribu pada Maret lalu karena mengirimkan pesan WhatsApp yang berisi kritik terhadap sebuah perusahaan tekstil. Pesan tersebut dikirimkan dari nomor telepon yang menurut wanita itu tidak lagi dia pakai.
Memburuknya kebebasan berinternet ini menyebabkan Freedom House menempatkan Indonesia di antara 33 negara yang kebebasan internetnya turun pada tahun ini. Menurut laporan lembaga tersebut tersebut, penurunan skor kebebasan berinternet terbesar terjadi di Sudan dan Kazakhstan. Selain itu, kebebasan berinternet juga anjlok di Brasil, Bangladesh, dan Zimbabwe.
Turunnya kebebasan berinternet di Sudan, menurut laporan “Freedom on the Net 2019”, disebabkan oleh pemblokiran media sosial menyusul gelombang demonstrasi yang mendesak penggulingan Presiden Omar al-Bashir. Tak tanggung-tanggung, pemblokiran itu terjadi selama dua bulan, sejak 21 Desember 2018 hingga 26 Februari 2019. Pemerintah Sudan juga menempuh berbagai cara untuk mencegah mobilisasi demonstran lewat media sosial, salah satunya dengan melakukan sweeping terhadap ponsel para demonstran.
Skor kebebasan berinternet di Kazakhstan anjlok karena alasan yang serupa dengan Sudan. Mundurnya Presiden Nursultan Nazarbayev pada Maret 2019 dan terpilihnya presiden baru, Kassym-Jomart Yokayev, memicu protes masyarakat Kazakhstan. Untuk meredam demonstrasi itu, pemerintah Kazakhstan membatasi akses internet maupun media sosial. Situs-situs berita independen diblokir dan aktivis serta jurnalis ditahan lantaran aktivitas mereka di media sosial dianggap berbahaya.
Semakin Terancam oleh RUU Keamanan Siber
Rancangan Undang-Undang Keamanan Siber merupakan salah satu RUU yang sedang digodok oleh DPR. RUU ini disinyalir dapat menjadi ancaman bagi kebebasan berinternet. Meskipun dalam rancangan itu disebutkan bahwa penyelenggaraan keamanan siber mesti menghormati HAM, menurut Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar, RUU ini kental dengan nuansa pembatasan. Hal itu terlihat dari pemberian wewenang yang begitu besar terhadap Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk memblokir konten atau aplikasi.
RUU Keamanan Siber menyatakan pemblokiran bisa dilakukan terhadap konten atau aplikasi yang berbahaya. Tapi, menurut Direktur Imparsial, Al Araf, tidak ada definisi dan kriteria yang jelas mengenai bahaya yang dimaksud. Di sisi lain, pemblokiran sudah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sehingga kalau dibiarkan ketentuan mengenai ini — termasuk kewenangan antar kementerian atau lembaganya —- akan tumpang tindih.
Menurut Ketua Internet Development Institute, Svaradiva Aurdea Devi, tampak dalam RUU itu keinginan untuk menjadikan BSSN sebagai lembaga super yang memiliki kewenangan eksekutif, legislatif, sekaligus yudikatif. Padahal, selama ini, fungsi keamanan siber sudah dijalankan oleh TNI, Polri, Badan Intelijen Negara, dan pihak swasta, seperti penyedia jasa internet dan pusat data, perusahaan antivirus, serta kelompok masyarakat sipil.
Jika RUU Keamanan Siber dipaksakan untuk disahkan, kata Svaradiva, perkembangan teknologi keamanan siber akan terhambat karena penelitian, pengembangan produk dan prototipe, izin, sertifikasi, serta akreditasi dikontrol oleh satu lembaga tanpa adanya pengawas. “Investor akan malas berinvestasi karena izin semakin banyak. Berbagai startup pun akan waswas karena ketidakjelasan tolok ukur konten yang melanggar UU,” ujarnya.
Pada 2018, International Telecommunication Union membuat panduan strategi keamanan siber nasional, salah satunya kerja sama pemerintah dan sektor swasta. DPR harus paham bahwa internet berkembang hingga semaju ini karena memiliki tiga DNA, yakni: mengedepankan proses partisipatif; memprioritaskan stabilitas dan integritas sistem; serta menjaga sifat terbuka dari teknologi yang mendasarinya. Seyogianya mereka tidak bersikukuh mengesahkan RUU Keamanan Siber yang mengancam kebebasan berinternet.
WHATSAPP GUGAT SPYWARE ISRAEL
Facebook, induk perusahaan WhatsApp, melayangkan gugatan terhadap sebuah firma siber, NSO Group, pada akhir Oktober 2019 lalu. Gugatan itu dilayangkan karena perusahaan asal Israel tersebut menciptakan perangkat lunak mata-mata atau spyware yang memungkinkan kliennya mencuri data dari ponsel seseorang melalui WhatsApp. Lewat panggilan video di aplikasi pesan ini, spyware yang dikenal dengan nama Pegasus itu ditanamkan ke ponsel seseorang. Setelah masuk ke dalam ponsel, spyware tersebut bisa mengambil semua data, baik password, kontak, pesan, lokasi, kalender, maupun rekaman audio dari panggilan di WhatsApp.
- Gugatan Facebook menyatakan bahwa, dalam waktu dua minggu antara April hingga Mei 2019, Pegasus telah digunakan untuk menyerang 1.400 ponsel. Menurut gugatan tersebut, ada sekitar seratus pihak yang menjadi target serangan spyware itu, di antaranya jurnalis, aktivis Hak Asasi Manusia, pengacara, juga oposisi, diplomat, serta pejabat kantor perwakilan negara lain.
- Facebook tidak menuduh pemerintahan negara tertentu. Namun, menurut majalah Forbes, pemerintah Arab Saudi termasuk yang diduga menggunakan Pegasus untuk memata-matai oposisi, termasuk jurnalis senior Arab Saudi, Jamal Khashoggi, yang terbunuh pada Oktober 2018.
- Lembaga Amnesty International mensinyalir pemerintah Bahrain, Uni Emirat Arab dan Meksiko juga menggunakan Pegasus. Dalam gugatan Facebook, pengguna WhatsApp di ketiga negara itu disebut ikut menjadi korban peretasan spyware tersebut. Amnesty International juga menemukan bahwa serangan Pegasus ditargetkan kepada dua aktivis HAM asal Maroko, Maati Monjib dan Abdessadak El Bouchattaoui.
- Menanggapi gugatan itu, NSO Group menyatakan Pegasus dikembangkan untuk membantu aparat intelijen dan penegak hukum pemerintah yang menjadi kliennya, untuk memerangi terorisme dan kejahatan serius. Dalam pernyataan resminya, NSO Group menulis, “Teknologi ini telah membantu menyelamatkan ribuan nyawa dalam beberapa tahun terakhir.”
- NSO Group menyatakan aplikasi pesan terenkripsi seperti WhatsApp bisa digunakan oleh para pedofil, gembong narkoba dan teroris untuk melanggengkan aktivitas mereka. Menurut mereka, tanpa Pegasus yang bisa menembus enkripsi WhatsApp, penegak hukum bakal menemui hambatan dalam menindak aktivitas-aktivitas kriminal itu.
Lalu, bagaimana cara untuk mengetahui apakah ponsel terserang Pegasus? Menurut pakar keamanan siber Symantec, Domingo Guerra, kita mesti awas dengan selalu mendeteksi perubahan pada ponsel. Daya tahan baterai yang berbeda dari biasanya bisa menjadi tanda bahwa ponsel telah dibobol. “Karena menerima dan mengirim banyak data,” ujar Guerra. Dia menyarankan pengguna ponsel untuk rajin memperbarui WhatsApp ataupun sistem operasi ke versi terbaru.
Berbeda dengan Guerra, pakar keamanan siber Kaspersky Lab, Jay Rosenberg, berpendapat masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap merebaknya spyware itu. Kenapa? Menurut dia, Pegasus merupakan jenis spyware yang sangat mahal, harganya jutaan dolar Amerika Serikat, dan hanya dijual kepada pemerintah. “Kecuali jika Anda merupakan salah satu target pemerintah, Anda baru perlu merasa khawatir,” kata Rosenberg.
WAKTUNYA TRIVIA!
Berikut beberapa kabar soal disinformasi dan upaya menangkalnya pekan ini yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- Investigasi BBC mengungkap para pekerja rumah tangga (PRT) Kuwait diperjualbelikan secara ilegal di media sosial. Beberapa transaksi yang ditemukan BBC terjadi di Instagram. Penjual mempromosikan para PRT itu melalui tagar-tagar tertentu, sementara negosiasi dilakukan melalui pesan pribadi. Terdapat pula transaksi jual-beli PRT Kuwait di aplikasi yang bernama 4Sale. Lewat aplikasi itu, pembeli bisa mencari PRT berdasarkan ras, harga, dan sebagainya.
- Video propaganda Cina tentang demonstrasi Hong Kong viral di YouTube. Video yang berjudul “Who’s behind Hong Kong protests?” itu berisi narasi bahwa agen-agen Amerika Serikat yang memicu aksi tersebut. Hingga kini, video yang diunggah oleh stasiun televisi Cina, China Global Television Network, itu telah ditonton hingga lebih dari 500 ribu kali. Salah satu hal yang membuat video itu viral, menurut data AlgoTransparency, adalah karena algoritma YouTube merekomendasikan video itu enam kali lebih banyak dari video lainnya ketika pengguna mencari “demonstran Hong Kong” pada 24 Agustus 2019.
- Sekelompok pembuat konten YouTube memprotes rencana Komisi Perdagangan Federal AS untuk membuat aturan baru atas video anak-anak di platformnya. Menurut kelompok itu, aturan tersebut akan merugikan mereka secara finansial. Pada September 2019 lalu, komisi mendenda YouTube dan induk perusahaannya, Google, karena melanggar aturan privasi dengan melacak kebiasaan pengguna anak-anak. YouTube pun diminta untuk tidak lagi menjalankan iklan pada video anak-anak.
- Twitter akhirnya membuat kebijakan baru yang melarang iklan politik di platformnya. Ketentuan itu diumumkan oleh CEO Twitter, Jack Dorsey, di akun Twitter pribadinya pada 31 Oktober 2019. Menurut Dorsey, pesan politik dikatakan menjangkau sasaran ketika pengguna memutuskan me-retweet pesan itu atau bahkan mengikuti akun pembuat pesan itu. “Membayar iklan untuk memperoleh jangkauan itu akan meniadakan proses pengambilan keputusan pengguna tadi,” kata Dorsey.
- Facebook mengkonfirmasi bahwa kebijakannya yang memungkinkan politikus menayangkan iklan yang berisi informasi palsu akan diperluas ke Inggris. Perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg itu menyatakan tidak akan mengecek fakta iklan-iklan yang ditayangkan oleh partai politik Inggris. Pemeriksaan fakta juga dikecualikan dari iklan ribuan kandidat yang mencalonkan diri dalam pemilihan anggota House of Commons Inggris pada Desember 2019 mendatang.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Awal pekan ini, lini masa media sosial ramai dengan isu bahwa kerusakan mata penyidik KPK, Novel Baswedan, rekayasa belaka. Isu itu muncul seiring dengan beredarnya video NET yang memperlihatkan Novel tengah berada di atas kursi roda. Kondisi Novel dalam video itulah yang membuat para penyebar isu tadi melontarkan pertanyaan: mengapa mata Novel saat itu tidak berselaput putih dan mengapa kulit wajah Novel tidak rusak.
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, video NET itu diunggah pada 20 April 2017 atau sembilan hari setelah peristiwa penyiraman air keras terhadap Novel pada 11 April 2017. Saat itu, menurut laporan medis Novel, ia sudah berada di Singapura untuk menjalani perawatan. Berdasarkan laporan itu, terdapat luka bakar ringan dan sedang pada wajah, hidung, dan kelopak mata Novel. Sedangkan kedua mata Novel cedera parah.
Saat dihubungi Tempo, Novel mengatakan bahwa video NET itu diambil sebelum ia menjalani operasi osteo odonto-keratoprosthesis (OOKP) pada mata kirinya. Sebelum operasi, menurut dia, matanya memang tidak terlihat merah, tapi bening seperti kelereng. "Saat itu, bila orang melihat mata kiri saya, seperti tidak sakit,” ujarnya. Padahal, banyak sel-sel mata Novel yang sebenarnya sudah mati. Fungsi penglihatan Novel pun sudah sangat berkurang.
Bagaimana temuan Tempo terkait mata Novel yang tidak berselaput putih dalam video NET itu? Bagaimana pula hasil penelusuran Tempo mengenai wajah Novel yang tidak rusak? Simak penjelasan lengkapnya di sini.
Selain artikel di atas, kami juga melakukan pemeriksaan fakta atas beberapa hoaks yang beredar. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta berikut:
- Lampu lalu lintas di Pasar Tanjung Jember dilengkapi teknologi hologram
- Virus pada babi yang bernama Hog Cholera menular pada manusia
- Polda Metro Jaya sebar selebaran penculik anak yang menyamar
- Pemerintahan Jokowi disebut telah mengesahkan UU tentang suara azan
- Menag Fachrul Razi disebut tidak akan perpanjang izin FPI
- WNA Denmark rusak pelinggih penunggun karang di rumah warga Bali
- Menag Fachrul Razi disebut mengatakan Allah bukan dari Arab
- Politikus Brasil diceburkan ke selokan karena tidak penuhi janji kampanyenya
- Mendikbud Nadiem Makarim disebut bagikan buku ajar penghayat kepercayaan sebagai bagian dari deislamisasi
Kenal seseorang yang tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: