- Semakin mendekati hari pencoblosan, semakin masyarakat Indonesia meragukan banyak hal. Sigi dari sejumlah lembaga survei memberikan angka-angka yang berbeda, menimbulkan tuduhan “survei bayaran” dari pihak yang menerima “nilai” rendah. Sementara itu, beban berat ada di pundak penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, untuk menjaga pemilu serentak ini luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil)—dua akronim yang, ironisnya, dipakai sejak Orde Baru.
- Sebaran hoaks yang kian masif juga memaksa para pemeriksa fakta Indonesia bekerja lembur. Senang rasanya ketika 2 April lalu kami bisa turut merayakan International Factchecking Day bersama para pemeriksa fakta dari seluruh dunia.
Selamat hari Jumat! Kami mohon maaf karena nawala edisi kesembilan ini baru terbit pada 5 April 2019, lebih lama dari biasanya. Hari-hari jelang pemilu ini sedikit mengubah rutinitas dapur redaksi. Namun jangan khawatir, ke depannya, nawala CekFakta Tempo masih akan muncul sepekan sekali. Mari berkorespondensi! Kami menerima kritik, ide, dan saran di sini.
Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.
YA, KITA MASIH BISA PERCAYA HASIL SURVEI... DENGAN CATATAN PENTING.
Bagaimana sebuah sigi merefleksikan kenyataan? Apakah hasilnya bisa begitu saja dipercaya? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul seiring semakin banyaknya lembaga survei yang mengeluarkan hasil polling soal elektabilitas Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019.
- Pew Research Center menjabarkan dalam video ini, tingkat akurasi survei elektoral menunjukkan tren yang terus membaik seiring waktu, bila dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.
- Namun perlu diingat, survei elektoral, atau yang berkaitan dengan pemilihan umum, adalah salah satu survei paling rumit. Selain harus mengukur opini publik, sigi juga harus bisa memprediksi sampel yang diwawancarai akan memilih dan mau menjawab pertanyaan bagaimana mereka akan memilih.
- Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Hamdi Muluk kepada Tempo dalam artikel ini berbagi cara memahami hasil survei yang kredibel dan dapat dipercaya.
- Salah satu faktornya adalah metodologi survei. Hamdi mengimbau masyarakat tidak terkecoh dengan jumlah sampel besar. Para ilmuwan menetapkan 1.200 merupakan sampel yang mumpuni dalam jajak pendapat. Lebih dari itu, kata Hamdi, hanya akan berefek pada penurunan jumlah margin of error, itu pun tidak signifikan.
Mengapa isu ini penting? Kami yakin, usai pengambilan suara nanti, lembaga survei juga akan berlomba-lomba menyajikan sigi hitung cepat. Ingat apa yang pernah terjadi di masa lalu?
- Pada Pilpres 2014, banyak lembaga survei melakukan hitung cepat. Dari semuanya, hanya dua lembaga menyatakan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa unggul, yakni Puskaptis dan Jaringan Suara Indonesia. Persepi lantas melakukan audit, meminta seluruh anggotanya mempertanggungjawabkan hasil hitung cepat di depan dewan etik. Baik Puskaptis maupun JSI menolak diaudit, membuat keduanya didepak dari keanggotaan Persepsi. (via Kompas)
- Amerika Serikat pada 2016 juga dikejutkan oleh kemenangan Donald Trump, padahal sebelumnya berbagai survei menyebut Hillary Clinton bakal unggul. Setelah ditelaah, ternyata banyak juga survei yang sebelumnya menyebut Trump unggul. Permasalahannya, publik secara luas kadung percaya Clinton akan menang. Seperti halnya konsumsi informasi pada umumnya, kita cenderung percaya pada hal-hal yang ingin kita percayai saja. (via The Conversation)
- Sekarang ini, informasi soal survei terpolusi oleh hasil jajak pendapat dengan kualitas rendah, yang jauh lebih murah ketimbang melakukan survei berkualitas tinggi. Untungnya, informasi kini sudah semakin mudah diakses. Pastikan Anda meneliti rekam jejak sebuah lembaga survei sebelum percaya hasil yang mereka keluarkan.
MERAYAKAN #FACTCHECKINGDAY, MARI MULAI BERPIKIR SEPERTI PEMERIKSA FAKTA
Tahukah Anda, Selasa, 2 April lalu adalah Hari Pemeriksa Fakta Internasional? Anda mungkin berpikir bahwa para pemeriksa fakta pastilah seseorang yang sangat savvy dalam berteknologi, mengingat begitu banyak perangkat daring yang harus dikuasai. Pemikiran ini benar, namun kualitas terpenting seorang pemeriksa fakta adalah mindset mereka.
Anda pun bisa mulai membentuk mindset seperti para hoaxbuster!
- Sam Wineburg, seorang profesor di Stanford University yang telah meneliti permasalahan misinformasi dan literasi media selama bertahun-tahun, mengatakan salah satu cara menghindari tertipu informasi bohong adalah dengan berpikir seperti para pemeriksa fakta. (via The Huffington Post)
- Bagaimana caranya? Para pemeriksa fakta jarang mempercayai satu situs berita saja. Mereka akan meneliti bagaimana reputasi situs tersebut di ekosistem informasi yang lebih besar; siapa yang mengoperasikan atau memiliki domainnya, apakah situs ini punya sejarah menyebarkan disinformasi sebelumnya, siapa yang menyediakan pendanaan untuk organisasinya, dll.
- Meski situs tersebut mengklaim tidak berpihak, memiliki logo menarik, berakhiran .org, dan terlihat kredibel di laman ‘Tentang Kami’, jangan langsung percaya. Lakukan pencarian nama organisasi tersebut bersama keyword ‘kredibel’ atau ‘milik siapa’ untuk mengecek, saran Wineburg.
- Metode ini juga kerap disebut dengan lateral reading, atau membaca lateral. Alih-alih menelusuri satu situs dan membaca semua kontennya (membaca vertikal), para pemeriksa fakta akan membuka banyak tab di peramban, melakukan skimming pada sejumlah sumber berita berbeda, sembari mengumpulkan informasi.
- Richard Hornik, pegiat literasi informasi dari Stony Brook University, mengatakan kecakapan ini bisa dilatih sejak dini dengan menekankan beberapa hal. Di antaranya adalah “menyelidiki informasi, alih-alih sekadar mengkonsumsinya”, “tidak mengandalkan popularitas sumber sebagai proksi keakurasian”, dan “mengakui bahwa setiap orang memiliki praduga, meskipun implisit”.
Poynter Institute melalui International Fact Checking Network merayakan Hari Pemeriksa Fakta Internasional dengan membuat sebuah situs khusus yang memberikan sumber berlimpah untuk Anda yang tertarik dengan isu pemeriksaan fakta dan misinformasi. Selain modul pengajaran yang bisa diunduh, berbagai tips dan games juga bisa Anda lihat di situs ini.
Tim Strapline dari The University of Hong Kong juga telah melakukan kerja bagus soal isu-isu misinformasi. Intip laman web mereka untuk tahu lebih jauh.
MEMASTIKAN PEMILU ‘JURDIL’ BUKAN HANYA UTOPIA
Krisis kepercayaan melanda sebagian masyarakat Indonesia jelang hari pencoblosan. Banyak yang meragukan Pilpres 2019 berjalan adil karena salah satu kandidat adalah petahana.
- Dalam podcast Talking Indonesia ini, Dr Dave McRae dari University of Melbourne berbincang dengan Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Selama 15 menit pertama, Titi mengungkap berbagai informasi yang cukup membuka wawasan.
- Salah satunya, Titi mencatat berbagai masalah yang kini terjadi adalah pengulangan masalah masa lalu. Pada Pilpres 2014, tidak ada isu legitimasi penyelenggaraan pemilu akibat dukungan pasukan keamanan dan ASN karena kedua kontestan adalah sosok baru. Isu serupa muncul santer di Pilpres 2009, saat SBY adalah petahana.
- Dulu, lanjut Titi, sengketa pemilu dibawa ke jalur semestinya, Mahkamah Konstitusional. Sekarang, ancaman-ancaman lain mengemuka bila pemilu dianggap curang, mulai dari people power hingga lapor ke Mahkamah Internasional.
Tentu saja, Bawaslu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu wajib mengemban kepercayaan rakyat akan pemilu yang demokratis.
- Hingga 1 April 2019, Bawaslu mengaku telah menangani 6.649 temuan dan laporan pelanggaran Pemilu. Sebanyak 548 di antaranya adalah pelanggaran pidana Pemilu. Meski bagitu, pekerjaan rumah penting masih menanti. Salah satu yang paling vital adalah memastikan netralitas aparat keamanan. Perludem juga meminta Bawaslu “jemput bola” dan bukan hanya menunggu adanya laporan masyarakat bila ada indikasi polisi tidak netral, seperti isu yang sempat menyeruak di Kabupaten Garut.
- Tak hanya kenetralan aparat, Bawaslu juga harus ekstra teliti dan ekstra ketat dalam memberi sanksi pada pelanggaran aturan kampanye oleh pejabat negara.
- Poin terakhir ini butuh kesadaran tinggi dari para pejabat, yang juga anggota partai politik, untuk tak ikut-ikut berkampanye: demi kredibilitas dan kualitas demokrasi di negeri ini.
WAKTUNYA TRIVIA!
Informasi-informasi sekilas ini mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.
- WhatsApp bekerjasama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) meluncurkan akun khusus untuk pelaporan hoaks. Menggunakan basis data material hoaks dari Mafindo, pengguna WhatsApp bisa melaporkan informasi yang mereka terima dan mendapatkan verifikasi instan—bila hoaks itu sudah tersimpan di basis data mereka. Kalau belum ada, pemeriksa fakta Mafindoakan segera melakukan penelusuran fakta.
- Praktik ini sedikit berbeda dari kerjasama WhatsApp dengan Proto, sebuah startup teknologi di India, yang baru-baru ini meluncurkan akun serupa. Checkpoint, nama proyek ini, bukan kanal aduan melainkan sebuah proyek penelitian.
- Pemilihan Umum Serentak 2019 di Indonesia adalah pemilu terbesar dan terkompleks di dunia. Lihat panduan interaktif dari Lowy Institute ini, Anda akan menemukan beberapa fakta menarik. Misalnya, 20.000 kursi elektoral diperebutkan oleh 245.000 kandidat. Jumlah ini lebih besar dari populasi Jenewa, kota terpadat kedua di Swiss!
- Australia baru saja mengesahkan peraturan soal sosial media, yang dapat memidana pemilik perusahaan media sosial raksasa bila mereka gagal menurunkan konten-konten provokasi dengan cepat. Peraturan seperti ini adalah yang pertama di seluruh dunia. (via The Guardian)
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Seminggu ini, Tim CekFakta Tempo menelusuri kebenaran beberapa hoaks yang terunggah di dunia maya. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa faktanya.
Pekan ini, misinformasi masih didominasi dengan unggahan soal pemilu. Di antaranya:
- Disinformasi daur ulang soal ibu Jokowi seorang gerwani.
- Informasi salah soal besaran tunjangan pengangguran.
- Klaim bahan kotak suara kardus supaya mudah ditukar.
- Soal Prabowo Subianto yang dikatakan merendahkan kaum miskin.
- Tangkapan layar yang menyatakan Mendagri larang kades dan lurah bersikap netral.
- Pemecatan guru honorer pendukung Prabowo, sementara camat pendukung Jokowi aman.
- Menristekdikti minta mahasiswa pindai QR Code ke situs dukung Jokowi.
- Klaim bahwa PDI-P tak butuh suara umat Islam.
- Gambar Presiden Turki mendukung Paslon 02.
- Sah atau tidaknya surat suara bila tak ada tanda tangan KPPS.
- Apakah keraton Yogyakarta menolak kedatangan Megawati dan Jokowi?
- KPK benar menyebut pendapatan negara bocor Rp 2000 triliun, tapi…
- Server KPU sudah diatur memenangkan Jokowi?
Namun kabar bohong di luar pemilu juga kami dapati.
- Soal sheikh Palestina yang tak mempan ditembak peluru.
- Tentang cuci-keringkan biji buah-buahan supaya tumbuh di musim hujan.
TENTANG TRUTHBUZZ
TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.
Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: