- Sebuah survei di Jawa Barat menemukan bahwa mereka yang merogoh kocek lebih banyak untuk membayar kuota internet adalah yang tersering menyebar hoaks. Adakah hubungan dengan cyber army yang kini aktif membela kedua paslon di Pilpres 2019?
- Unggahan mis/disinformasi cenderung menggunakan kata-kata yang memicu emosi untuk mendorong pembacanya berkomentar atau menyebarkan kembali, sementara penelusuran fakta umumnya berisi data. Tapi sebuah penelitian mengatakan, banyak orang membaca ulasan cek fakta lalu juga merasa emosional—alih-alih rasional.
Dua topik di atas menjadi pembahasan kami di nawala CekFakta Tempo edisi keempat pada 6 Maret 2019. Anda menerima nawala karena pernah mendaftarkan surel ke Tempo Digital, juga menyetor surel di Instagram kami. Terima kasih karena sudah peduli dengan isu mis/disinformasi!
Jika Anda menerima nawala ini dari orang lain dan ingin menerimanya secara gratis saban Rabu, kirimkan surel ke sini.
Edisi ini ditulis oleh Astudestra Ajengrastri dalam kerangka program TruthBuzz untuk tempo.co. Ketahui lebih lanjut tentang program ini dan misi saya di bagian bawah surel.
MENEMUKAN KONTEN BOHONG? ADUKAN KE SALAH SATU KANAL INI
Mengirimkan aduan ketika menemukan konten yang meragukan kebenarannya seharusnya sekarang sudah tidak susah lagi. Barangkali Anda belum tahu, ini beberapa di antaranya:
- Kementerian Komunikasi dan Informatika RI memiliki tim Trust+Positif untuk menampung pengaduan konten dan alamat website penyebar berita bohong. Anda harus mengisi form di tautan ini.
- Inisiatif bersama beberapa lembaga untuk membangun literasi digital di Indonesia, Siber Kreasi, membuka aduan konten hoaks di tautan ini.
- Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengelola Grup Facebook Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH). Anda bisa bergabung untuk turut berdiskusi, atau melaporkan hoaks di sini.
- Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum meluncurkan Pintarmemilih.id, sebuah platform yang dibiayai Google, yang di dalamnya terdapat kanal aduan konten ujaran kebencian dan misinformasi.
Di tengah gegap gempita Pemilihan Umum Presiden 2019, para calon wakil rakyat yang bertarung dalam Pemilihan Legislatif seakan kurang terekspos. Pintarmemilih.id memuat informasi dan data diri calon legislatif DPR RI, DPD, dan DPRD Provinsi untuk membantu masyarakat mencari informasi soal calon wakil rakyat mereka—meski isinya cenderung normatif saja.
Laman Teman Rakyat, platform urun daya yang memiliki relawan untuk berbagai isu sosial, meluncurkan proyek bernama Unboxing Caleg. Kanal ini menampilkan sejumlah profil calon legislatif dan dikemas dengan lebih santai dan masa kini.
ORANG BERDUIT LEBIH BANYAK SEBAR HOAKS, ORANG BERDUIT JUGA BISA SENJATAI PASUKAN SIBER
Para peneliti Universitas Padjadjaran menemukan bahwa profil orang yang cenderung menyebarkan konten hoaks di sosial media ternyata tak tergantung umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. Duit, simpul penelitian ini, adalah faktor utama. Terbukti, semakin tinggi seseorang menyisihkan pengeluaran untuk internet, semakin tinggi juga kecenderungan mereka menyebarkan hoaks (via The Conversation).
Pemahaman ini, dalam spektrum yang mirip, mungkin menjelaskan betapa besarnya uang yang berputar di balik bisnis buzzer dan cyber army di masa Pilpres ini.
- Majalah Tempo Edisi 26 Oktober 2018 menurunkan isu Bayang-Bayang Tim Bayangan yang membahas pasukan pemenangan kedua capres di darat dan udara.
- CNN Indonesia menurunkan liputan mendalam dengan tajuk Manuver Buzzer Dalam Pusaran Pilpres. Salah satu artikel menyebut putaran uang di putaran kedua Pilkada DKI 2017 mencapai Rp 3 miliar untuk satu proyek. Bayangkan persenjataan uang untuk pesta politik yang lebih besar, Pilpres 2019.
- Narasi TV dalam laporan investigasi sepanjang 10 menit ini membuka “harga” seorang buzzer politik: Sampai Rp 8 juta untuk pasukan siber komersial dan kepuasan batin bila presiden yang didukungnya berhasil menang. Yang terakhir ini bisa disebut dengan “buzzer ideologis”.
JIKA MEMBACA UNGGAHAN HOAKS MEMBUAT EMOSIONAL, APAKAH MEMBACA PENELUSURAN FAKTA MEMBUAT PEMBACA RASIONAL?
Jawabannya, tidak. Sebuah penelitian membuktikan bahwa artikel cek fakta, yang bertujuan memberikan bukti dan data untuk menyanggah misinformasi, menimbulkan reaksi emosional yang sama dengan ketika orang membaca konten hoaks.
- Para peneliti menemukan netizen memakai emoji-emoji tertentu untuk mengomentari unggahan misinformasi, seperti emoji marah, tertawa, sedih, dan gerak tangan. Emoji yang melambangkan emosi ini dijadikan proksi untuk keadaan emosional pemakainya.
- Yang mengejutkan, emoji-emoji sama muncul di kolom komentar unggahan periksa fakta, sehingga bisa diartikan para pembaca mengalami gejolak emosional yang sama saat informasi salah diluruskan.
- Alasannya, menurut penelitian lain, artikel cek fakta memberikan koreksi atas sesuatu yang sudah dipercaya oleh pembacanya. Sesuatu yang tak disukai kebanyakan orang.
- Tak heran, beberapa penelitian menyebut pengecekan fakta memberi imbas minimal pada penyebaran misinformasi, bahkan kerap menjadi blunder untuk lembaga pemeriksanya.
- Namun apakah hasil penelitian ini menyurutkan semangat kami untuk menyebarkan artikel cek fakta? Tentu tidak!
MUDAHNYA AKALI FACEBOOK UNTUK MENYEBAR KONTEN BOHONG
Berulang kali ditutup Facebook karena menyebar konten misinformasi atau di-flag sesama pengguna? Penjahat-penjahat dunia maya selalu punya cara untuk mengakali sistem.
- Bloomberg, pada November 2018, memuat pengakuan pengelola laman web berisi konten palsu yang memigrasi dan mengubah nama website mereka karena sebelumnya merugi lantaran program pengecekan fakta pihak ketiga dari Facebook.
- Jika sebuah unggahan ditandai oleh Facebook sebagai konten bohong, unggahan itu akan semakin jarang muncul di News Feed, dan mengurangi popularitas serta pendapatan iklan pengunggahnya.
- Maret sebelumnya, Buzzfeed News menginvestigasi, banyak website mengubah domain untuk mengakali perubahan algoritma dan menghindar dari daftar hitam layanan beriklan di Facebook. Perubahan ini tak hanya dilakukan sekali, beberapa website diketahui pindah domain sampai enam atau tujuh kali sebulan, dengan isi konten yang persis sama setiap kali ganti domain.
PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI
Dua isu soal misinformasi mencuat beberapa hari ini. Yang pertama, kampanye hitam yang dilakukan oleh tiga wanita di Jawa Barat untuk menjatuhkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Tim Kampanye Nasional Jokowi (TKN) melaporkannya ke Polda Jabar, yang kemudian meringkus tiga wanita di dalam video viral. TKN menuduh kampanye hitam ini sudah direncanakan.
Yang kedua, isu tentang warga Cina yang memiliki Kartu Tanda Penduduk dan mendaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap. Meski benar, warga negara asing bisa memiliki e-KTP, namun mereka tak memiliki hak pilih, seperti yang diklarifikasi oleh Tempo kepada KPU Cianjur.
Selain dua isu tadi, buka tautan ke kanal CekFakta Tempo.co untuk membaca hasil periksa fakta kami sepekan ini:
- Video warga yang menolak pembangunan jalan tol karena urusan ganti rugi yang bermasalah
- Artikel opini yang menyatakan Jokowi harus dipidana karena menyebar data salah
- Pernyataan bahwa impor beras meningkat di era kepresidenan Joko Widodo
TENTANG TRUTHBUZZ
TruthBuzz adalah program fellowship dari International Center for Journalists (ICFJ) yang bertujuan untuk memperluas literasi dan mengatasi permasalahan disinformasi di lima negara yakni Indonesia, India, Nigeria, Brazil, dan Amerika Serikat. Saya adalah penerima fellowship ini di Indonesia. Salah satu misi saya bersama Tempo.co adalah untuk menyebarkan hasil kerja tim pemeriksa fakta yang menangkis berbagai hoaks.
Kenal seseorang yang Anda rasa tertarik dengan isu disinformasi? Teruskan nawala ini ke surel mereka. Punya kritik, saran, atau sekadar ingin bertukar gagasan? Layangkan ke sini.
Ikuti kami di media sosial: