- Kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto turun gunung, dari pintu ke pintu, menangkal sebaran kabar bohong yang menyerang mereka. Sekadar saran, bagaimana kalau masing-masing kandidat mendisiplinkan relawan di kandang sendiri agar tak sebar hoaks?
- Untuk setiap fakta, ada konter-faktanya. Di era “post-truth” ini, siapa yang berhak menentukan apa yang dianggap benar?
Dua topik di atas menjadi pembahasan kami di nawala CekFakta Tempo edisi kelima pada 12 Maret 2019. Anda menerima nawala karena pernah mendaftarkan surel ke Tempo Digital. Sistem memilih alamat surel Anda secara acak, jika ingin memastikan nawala ini Anda terima saban Rabu, kirimkan surel ke sini.
Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.
SEMUA HAL SOAL KISRUH e-KTP/WNA/DPT YANG ANDA HARUS TAHU
Mengapa pembahasan e-KTP warga negara asing (WNA) dan daftar pemilih tetap (DPT) tak kunjung selesai? Dipicu dari kabar hoaks, belakangan benar ditemukan sejumlah WNA dengan nomor e-KTP yang terdaftar di DPT.
- Akhir Februari, seorang warga Cianjur bernama Bahar, 47 tahun, menjadi perbincangan karena nomor induk kependudukan di e-KTP-nya identik dengan warga negara Cina yang sudah memiliki e-KTP Cianjur, Guohui Chen.
- Bahar pun kebingungan karena namanya tercantum di DPT Pemilu 2019 dengan Nomor Induk Kependudukan WNA berkebangsaan Cina. sedangkan NIK dia sendiri tak terdaftar di DPT setempat.
- Kasus ini, menurut KPU Kabupaten Cianjur, terjadi karena kesalahan input data dari Kementerian Dalam Negeri.
- Kesalahan administrasi ini membuat hoaks tenaga kerja asing asal Cina yang didatangkan untuk mengikuti pemilu bergolak lagi, seperti api disiram minyak. Pejabat pemerintah, termasuk Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, harus berulang kali menerangkan bahwa menurut undang-undang, WNA bisa mendapatkan e-KTP dengan berbagai syarat.
- Setelah isu ini mencuat, berbagai daerah melakukan penyisiran manual untuk mengecek bilamana ada WNA lain yang masuk DPT. Di Kota Bekasi, WNA Amerika dan Filipina ditemukan terdaftar. Dua WNA juga ketahuan terdaftar di Kota Cirebon.
- Awal pekan ini, KPU mengakui belasan WNA masuk DPT—dengan jumlah kasus terbanyak di Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat—dan sedang melakukan verifikasi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (via CNNIndonesia).
- Berbagai pihak mendesak KPU dan Kemendagri segera membenahi kekacauan ini. Di sisi lain, Tjahjo berjanji memastikan WNA tak punya hak pilih di pemilu nanti.
ANDA HARUS MEMBACA KORAN TEMPO TIGA EDISI INI: KAMI MENGUPAS TUNTAS PERIHAL HOAKS DAN EFEKNYA PADA DUA CAPRES
Sebagai imbuhan yang menyenangkan, seperti biasa, Koran Tempo menghiasi halaman muka mereka dengan ilustrasi yang ciamik.
Dalam edisi Senin, 4 Maret 2019, tajuk utama yang diambil adalah “Jokowi Paling Sering Diserang Hoaks”. Penelusuran situs Turnbackhoax.id yang dikelola Mafindo sepanjang Januari-Maret memperlihatkan sedikitnya ada 47 berita bohong yang menyerang Jokowi, sementara Prabowo jadi korban hoaks setidaknya 17 kali.
- Direktur Program Saiful Muljani Research and Consulting, Sirojudin Abbas, mengatakan kabar bohong tak terlalu pengaruhi elektabilitas. Namun, kata dia, “hoaks punya dampak serius terhadap kepercayaan masyarakat kepada pemilu”.
- Hoaks juga tak berpengaruh pada preferensi pemilih yang masih mengambang atau swing voters.
Edisi Selasa, 5 Maret 2019, dengan tajuk “Hoaks Disebar Secara Sistematis”, memuat kecurigaan Badan Pengawas Pemilu akan adanya produksi hoaks yang sistematis dan terorganisasi.
- Alur pembuatan berita bohong kira-kira seperti ini: Pembuat merancang konten berita bohong terkait pasangan capres—Konten hoaks disebarkan ke jaringan relawan di Facebook dan Twitter—Kemudian diviralkan melalui pesan instan—Setelah viral, pembuat menghapus akun sosial medianya.
- Kedua kubu pun kini sibuk menangkal hoaks yang menyerang calon presiden dan wakil mereka. Beberapa di antaranya: Kubu 01 mengirim tim ke Aceh untuk menepis hoaks, sementara Kubu 02 galang kampanye dari rumah ke rumah.
- Senada dengan editorial Koran Tempo di edisi ini, kami juga menuntut Jokowi dan Prabowo bertanggung jawab mengerem penyebaran hoaks dari semua pendukungnya. Mereka harus berani menjatuhkan sanksi keras jika ada barisan mereka sendiri yang tertangkap tangan bermain-main dengan hoaks.
Buka edisi Rabu, 6 Maret 2019, dengan judul muka “Hoaks Merongrong Kandidat Berlalu”, di halaman 5. Kepolisian RI berjanji akan mempercepat pemberkasan kasus hoaks dan kampanye hitam.
- Hingga akhir Februari, Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pemilihan Umum 2019 menerima 279 laporan kasus yang berkaitan dengan pemilu. Sebanyak 214 dinyatakan bukan tindak pidana pemilu (76,7 persen); hanya 65 kasus (23,3 persen) yang diteruskan ke kepolisian.
- Sejauh ini, belum ada keterkaitan antara mereka yang sudah ditetapkan tersangka dengan tim pemenangan calon presiden. “Fakta hukum belum sampai ke sana,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo.
PERANG TENTANG KEBENARAN DI ERA PASCAKEBENARAN
Saat tajuk berita tentang Jokowi melakukan salat Jumat sebanyak empat rekaat merebak, salah satu anggota Masyarakat Anti Fitnah Indonesia menelisik situs Asiasatu Online, laman penyebar artikel bohong itu (via Okezone).
- Adi Syafitrah menemukan informasi “who is” dalam situs ini disembunyikan, layaknya situs abal-abal pada umumnya. Adi juga berhasil melacak dua akun Blogger.com yang terhubung dengan Asiasatu. Keduanya tertaut ke beberapa situs lain, yang juga memproduksi kabar kibul.
- Apakah ini berbahaya? Kerusakan yang mampu ditimbulkan oleh pabrik hoaks yang berpura-pura menjadi situs berita ini lebih besar dari yang mungkin Anda sadari.
- Di Amerika, investigasi Politico menemukan tautan yang erat antara beberapa situs berita pura-pura dengan politikus. Dengan penampilan yang seakan-akan imparsial, situs-situs ini memperkeruh garis tegas yang tadinya ada di antara aktivis politik dengan jurnalistik.
- Akhirnya, publik dibiarkan kebingungan dalam menetapkan apa itu kebenaran. Seperti yang dikatakan oleh Kevin Kelly, pendiri majalah Wired, di laporan misinformasi online oleh Pew. “Saat ini, apa yang benar tidak lagi diputuskan oleh figur otoritas namun oleh sesama pengguna internet. Untuk setiap fakta, selalu ada konter-fakta, dan keduanya tampak sama-sama benar. Ini membingungkan.”
KITA BUTUH LEBIH BANYAK PEMERIKSA FAKTA, KATA MARK ZUCKERBERG
Kepala Eksekutif Facebook, Mark Zuckerberg, mempertimbangkan sistem urun daya untuk program pemeriksa fakta pihak ketiga mereka karena, menurut dia, “kita tidak punya cukup banyak pemeriksa fakta”.
- Pernyataan ini mengundang kritik dari pemeriksa fakta. Brooke Binkowski, mantan redaktur pelaksana situs pemeriksa fakta Snopes, berkata, “Model open-source (orang yang tidak punya keahlian) tidak bisa diaplikasikan kepada pengecekan fakta dan jurnalisme.”
- Kenyataannya, Facebook sendiri tampak kewalahan menghadapi perang dengan kabar bohong di platformnya. Bila kampanye melawan misinformasi ditangani cepat di Amerika dan Eropa, tak begitu halnya dengan di negara-negara lain.
- Tiga developer teknologi di Moldova mengatakan kepada Buzzfeed News, bahwa mereka telah melaporkan masalah disinformasi di platform ini selama tiga tahun tanpa solusi berarti dari Facebook.
- Ketiga developer ini mengembangkan add-on peramban bernama Trollers untuk menarik data akun-akun palsu penyebar hoaks di Facebook. Ratusan akun terjaring oleh alat daring ini sejak 2016, namun perwakilan Facebook baru bisa meluangkan waktu untuk melakukan rapat dengan mereka di 2019.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Seminggu ini, Tim CekFakta Tempo menelusuri kebenaran beberapa hoaks yang terunggah di dunia maya. Buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa faktanya:
- Tentang caleg PDIP yang berjoget di atas sajadah
- Tentang kedatangan tenaga kerja asing untuk ikut Pemilu 2019
- Tentang Puan Maharani yang dilaporkan hendak menghapus mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah
TENTANG TRUTHBUZZ
TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.
Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: